PLURALISME AGAMA MENURUT FARID ESACK (Kajian Hermeneutika Wilhelm Dilthey)

Oleh:

Naila Farah

IAIN Syekh Nurjati Cirebon

 

PENDAHULUAH

Pembahasan mengenai pluralisme di Indonesia adalah suatu tema penting yang telah mendapat banyak perhatian dari sejumlah cendekiawan Muslim pada sekitar tahun 1980-an. Hal itu dikatakan penting karena melihat dari kondisi obyektif bangsa Indonesia yang memiliki tingkat kemajemukan yang cukup tinggi, baik secara fisik (negara kepulauan) yang terdiri dari banyaknya pulau-pulau, maupun dari segi sosial budayanya yang terbagi kedalam beragam suku, bahasa, adat istiadat, dan bahkan agama atau keyakinan yang berbeda-beda.[1]

Masalah perbedaan dalam kehidupan umat manusia tidak bisa tidak ada, hal itu sudah menjadi sesuatu yang mesti ada karena manusia tidak diciptakan dalam keadaan sama. Manusia sesungguhnya merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki satu kesamaan asal, satu arahan, dan satu keturunan, lalu beranak-pinak, dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Seperti yang tercantum dalam al-Qur’an bahwa Allah menciptakan manusia yang pada mulanya berasal dari yang satu menjadi beragam dalam bangsa-bangsa dan suku-suku yang berbeda.[2] Berikut ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah tersebut, yang artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..” (QS Al-Hujuraat:13).

Itulah mengapa kemajemukan masyarakat, yang terdiri dari beragam suku, bangsa, dan keragaman lainnya, merupakan suatu hal yang niscaya, tidak terkecuali negara Indonesia sendiri. Bahkan Nurcholish Madjid memasukkan kemajemukan atau pluralitas kedalam kategori sunnatullah (hukum Allah) yang tak terhindarkan karena kepastiannya.[3] Akan tetapi, realitas keberagaman dan keberbedaan masyarakat kerap menimbulkan gejolak dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya perbedaan dalam hal agama. Pertentangan antar umat beragama telah menimbulkan perpecahan, kekerasan, anarkisme, bahkan vandalisme atau perusakan rumah-rumah ibadah.[4] Sementara di Indonesia, yang terkenal sebagai negara majemuk tidak luput dari adanya konflik semacam itu. Beberapa kasus konflik atas nama agama masih kerap terjadi di Indonesia dari dulu hingga sekarang. Sehingga realitas hubungan antar umat beragama dalam bingkai kemajemukan di negeri ini masih belum berada di titik aman karena masih terlihat adanya represi dan diskriminasi di sana sini. Hal itu terjadi pada masyarakat minoritas di beberapa wilayah di Indonesia, seperti minoritas Ahmadiyah, Syiah, Kristen (di Jawa), Islam (di Indonesia Timur), dan lain-lain, yang masih belum sepenuhnya bebas menjalankan keyakinan mereka.[5]

Banyaknya terjadi konflik antar umat beragama tersebut, salah satu faktornya disebabkan karena para penganut agama di Indonesia hingga saat ini masih belum mendalam dalam memahami inti ajaran agamanya itu.[6] Selain itu, masih terjadinya konflik semacam itu menunjukkan bahwa masyarakat kita masih mengidap penyakit eksklusivisme dan fanatisme terhadap ajaran agamanya sendiri.[7] Padahal semua agama mengajarkan kebaikan dan kasih sayang dan tidak ada agama manapun yang membenarkan sikap-sikap kekerasan atau penindasan kepada penganut agama lain. Terlebih hal itu dilakukan atas dasar masalah perbedaan keyakinan keagamaan.

Sebagian masyarakat Indonesia terkesan melupakan wajah pluralisme negeri kita sehingga berdampak pada munculnya radikalisme, sikap-sikap yang intoleran, dan penafsiran-penafsiran yang eksklusif. Selain itu, baru-baru ini banyak terjadi konflik yang mengatasnamakan agama, politisasi agama, terutama menjelang pilkada. Seperti dalam beberapa kasus konflik yang terjadi atas nama agama, misalnya dalam persoalan pemahaman kitab suci, seringkali secara tersamar bercampur dengan unsur-unsur diluar masalah keagamaan, seperti apa yang disebut Cak Nur sebagai “kepentingan tertanam” (vested interest), baik dari seorang pribadi maupun kelompok. Sehingga, inti persoalan biasanya menjadi semakin sulit dikenali, dan elemen emosi yang subyektif mudah mendominasi keadaan.[8] Oleh karena itu, manusia sesungguhnya telah diingatkan bahwa kebencian hanya membawa bencana dan bahwa eksklusifisme membawa fanatisme yang mudah terseret kepada kebencian dan kekerasan.[9]

Menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pluralisme bukan ide yang menyatakan bahwa semua agama itu sama. Kita semua mengakui dan menyadari bahwa setiap agama memiliki ajaran yang berbeda-beda.[10] Karena dalam kenyataannya, memang tidak ada suatu masyarakatpun yang benar-benar tunggal tanpa ada unsur-unsur perbedaan sedikitpun di dalamnya. Jika memang ada masyarakat yang bersatu dan tidak terpecah belah, hal itu tidak dengan sendirinya berarti keadaan bersatu dalam kesatuan (unity) yang benar-benar mutlak. Karena, persatuan dapat terjadi dan kebanyakan terjadi dalam keadaan yang berbeda-beda (unity in diversity, Bhinneka Tunggal Ika). Sehingga, yang diharapkan dari setiap warga masyarakat ialah menerima kemajemukan tersebut dan bersama-sama menumbuhkan sikap hidup yang sehat dalam rangka kemajemukan itu sendiri, yakni menggunakan segi kelebihan masing-masing secara maksimal untuk saling mendorong dalam usaha mewujudkan berbagai kebaikan (al-khayrat). Sementara mengenai segala perbedaan, seperti perbedaan intragama terlebih lagi perbedaan yang menyangkut hakikat perbedaan antar agama, diserahkan saja kepada Sang Pencipta semata.[11]

Pluralisme diperlukan dalam menghadapi pluralitas. Karena pluralisme membawa pesan perdamaian agar masyarakat Indonesia yang bermacam-macam latar belakangnya termasuk kehadiran berbagai agama dan para pemeluknya, dapat hidup bersama, berdampingan, dan saling berbagi  diatas bumi yang sama, tanpa ada satu kelompokpun yang bersikap sebagai “pemegang sertifikat kepemilikan”.[12]

Oleh karena itu, meskipun Indonesia masih menghadapi masalah intoleransi dan kekerasan keagamaan, kita masih memiliki peluang untuk mengampanyekan pluralisme dan toleransi.[13] Selama ini, dalam kenyataan masyarakat terdapat tanda-tanda bahwa orang memahami konsep pluralisme hanya sepintas lalu. Hal itu menujukkan bahwa pemahaman sebagian orang terhadap pluralisme agama, dalam kenyataannya masih kurang sejati dan memadai. Karena pada dasarnya paham pluralisme atau kemajemukan dalam masyarakat, terutama dalam hal agama, tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu majemuk, tetapi lebih dari itu harus disertai dengan sikap tulus untuk menerima kemajemukan sebagai bernilai positif.[14]

Wacana pluralisme agama semakin mendapatkan momentum tidak hanya secara filosofis intelektual seperti tercermin dalam berbagai karya para pemikir, tetapi juga secara sosial, budaya, dan politik ketika sekian banyak bangsa di dunia masih mengalami problem ketegangan dan konflik keagamaan.[15] Dalam dunia Islam, paham pluralisme telah menjadi salah satu pembahasan yang penting sehingga banyak intelektual muslim yang mengembangkan wacana tersebut.

Salah satu pemikir Muslim kritis asal Afrika Selatan mengembangkan pemikiran keagamaan dengan hermeneutika al-Qur’annya, yaitu Farid Esack. Salah satu pemikiran Farid Esack yang menonjol ialah pada wacana pluralisme agamanya yang secara kritis dikaitkan dengan perjuangan pembebasan rakyat Afrika Selatan yang saat itu menjadi korban penindasan rezim Apartheid.[16] Sebuah rezim yang berkuasa dengan kekuasaan yang hegemonik dan tiranik, menindas kaum-kaum minoritas dan masyarakat miskin.

Sebagaimana yang dikutip oleh Iswahyudi dalam jurnal hermeneutika praksis liberatif Farid Esack, bahwa pertanyaan besar Farid Esack adalah; mengapa atas nama Islam, sebagian umat Muslim mengucilkan penganut agama lain?[17] Akibatnya banyak penderitaan yang dialami rakyat Afrika Selatan yang dilakukan atas nama dan terkadang dengan dukungan kitab suci agama.[18] Sesugguhnya agama Islam sebagai risalah kenabian yang universal dan rahmatan lil ‘alamin, sejak awal mengakui pluralisme. Hal itu terlihat dalam ayat-ayat al-Qur’an yang banyak menerangkan tentang kemajemukan umat manusia, khususnya dalam hal agama. Al-Qur’an menampilkan perspektif ketuhanan yang universal dan inklusivistik.[19] Agama Islam secara teologis dan historis tidak terlepas dari agama-agama lain. Hanya saja, hubungan tersebut berlangsung menurut konteks tertentu dalam lintasan sejarah yang spesifik, yang terkadang hal itu berlangsung secara polemik namun lebih banyak terjadi dalam dialog. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an dan juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad, prinsip yang mendasari hubungan Islam dengan agama-agama lain itu ialah mengakui dan menghormati keberadaan agama-agama lain, dan bagi para pemeluknya diberikan ruang kebebasan dalam menjalankan agamanya masing-masing.[20]

Maka, berdasarkan permasalahan tersebut diatas, pemikiran pluralisme Farid Esack menarik untuk dikaji lebih jauh karena gagasan-gagasannya yang segar dan kritis serta berusaha mengaitkan pluralisme dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dengan memberikan alternatif baru dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui metode hermeneutikanya. Farid Esack sebagai minoritas Muslim yang merasakan secara langsung bagaimana penderitaan atas kekuasaan rezim Apartheid berusaha mencari jalan keluar untuk membebaskan masyarakat Afrika Selatan dari ketidakadilan dan penindasan atas nama apapun.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan teori hermeneutika untuk menganalisis pemikiran seorang tokoh melalui teks atau karya-karyanya. Teori hermeneutika yang tepat untuk mengkaji dan memahami gagasan-gagasan tokoh melalui teks yang ditulisnya ialah teori hermeneutika Wilhelm Dilthey. Sebab, hermeneutika yang dikembangkan oleh Dilthey dijadikan sebagai dasar untuk geisteswissenschaften, yakni semua ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, semua disiplin ilmu yang menafsirkan ekspresi-ekspresi atau ungkapan-ungkapan kejiwaan manusia. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat berupa ekspresi isyarat (gestur), tindakan historis, maupun karya-karya seni atau sastra. Hal itu dapat ditelusuri melalui tiga formula khusus yang dirumuskan oleh Dilthey dalam hermeneutikanya, yaitu erlebniz (pengalaman), ausdruck (ungkapan atau ekspresi), dan verstehen (pemahaman).[21]

 

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pluralisme Agama

Secara etimologis, pluralisme berasal dari bahasa Inggris, pluralism, yang memiliki pengertian sebagai “theory that there are more than one or more than two kinds of ultimate reality” yakni suatu doktrin filsafat yang menegaskan bahwa apa yang substantif tidak hanya ada satu (monisme) maupun dua (dualisme), melainkan bervariasi dan bermacam-macam. Dalam konteks keagamaan, pluralisme dimaknai sebagai suatu doktrin yang mengakui adanya keberagaman substansi atau klaim kebenaran suatu agama yang tidak tunggal.[22]

Sedangkan menurut istilahnya, terdapat tiga pengertian pluralisme agama kontemporer yang dikembangkan dan dapat dijadikan dasar pemahaman pluralisme dalam Islam, yaitu:[23]

1) Pluralisme agama diartikan sebagai keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaan agama-agama demi membangun peradaban global. Artinya, dalam pengertian ini, pluralisme agama lebih dari sekedar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan. Akan tetapi lebih dari itu, ikut aktif dalam upaya merangkai keragaman dan perbedaan itu untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yakni kebersamaan dalam membangun peradaban.

2) Jika pluralisme dalam artian yang pertama mengandaikan penerimaan toleransi aktif terhadap yang lain, pluralisme agama dalam artian yang kedua melebihi sikap toleransi, yakni pengenalan secara mendalam terhadap yang lain itu. Dengan begitu diharapkan adanya mutual understanding yang membuat satu sama lain secara aktif saling bertoleransi dengan hal yang lebih konstruktif. Hal ini dimaksudkan sebagaimana tujuan yang pertama, yakni untuk aktif bersama membangun peradaban.

3) Berdasarkan pengertian yang kedua, maka pluralisme agama bukanlah relativisme. Pengenalan yang mendalam terhadap yang lain akan membawa konsekuensi pengakuan sepenuhnya pada nilai-nilai dari kelompok yang lain. Toleransi aktif ini menolak relativisme yang menyatakan bahwa semua agama itu sama saja, tetapi justru yang ditekankan itu ialah pada keberbedaan. Keberbedaan dianggap sebagai suatu potensi besar untuk komitmen secara bersama-sama dalam membangun toleransi aktif demi membangun peradaban. Sebagaimana pengertian pluralisme menurut seorang filsuf India, Raimundo Panikkar, bahwa pluralisme berdiri diatas pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik.[24]

Dari ketiga pengertian pluralisme agama diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara teologis, manusia harus menangani keberbedaan diantara mereka dengan cara yang paling baik (fastabiqul khairat) yakni saling berlomba-lomba dalam kebaikan secara maksimal sambil menaruh penilaian akhir mengenai Kebenaran kepada Tuhan, karena tidak ada satu cara pun yang dapat dipergunakan secara objektif untuk mencapai kesepakatan mengenai Kebenaran yang mutlak ini. Hal itu sejalan dengan beberapa ayat dalam al-Qur’an, diantaranya: QS. Al-Baqarah ayat 113, QS. Ali ‘Imran ayat 55, QS. Al-Maaidah ayat 48, QS. Al-An’aam ayat 164, QS. Yunus ayat 93, QS. An-Nahl ayat 92 dan 124, QS. Al-Hajj ayat 69, QS. As-Sajdah ayat 25, QS. Az-Zumar ayat 3 dan 46, QS. Al-Jaatsiyah ayat 17.[25]

Pada zaman modern seperti sekarang, ketika segala sesuatu semakin berkembang pesat, dan globalisasi menjadi sebuah keniscayaan, bukan saatnya lagi untuk mengisolasi diri, termasuk juga isolasi kehidupan agama. Globalisasi membawa kita kedalam sebuah desa dunia (global village), yakni sebuah kenyataan bahwa berbagai macam agama dan budaya hidup bersama, dan bertetangga dekat. Hal itu merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Maka dari itu, perlunya suatu sikap toleransi antar penganut agama, baik yang seagama maupun yang berbeda agama, harus diwujudkan. Perbedaan pendapat tidak hanya terjadi antara penganut agama yang berbeda, karena tidak jarang juga terjadi antar penganut agama yang sama. Dengan adanya pluralisme agama, pengalaman keberagamaan masing-masing agama tidak boleh diganggu gugat. Para pemeluk agama yang berbeda dapat berbicara mengenai apa saja selama tidak mengusik dan mengganggu pengalaman keagamaan orang lain.[26]

Pluralisme tidak semata-mata hanya menunjuk pada kenyataan tentang adanya yang plural atau kemajemukan, melainkan adanya keterlibatan aktif dan positif di dalam kenyataan kemajemukan tersebut. Sehingga pluralisme agama diartikan sebagai tiap pemeluk agama dituntut bukan hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, akan tetapi ikut terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan agar dapat tercapainya kerukunan.[27]

Paham pluralisme dimaksudkan dalam rangka menghilangkan sikap-sikap eksklusifisme, superioritas, kemutlakan, atau truth claim dan yang sejenisnya. Setelah itu diharapkan dapat memunculkan sikap yang rasional, inklusif, saling menghormati apa yang diyakini oleh orang lain, dan saling belajar memahami pengalaman keagamaan orang lain untuk tujuan kebaikan.[28] Sebab, sikap-sikap eksklusivisme, truth claim, dan sejenisnya kerap menjadi pemicu timbulnya konflik antar umat beragama karena perbedaan keyakinan mereka. Sikap-sikap tersebut tidak jarang menyalahkan keyakinan agama orang lain, menganggapnya sesat dan kafir, bahkan yang lebih ekstrem lagi munculnya sikap diskriminasi dan vandalisme.

Menurut KH. Husein Muhammad, kata kunci untuk memecahkan berbagai persoalan kekerasan tersebut ialah pluralisme, yakni keragaman realitas. Pluralisme ingin memperkenalkan kepada manusia akan adanya keanekaragaman, kegandaan budaya, pikiran, idelogi, ras, keyakinan, dan sebagainya. Pluralisme sesungguhnya adalah fakta dan realitas kehidupan manusia bahkan kehidupan alam yang tak bisa ditolak. Tuhanlah yang menciptakan keanekaragaman tersebut.[29] Sehingga kita sebagai manusia yang sama-sama merupakan ciptaan Tuhan sudah seharusnya menerima dan menjalankan kehidupan di dunia ini bersama-sama dalam kenyataan yang plural.

Begitu juga yang diungkapkan oleh Djohan Efendi tentang perlunya pluralisme. Menanggapi berbagai permasalahan karena kemajemukan itu, terdapat lontaran pertanyaan, dengan sikap apa dan bagaimana kita menerima pluralitas masyarakat itu? menurut Djohan Effendi tidak ada jalan lain selain harus dengan pluralisme. Karena munculnya ide pluralisme justru berangkat dari anggapan bahwa agama-agama pada dasarnya tidak sama, sehingga pluralisme diperlukan untuk menjawab realitas masyarakat yang plural itu. Inilah pesan yang dibawa oleh pluralisme, agar masyarakat Indonesia yang bermacam-macam latar belakangnya termasuk kehadiran berbagai agama dan para pemeluknya, dapat hidup bersama, berdampingan, dan saling berbagi  diatas bumi yang sama, tanpa ada satu kelompok pun yang bersikap sebagai “pemegang sertifikat kepemilikan”.[30]

Pluralisme sebenarnya juga mengandung unsur relativisme, yakni sikap tidak mengklaim kepemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran kepada orang lain. Akan tetapi, sikap non-monopoli kebenaran dalam pluralisme tidak didasarkan atas pandangan hidup masing-masing orang seperti dalam relativisme, melainkan pada kenyataan bahwa secara substansial, masing-masing agama memang memiliki kebenarannya sendiri. Pluralisme agama juga bukan sinkretisme yang menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur  tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Sementara itu, pluralisme agama juga berbeda dengan kosmpolitanisme yang hanya menunjukkan pada keanekaragaman tanpa adanya interaksi sosial yang positif diantara mereka khususnya dalam konteks keagamaan, karena pluralisme justru menekankan persoalan ini.[31]

2. Pluralisme Agama Menurut Farid Esack (Analisis Hermeneutika Wilhelm Dilthey)

Analisis menggunakan teori hermeneutika Dilthey yang memiliki tiga formula hermeneutik, yaitu: erlebniz, ausdruck, dan verstehen. Tiga kunci hermeneutika Dilthey tersebut memiliki hubungan yang saling terkait karena pengalaman dan ekspresi merupakan dasar bagi pemahaman.

  1. Erlebniz (Pengalaman)

Afrika Selatan dan Pengalaman Pluralitas Farid Esack

Pengalaman eksistensial Farid Esack semasa kecil, dimana ia banyak berhutang budi kepada tetangganya yang beragama Kristen dan tukang kredit turunan Yahudi, membuat Esack sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan orang-orang yang tertindas. Selain itu, pengalaman Esack menyaksikan diskriminasi ketidakdilan yang dialami oleh minoritas Hindu dan Kristen di Pakistan, keterlibatannya dalam proyek kemanusiaan universal lintas agama dan terjun langsung menjadi pengajar di perkampungan kumuh Hindu Kristen telah mengubah pandangan teologis Esack dan ia berusaha mengawinkan iman dan praksis di negerinya. Bahkan Esack juga sering menyaksikan penindasan terhadap wanita di Pakistan seperti yang terjadi di Afsel, yang juga dialami oleh ibunya sendiri. Pengalaman-pengalaman tersebut telah menunjukkan adanya titik temu pandangan seksis dan rasialis di Pakistan dengan Afsel yang sarat akan sistem apartheid. Hal itu menjadi latar belakang yang kuat bagi kepedulian dan komitmen Esack akan keadilan.[32]

Berbicara mengenai pengalaman (erlebniz) ialah tentang seluruh pengalaman hidup seorang tokoh yang melatarbelakangi pemikiran dan gagasan-gagasannya.

  1. Ausdruck (Ungkapan atau Ekspresi)

Ungkapan-ungkapan atau ekspresi Farid Esack berkenaan dengan pemikiran pluralismenya. Berdasarkan kegelisahannya menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan karena perbedaan keyakinan, sebagaimana dialaminya sewaktu ia menjadi minoritas di Afrika Selatan dan pengalamannya melihat kawan-kawan lintas agama yang diperlakukan tidak adil sebagai minoritas di Pakistan. Esack banyak menulis karya-karya dalam jurnal, website pribadinya, maupun dalam bentuk buku, seperti yang tercantum dalam bab tiga mengenai karya-karya intelektual Farid Esack. Selain itu, ungkapan-ungkapan Farid Esack juga diekspresikan dalam usaha praksisnya melalui komitmen keadilan, keaktifannya dalam berbagai organisasi sosial, dan solidaritas antar umat beragama untuk melawan berbagai bentuk ketidakadilan dan penindasan atas nama apapun.

Solidaritas Antar Umat Beragama

Menurut Esack, adalah fakta yang nyata bahwa di banyak daerah dapat ditemukan umat beragama yang berbeda dapat hidup berdampingan secara rukun. Namun hal itu tidak menjamin mereka memiliki sikap hidup yang pluralis. Kebanyakan umat beragama, tidak terkecuali Islam, tetap tidak membuang perasaan superioritas agamanya sendiri dan tetap menolak segala bentuk penyelamatan yang tidak berdasarkan pada agama mereka. Hal itu berarti menafikan kemanusiaan penganut agama lain, meskipun mereka sudah lama hidup berdampingan.[33]

Kenyataan tersebut telah dialami dan dirasakan oleh Esack di negerinya, Afrika Selatan, bahwa interaksi yang terjadi antara umat Islam dengan penganut agama lain tidak mengindikasikan bahwa hal itu didasarkan atas ajaran al-Qur’an. Bahkan selanjutnya hal itu menyebabkan ketegangan dan perdebatan teologis diantara kaum Muslim sendiri. Itu terjadi terutama pada era penentangan dan perlawanan terhadap rezim apartheid. Pada awalnya, ketegangan terjadi antara dua kelompok yaitu akomodasionis dan liberasionis terkait dengan dua peran yang dapat dimainkan teologi dalam konteks penindasan. Peran tersebut ialah, yang pertama sebagai penyangga struktur dan lembaga penindas, sedangkan yang kedua menjalankan fungsi teologi dalam kaitannya dengan perjuangan demi keadilan dan pembebasan.[34]

Kelompok akomodasionis dengan teologi akomodasinya berupaya memberi jalan dan membenarkan status quo dengan rasisme, kapitalisme, dan totalinismenya. Kelompok mereka mendukung ketidakadilan, kehendak penguasa, dan mereduksi kemelaratan menjadi kepasifan, kepatuhan, dan apatisme. Implikasi dari hal itu, teologi akomodasi hanya memfokuskan diri pada persoalan perpindahan agama dan keselamatan pribadi tanpa memperdulikan kenyataan bahwa struktur sosio-ekonomi ikut andil dalam membentuk nilai-nilai pribadi. Kelompok ini diantaranya termanifestasikan dalam organisasi keagamaan seperti Majelis al-Ulama dan Muslim Judicial Council (Dewan Pengadilan Muslim). Mereka memilih berkolaborasi dengan pemerintah dan menolak ajakan untuk melawan rezim apartheid dengan alasan menghindari fitnah atau kekacauan.[35]

Sedangkan kelompok liberasionis yang berpijak pada teologi pembebasan, berusaha menerapkan praksis pembebasan dan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan oleh rezim apartheid untuk tujuan keadilan. Sehingga menurut Esack, solidaritas atau kerjasama antar umat beragama menjadi suatu keharusan demi terwujudnya pembebasan dan keadilan di Afrika Selatan. Artinya, untuk memudahkan perlawanan terhadap rezim apartheid agar sistem hegemoniknya dapat dihapus ialah dengan bersatunya kaum tertindas yang terdiri dari latar belakang agama yang berbeda seperti umat Muslim, Kristen, Yahudi, dan penganut agama lain.[36]

Oleh karena itu, sekembalinya Esack ke Afsel setelah menyelesaikan pendidikannya selama delapan tahun di Pakistan, Esack bersama tiga sahabatnya dari University of Western Cape, mendirikan organisasi Call of Islam pada tahun 1984. Organisasi ini berafiliasi kepada Front Demokrasi Bersatu (UDF) yang dibentuk oleh masyarakat lintas agama tahun 1983 untuk melawan rezim apartheid. Sebagai komponen inti dari UDF, Call of Islam memainkan peranan penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan lintas agama untuk mendobrak status quo. Hingga di bawah naungan UDF itulah, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam mentasbihkan perlawanan kaum beriman terhadap penindasan dalam bentuk apapun.[37]

Melalui organisasi yang didirikannya bersama ketiga temannya itu, Esack banyak memfasilitasi beberapa pertemuan yang mendesakkan protes sekaligus aktif menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai komunitas lintas agama. Hal itu dilakukannya untuk bersama-sama melawan kejamnya rezim apartheid. Melalui Call of Islam itulah Farid Esack berupaya menemukan apa yang ia sebut sebagai sebuah outside model of Islam, yakni suatu formulasi Islam khas Afrika Selatan berdasarkan pengalaman panjang selama ditindas oleh rezim apartheid dan upaya pembebasan (liberation) darinya.[38] Gerakan Call of Islam ini memiliki peranan yang sangat penting dalam meyakinkan bahwa kaum Muslimin juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan untuk meraih non-rasialisme dan non-seksisme di Afrika Selatan.[39] Esack ingin menujukkan bahwa menjalin kerjasama dengan penganut agama lain, dengan tetap beriman kepada al-Qur’an, adalah sangat mungkin demi upaya memperjuangkan tatanan kehidupan yang adil.[40]

Akan tetapi, gerakan Call of Islam tersebut mendapat hambatan dari kelompok-kelompok Islam Konservatif seperti al-Qibla, MYM, MSA. Melalui tabloid  Majlis, mereka mengumandangkan kebencian dan penentangan terhadap Esack dan kawan-kawan organisasi lainnya yang bekerjasama dengan kaum Yahudi dan Kristen atas nama pluralisme. Bahkan tabloid tersebut terus menerus mengecam gerakan Call of Islam sebagai golongan yang telah melakukan kolaborasi dengan kaum kafir. Hal itu dilakukannya atas dasar penafsiran yang sempit terhadap al-Qur’an dan sikap eksklusif mereka. Namun demikian, Call of Islam tetap terus berkiprah dalam ambisinya mewujudkan Islam Afsel yang tidak menafikan pluralitas.[41]

Dalam upaya menjalin kerjasama dengan penganut agama lain sebagai suatu hal yang dianjurkan, Esack mendasarkan penafsirannya terhadap al-Qur’an atas ayat-ayat pluralitas, ayat-ayat afinitas, dan kisah eksodus Musa serta Bani Israel dari Mesir. Pada ayat-ayat pluralitas, Esack mendasarkannya pada QS. Al-Baqarah ayat 62, bahwa “sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Nasrani, dan siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapat balasan dari sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Menurut Esack, ayat tersebut menegaskan bahwa adanya keselamatan yan dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya dan hari akhir, serta dibarengi dengan perbuatan baik tanpa memandang afiliasi agama formal mereka.[42]

Mengenai ayat-ayat afinitas atau wilayah, Esack berpendapat bahwa al-Qur’an secara tekstual tidak memperbolehkan hubungan afinitas dengan penganut agama lain, Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, larangan tersebut ditujukan kepada kafirun (QS. Ali ‘Imran ayat 28, Al-Nisa ayat 139, 144), orang-orang munafik (QS. Al-Nisa ayat 89), orang-orang yang mengejak din-mu (QS. Al-Maidah ayat 57), orang-orang yang memerangimu karena din-mu dan mengusir kamu dari negerimu (QS. Al-Mumtahanah ayat 9), serta bapak-bapak dan saudara-saudaramu yang lebih mengutamakan kufr diatas keimanan (QS. Al-Taubah ayat 23-24).[43]

Artinya, larangan tersebut disebabkan karena adanya sikap-sikap atau tindakan tertentu yang merugikan umat Islam, sehingga jika sikap merugikan tersebut tidak ditemukan maka kontekstualisasinya boleh melakukan persekutuan dan hubungan afinitas dengan umat agama lain. Sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Islam awal pada tahun kelima kenabian Muhammad SAW, bahwa kaum Muslim ketika itu mencari suaka dan perlindungan pada umat Nasrani di Abysinia dari penganiayaan kaum Quraisy. Selain itu, juga ditemukan kisah kaum muslim di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, mereka sering membuat perjanjian politik dan pertahanan dengan kaum lain.[44]

Berdasarkan uraian tersebut, Esack menjelaskan bahwa  larangan al-Qur’an untuk mengambil afinitas atau wilayah dengan kaum lain adalah menyangkut kolaborasi dengan pihak lain yang berlaku tidak baik dan zalim, yang merugikan salah satu kaum, bukan pihak-pihak yang tertindas dan yang dieksploitasi. Hal itu didukung oleh makna tekstual dan konteks yang melingkupi teks pelarangan tersebut.[45]

Persoalan kerjasama atau solidaritas antar umat beragama, Esack juga mendasarkan pemahamannya pada kisah Eksodus, yakni kisah keluarnya Bani Israel dari Mesir, berkaitan dengan posisi kaum tertindas. Hal itu juga diungkapkan dalam beberapa surat dalam al-Qur’an. Signifikansi kisah tersebut adalah adanya kebebasan politik bagi manusia, terlepas dari keimanan mereka. Dalam al-Qur’an sendiri digambarkan bahwa Bani Israel bukanlah kaum beriman dan justru mereka adalah orang-orang yang kufur dan keras kepala. Sementara yang beriman diantara mereka hanya kelompok dzurriyah yang oleh para ahli tafsir diartikan sebagai sebagian kecil, anak-anak mereka, dan beberapa pemuda. Meski begitu, mereka tetap ditolong oleh Allah melalui nabi Musa karena mereka telah tertindas. Acuan mustadh’afun (yang tertindas) yang dialami oleh Bani Israel akibat kesewenang-wenangan Fir’aun dan penguasa Mesir, mencerminkan posisi penting yang diberikan Tuhan bagi kaum tertindas.[46]

Meski demikian, dengan berpegang pada rambu-rambu yang diberikan oleh ayat-ayat lain, Esack mengungkapkan beberapa persyaratan mutlak yang harus diperhatikan dalam upaya pelaksanaan kerjasama dan solidaritas antara umat Islam dengan non-muslim. Syarat-syarat tersebut terbagi kedalam dua aspek kepentingan umat Islam, yakni kepentingan inrernal dan kepentingan eksternal. Dalam kepentingan internal umat Islam, Esack memberikan dua syarat, yaitu:[47]

a) kerjasama yang dilakukan oleh orang Islam dengan non-muslim tidak boleh sampai harus meninggalkan atau mengasingkan orang-orang muslim sendiri, sebagaimana yang tercantum dalam QS. Ali ‘Imran ayat 28, yang berbunyi:

Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).(28)”

[192]Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.

b) Kerjasama dengan non-muslim dapat dilakukan jika hal itu dapat memberikan perlindungan jangka panjang terhadap Islam. Menurut Esack, hampir semua tokoh Islam di Afrika Selatan sepakat bahwa kerjasama dengan Ahli Kitab atau bahkan dengan atheis adalah boleh untuk tujuan pembelaan diri atau demi terwujudnya keamanan bersama.

Sedangkan, berkaitan dengan pihak-pihak yang akan diajak kerjasama oleh umat Islam, Esack memberikan kriteria sebagai berikut:

  1. Pihak non-muslim yang diajak kerjasama adalah pihak-pihak yang telah terikat perjanjian damai dengan umat Islam atau tidak menunjukkan permusuhan terhadap Islam. Sebagaimana dalam QS. An-Nisa ayat 90, dan al-Mumtahanah ayat 8.
  2. Pihak lain yang diajak kerjasama bukan pihak-pihak yang membuat agama Islam menjadi bahan ejekan dan mempermainkan tanda-tanda dari Tuhan (QS. Al-Maidah ayat 57, dan QS. An-Nisa ayat 140). Menurut Esack, kejadian di seputar turunnya ayat-ayat ini merujuk pada orang-orang yang mengejek agama Islam dan mengolok-olok ayat-ayat Tuhan, baik secara verbal maupun pengabaian kehidupan beragama. Dalam hal itu, al-Qur’an sangat mengecam praktek-praktek penghinaan seperti itu, dan melarang umat Islam melakukan hal semacam itu kepada orang lain atau umat agama lain. Hal ini bertentang dengan tujuan dan semangat dari sebuah agama, yaitu transformasi kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, sikap saling hina menunjukkan penolakan atau ketidakmampuan untuk hidup secara berdampingan dengan umat agama lain.[48]

Karena menurut Esack, al-Qur’an dan Nabi tidak mencegah kaum Muslim, bahkan mendukung untuk bekerjasama dan menjalin solidaritas antar iman demi menegakkan keadilan dan kebenaran. Solidaritas ini tidak hanya dilandasi oleh kehendak yang samar untuk perdamaian dan ketenteraman, melainkan juga pada perjuangan melawan ketidakadilan demi menciptakan dunia  yang aman bagi umat manusia, dan membebaskan manusia dari perbudakan agar mereka bisa dengan bebas dan leluasa dalam beribadah kepada Tuhan.[49]

  1. Verstehen (Pemahaman Pluralisme Agama menurut Farid Esack)

Farid Esack memberikan pengertian pluralisme sebagai suatu pengakuan dan penerimaan tentang adanya keberbedaan dan keragaman, baik diantara sesama agama maupun terhadap penganut agama lain. Sikap mengakui dan menerima di sini diartikan lebih dari sekedar toleransi. Dalam konteks agama, pluralisme berarti mengakui dan menerima perbedaan yang berkaitan dengan cara menanggapi dorongan-dorongan, baik yang terlihat maupun tidak, yang ada dalam diri manusia ke arah Yang Transenden.[50] Artinya, pluralisme agama dalam pandangan Esack sebagai pengakuan dan penerimaan terhadap cara-cara keberagamaan yang berbeda dari penganut agama lain dalam rangka upaya mereka menyembah Tuhan, mencapai Yang Transenden.

Konsepsi Esack mengenai pluralisme tidak terlepas dari pengalaman pribadinya selama tinggal di Afsel dan selama dirinya menempuh pendidikan di Pakistan. Realitas sosial Afrika Selatan yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan multiagama sejak dulu. Baik sewaktu tinggal di Wynberg maupun di Bonteheuwel, lingkungan tempat tinggal Esack terdiri dari beragam etnis, kultur, dan agama. Sehingga Farid Esack lahir dan tumbuh di lingkungan yang memang benar-benar plural. Esack banyak menjumpai tetangga Kristen dan tinggal berdampingan dengan mereka. Dalam lingkungan yang plural di Bonteheuwel itu, Esack menemukan kenyataan koeksistensi sosial keagamaan yang jauh lebih damai dan harmonis ketimbang sewaktu ia tinggal di Wynberg.[51] Sehingga watak dan cita-cita keadilan Esack sudah terbentuk sejak ia kecil berdasarkan pengalaman pahitnya dalam kemiskinan, serta bertetangga dengan orang-orang Kristen dan Yahudi di pemukiman yang kumuh.[52]

Sementara itu, berdasarkan pengalamannya selama menempuh studi di Pakistan, Esack menemukan kenyataan bahwa Pakistan, dalam beberapa hal ternyata bukan sebuah tempat di mana ia merasakan keadilan. Ia melihat teman-teman dialog agamanya, yakni kalangan Kristen Pakistan yang minoritas, mendapatkan perlakuan yang kurang manusiawi, hanya karena kebetulan mereka bukan seorang Muslim.[53] Latar belakang Esack yang berasal dari keluarga Muslim yang menjadi minoritas di Afrika Selatan, menyadarkan Esack betapa tidak nyamannya menjadi minoritas. Mereka sering dilecehkan dan ditindas. Begitupun yang Esack lihat dari apa yang dialami oleh kawan-kawannya yang menjadi minoritas Hindu dan Kristen Pakistan. Sehingga pada titik itulah, Esack merasakan kecemasan mereka di negeri Pakistan yang sering mendapat perlakuan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. [54]

Selain itu, Esack juga sering mengikuti diskusi yang diadakan oleh Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai Breakthrough). Ia menyaksikan bagaimana mereka memaknai  hidup sebagai seorang Kristiani dalam lingkungan yang tidak adil dan eksploitatif. Kemudian Esack diminta untuk menjadi pengajar dalam bidang studi Islam di sekolah yang dipimpin oleh salah satu tokoh penting dalam Breakthrough, yakni Norman Wray. Bahkan bersama Norman Wray, Esack memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama, ikut bekerja dalam beberapa proyek yang melibatkan tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi. Tidak hanya itu, keterlibatan Esack bersama kelompok Breakthrough juga dalam merawat anak-anak terlantar di sebuah rumah, dan mengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kristen.[55] Sehingga, melalui pertemanannya dengan orang-orang dari agama lain, bertemu dengan gagasan teologi pembebasan dari kawan-kawannya di Pakistan yang beragama Katolik, serta pertukaran gagasan dengan mereka selama di Pakistan, membentuk semangat dalam diri Esack akan keadilan dan kebebasan beragama di Pakistan.[56]

Di Afrika sendiri, banyak penderitaan yang dialami rakyat Afrika Selatan dilakukan atas nama agama, dan terkadang dengan dukungan kitab suci agama, khususnya Kristen. Sekalipun demikian, penindasan atas rakyat Afrika Selatan berlangsung tanpa dukungan seluruh umat Kristen. Hal itu diperlihatkan melalui organisasi yang bernama Christian Institue dan individu-individu seperti Beyers Naude dan Theo Kotze, bahwa meskipun di lingkungan Kristen mendapatkan perlakuan istimewa, namun selalu ada suara pembangkang yang meneriakkan keadilan dan dan hak asasi manusia.[57]

Pertanyaan besar Farid Esack, dalam kegelisahannya menghadapi ketidakadilan tersebut, adalah “mengapa atas nama Islam sebagian umat Muslim mengucilkan penganut agama lain?”. Kemudian, untuk menjawab pertanyaan tersebut, Farid Esack memberikan perspektif lain dalam penafsiran kitab suci. Esack menawarkan hermeneutika sebagai alat penafsiran yang berfungsi untuk mendialektikakan teks kitab suci dengan pengalaman hidup manusia. Hermeneutika Esack tersebut yang disebut dengan hermeneutika praksis liberatif.[58]

Pluralisme Agama dalam al-Qur’an Menurut Farid Esack

Menurut Esack, al-Qur’an menampilkan perspektif ketuhanan yang universal dan inklusivistik yang merespon ketulusan dan komitmen seluruh hamba-Nya. Al-Qur’an juga sesungguhnya telah mengajarkan sikap-sikap pluralis dan justru mengecam sikap-sikap yang ekslusivisme agama yang sempit sebagaimana yang ditunjukkan oleh kaum Yahudi Nasrani pada zaman Nabi Muhammad di Hijaz. Mereka bersikap menghina terhadap orang-orang di luar kaum mereka, terutama kaum-kaum yang lemah. Penghinaan terhadap kaum lain tersebut, menurut al-Qur’an, berakar dari kesombongan atau truth claim mereka karena merasa sebagai umat pilihan Tuhan.[59]

Al-Qur’an juga mencela klaim sebagian Ahli Kitab yang menganggap kehidupan akhirat hanyalah untuk kelompok mereka, dan “Tidak diperuntukkan bagi orang lain.” (QS. Al-Baqarah, ayat 94, 111). Sementara itu, dalam penerimaannya atas pluralisme agama, Al-Qur’an menunjukkan sikap yang eksplisit. Agar pesan al-Qur’an menjadi satu alternatif, ia harus menawarkan visi tentang Tuhan yang merespons seluruh manusia serta menerima ketulusan dan kebaikan semua orang yang beriman. Dengan demikian, al-Qur’an menjadikan kepercayaan pada keaslian semua agama wahyu sebagai syarat keimanan (QS. Al-Baqarah, ayat 136, 285, dan QS. Ali ‘Imran ayat 84).[60]

Mengenai keabsahan semua agama, al-Qur’an mengakuinya secara de jure dalam dua hal, yaitu: 1) menerima keberadaan kehidupan religius komunitas lain yang semasa dengan kaum Muslim awal, menghormati hukum-hukum, norma-norma sosial, dan praktik-praktik keagamaan mereka. 2) menerima pandangan bahwa pemeluk-pemeluk setia agama-agama ini juga akan mendapatkan keselamatan, dan bahwa “tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah ayat 62).  Kedua aspek sikap al-Qur’an terhadap penganut agama lain tersebut dianggap sebagai dasar penerimaan pluralisme agama.[61]

Fakta bahwa al-Qur’an menceritakan kisah-kisah kehidupan para pendahulu Nabi Muhammad, dan membuatnya sebagai bagian dari sejarah yang dikandungnya, merupakan cerminan penting dari penekanan al-Qur’an  terhadap kesatuan din. Nabi-nabi tersebut datang dengan membawa misi yang sama, yang mereka sampaikan dalam konteks situasi umat mereka yang beraneka ragam dan berbeda-beda. Artinya, pada dasarnya mereka datang untuk menyadarkan kembali komitmen manusia kepada tauhid, untuk mengingatkan mereka akan pertanggungjawaban mereka kepada Tuhan, dan untuk menegakkan keadilan.[62]

Sikap-sikap pluralisme yang ditunjukkan al-Qur’an ialah pada pengakuannya terhadap penganut agama lain, yang terdiri dari: Ahli Kitab sebagai penerima wahyu diakui sebagai bagian dari komunitas. Hal itu tercantum dalam al-Qur’an surat al-Mukminun ayat 52, yang artinya: “Sesungguhnya, inilah ummatmu, ummat yang satu.” Bahkan pembentukan satu umat untuk ungkapan keagamaan yang berbeda-beda telah tersirat dalam Piagam Madinah.[63]

Pengakuan al-Qur’an terhadap pluralisme agama tidak hanya dari sisi penerimaan kaum lain sebagai komunitas sosio-religius  yang sah, namun juga dari penerimaan kehidupan spiritualitas mereka dan keselamatan melaui jalan yang berbeda-beda itu. Pemeliharaan kesucian tempat-tempat ibadah bukan hanya demi menjaga integritas masyarakat multiagama, akan tetapi juga atas dasar kenyataan adanya orang lain yang juga tulus dan sama-sama melayani dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal itu ditampilkan secara eksplisit di dalam QS. Ali ‘Imran ayat 113-114, yang berbunyi:[64]

Artinya: “mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang Berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).(113) mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu Termasuk orang-orang yang saleh.(114)

Pengakuan al-Qur’an terhadap eksistensi agama lain tidak hanya ditunjukkan melalui semangat pluralisnya yang termuat secara tidak langsung dalam ayat-ayatnya, yang dapat ditafsirkan kearah itu, tetapi juga dijelaskan dalam ayat-ayat yang maksudnya sudah sangat tegas, jelas, dan eksplisit tanpa harus ditafsirkan. Hal itu bisa dilihat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 62 sebagai salah satu ayat dalam al-Qur’an yang secara tegas dan jelas menunjukkan pluralisme dan keanekaragaman agama.[65]

Ayat tersebut berbunyi:

“Sungguh, orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Nasrani, dan siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat Kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan dari sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”

Ayat tersebut menurut Esack secara tegas menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya dan Hari Akhir, yang diiringi dengan perbuatan bajik (amal salih) tanpa memandang afiliasi agama formal mereka. pernyataan ini sejalan dengan pendapat Rasyid Rida dan Thabataba’i. Menurut Rida, semua yang beriman kepada Allah dan beramal salih, mereka akan selamat, tanpa memandan afiliasi keagamaan formal mereka, karena Allah tidak mengutamakan satu kelompok sementara mendzolimi kelompok yang lain. Sedangkan Thabataba’i memberikan penjelasan dengan bahasa yang berbeda, bahwa tidak ada nama dan tidak ada sifat yang bisa memberikan kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan ama sholeh. Dan hal itu berlaku bagi seluruh umat manusia. Bahkan menurut keduanya, teks-teks tersebut juga sebagai respon atas sikap eksklusivisme yang terkungkung dalam sektarianisme dan khauvinisme keberagamaan yang sempit. Rida menegaskan: “keselamatan tidak dapat ditemukan dalam sektarianisme keagamaan, tetapi dalam keyakinan yang benar dan kebajikan.[66]

Menurut Esack, pencariannya akan hermeneutika al-Qur’an tentang pluralisme adalah untuk tujuan pembebasan Afrika Selatan, berakar pada gabungan antara keragaman bangsa Afsel dan komitmen dirinya pada keadilan yang komprehensif. Kajian ini terutama difokuskan pada pemikiran ulang pendekatan terhadap al-Qur’an dan pada kategori teologis tentang kawan dan lawan yang berakar dalam perjuangan demi kebebasan dari eksploitasi ekonomi dan diskriminasi rasial, tetapi penerapannya ditujukan pada hal-hal yang lebih luas dari sekedar kedua bentuk ketidakadilan ini, seperti ketidakadilan politis, penindasan terhadap kaum wanita dalam masyarakat Muslim sampai soal diskriminasi yang dialami orang-orang kidal.[67]

 

PENUTUP

Berdasarkan analisis dari teori hermeneutika Wilhelm Dilthey yang memiliki tiga kunci hermeneutik yaitu erlebnis (pengalaman), ausdruck (ungkapan), verstehen (pemahaman), terhadap pemikiran Farid Esack  mengenai pluralisme agama, ialah sebagai berikut:

  1. Farid Esack memberikan pengertian terhadap wacana pluralisme agama sebagai penerimaan dan penghargaan tentang adanya keberbedaan dan keragaman antara sesama agama maupun dengan penganut agama lain. Namun, sikap mengakui dan menerima di sini diartikan lebih dari sekedar toleransi. Dalam konteks agama, pluralisme berarti mengakui dan menerima perbedaan yang berkaitan dengan cara-cara keberagamaan orang lain menurut aturan-aturan dan kitab suci yang mereka yakini, dalam upaya menuju Kebenaran Tertinggi atau Yang Transenden, serta mendekatkan diri kepada Tuhan.
  2. Berdasarkan erlebniz, yakni pengalaman hidup Farid Esack yang terdiri dari sejarah masa kecilnya yang dijalani dalam kondisi yang pahit sebagai korban penindasan rezim apartheid, meninggalkan kesan mendalam dalam diri Esack akan rasa keadilan. Selain itu, juga pengalamannya bertetangga dan berhubungan dengan penganut agama lain selama dirinya tinggal di Wynberg, Bonteheuwel, dan selama ia menempuh pendidikan di Pakistan, sangat mempengaruhi pemikirannya dalam memahami orang lain (penganut agama lain). Berdasarkan ausdruck, yakni ungkapan atau ide dari Farid Esack terbaca pada karya-karya Esack, baik dalam bentuk buku maupun jurnal dan lainnya, yang menunjukkan komitmennya akan rasa keadilan (berbagai macam keadilan), hubungan antar umat beragama, serta upaya pembebasan melalui hermeneutika al-Qur’an yang memberikan kunci-kunci hermeneutik dalam beberapa ayat al-Qur’an. sedangkan yang terakhir, yakni verstehen (pemahaman), yaitu bagaimana pemikiran Farid Esack tentang pluralisme agama berdasarkan pengalaman-pengalamannya dari kecil hingga dirinya menempuh pendidikan di Pakistan, Inggris, dan Jerman.

 

DAFTAR PUSTAKA

Khudori Soleh, Kerjasama Antarumat Beragama dalam Al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni: 2010

Budhy Munawar Rachman, dkk, Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, 2011, Jakarta: Democracy Project

Budhy Munawar Rachman, Perspektif Global Islam dan Pluralisme, dalam jurna Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 3, januari 2013

Dadi Darmadi, pengantar dalam buku On Being A Muslim karya Farid Esack, 2002, Jakarta: Erlangga

Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, 2000, Bandung: Mizan

Farid Esack, On Being a Muslim; Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj. Dadi Darmadi, 2002, Jakarta: Erlangga

Fauzan, Potret Islam dan Hubungan Antar Agama Pada Masa Nabi, dalam jurnal Al-Adyan/Vol.VI/No.1/Jan-Juni/2011

Fawaizul Umam, Menimbang Gagasan Farid Esack Tentang Solidaritas Lintas Agama, dalam Jurnal Islamica, Vol. 5 No. 1 September 2010

http://islamlib.com/tokoh/farid-esack-dan-hermeneutika-pembebasan-al-quran/ diakses pada 26 November 2018 pukul 10.08

http://islamlib.com/tokoh/farid-esack-dan-hermeneutika-pembebasan-al-quran/ diakses pada 26 November 2018 pukul 10.08

https://nasional.sidonews.com/read/789660/15/kekerasan-atas-nama-agama-harus-dihentikan-1380638348 diakses pada 06 April 2018 pukul 20.15

Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme Di Yogya, Yogyakarta: Kanisius

Iswahyudi, Hermeneutika Praksis Liberatif Farid Esack, dalam Religio: Jurnal Studi Agama-agama, Volume 2, Nomor 2, September 2012

Iswahyudi, Religió: Jurnal Studi Agama-agama Volume 2, Nomor 2, September 2012; Hermeneutika Praksis Liberatif Farid Esack

Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan, 2006, Yogyakarta: Pustaka Rihlah

Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, 1995, Jakarta: Paramadina

Maman Imanulhaq Faqieh, Fatwa dan Canda Gus Dur, 2010, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 2003, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Muhammad Tauhid, Menyingkap Akar Konflik, dalam jurnal Al-Adyan/Vol. VIII, No. 2/ Juli-Desember/ 2013

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. VI, 2008, Jakarta: Paramadina

Mahmudah Noorhayati &A. Rafiq Zainul M, Pluralisme Agama Farid Esack dalam Konteks Ke-Indonesiaan, Cet. Ke-1, 2015, Jember: STAIN Jember Press

Taslim HM. Yasin, Pluralisme Agama Sebuah Keniscayaan, dalam Jurnal Subtantia Vol. 15, No. 1, April 2013

Poespoprodjo, Hermeneutika, 2004, Bandung: Pustaka Setia

Zen RS, Siswo Mulyartono, dkk, Me-Wahib; Memahami Toleransi, Identitas dan Cinta di Tengah Keberagaman; Esai-Esai Pilihan Ahmad Wahib Award 2012 dan 2014, Edisi Digital, 2015, Jakarta: PUSAD Paramadina

 

 

[1] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, 1995, Jakarta: Paramadina, hlm. 227-228

[2]Muhammad Tauhid, Menyingkap Akar Konflik, dalam jurnal Al-Adyan/Vol. VIII, No. 2/ Juli-Desember/ 2013, hlm. 37-38

[3]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. VI, 2008, Jakarta: Paramadina, hlm. 156

[4]Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 2003, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 11

[5]Zen RS, Siswo Mulyartono, dkk, Me-Wahib; Memahami Toleransi, Identitas dan Cinta di Tengah Keberagaman; Esai-Esai Pilihan Ahmad Wahib Award 2012 dan 2014, Edisi Digital, 2015, Jakarta: PUSAD Paramadina, hlm. 145

[6]https://nasional.sindonews.com/read/789660/15/kekerasan-atas-nama-agama-harus-dihentikan-1380638348 diakses pada 06 April 2018 pukul 20.15

[7]Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, hlm. 11

[8]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm. 159

[9]Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, hlm.  ix

[10]Maman Imanulhaq Faqieh, Fatwa dan Canda Gus Dur, 2010, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 148-149

[11]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, hlm. 155-156

[12]Budhy Munawar Rachman, dkk, Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, 2011, Jakarta: Democracy Project, Hlm. XXIV

[13]Zen RS, Siswo Mulyartono, dkk, hlm. v

[14] Taslim HM. Yasin, Pluralisme Agama Sebuah Keniscayaan, dalam Jurnal Subtantia Vol. 15, No. 1, April 2013, hlm. 135

[15]Muhamad Ali,Teologi Pluralis-Multikultural,  hlm. xvi

[16]S. Mahmudah Noorhayati &A. Rafiq Zainul M, Pluralisme Agama Farid Esack dalam Konteks Ke-Indonesiaan, Cet. Ke-1, 2015, Jember: STAIN Jember Press, hlm. 2

[17]Iswahyudi, Religió: Jurnal Studi Agama-agama Volume 2, Nomor 2, September 2012; Hermeneutika Praksis Liberatif Farid Esack, hlm. 142

[18]Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, 2000, Bandung: Mizan, hlm. 29

[19]Fauzan, Potret Islam dan Hubungan Antar Agama Pada Masa Nabi, dalam jurnal Al-Adyan/Vol.VI/No.1/Jan-Juni/2011, hlm. 1

[20] Budhy Munawar Rachman, Perspektif Global Islam dan Pluralisme, dalam jurna Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 3, januari 2013, hlm. 215

[21] W. Poespoprodjo, Hermeneutika, 2004, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 32

[22]Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 107

[23]Budhy Munawar Rachman, Perspektif Global Islam dan Pluralisme, dalam jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 3, Januari 2012, hlm. 216

[24]Ibid.,

[25]Ibid.,

[26]Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 107

[27]Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme Di Yogya, Yogyakarta: Kanisius, hlm, 29

[28]Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 108

[29]KH. Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan, 2006, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, hlm. 158

[30] Budhy Munawar Rachman, dkk, Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, 2011, Jakarta: Democracy Project, Hlm. XXIV

[31] Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 109

[32]Ibid,. hlm. 27-28

[33]Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 127

[34]Ibid., hlm. 127-128

[35]Ibid.,  hlm. 128

[36]Ibid., hlm. 130

[37]http://islamlib.com/tokoh/farid-esack-dan-hermeneutika-pembebasan-al-quran/ diakses pada 26 November 2018 pukul 10.08

[38]Fawaizul Umam, Menimbang Gagasan Farid Esack Tentang Solidaritas Lintas Agama, dalam Jurnal Islamica, Vol. 5 No. 1 September 2010, hlm. 118

[39]Farid Esack, On Being a Muslim; Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj. Dadi Darmadi, 2002, Jakarta: Erlangga, hlm. 20

[40]Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 130

[41]http://islamlib.com/tokoh/farid-esack-dan-hermeneutika-pembebasan-al-quran/ diakses pada 26 November 2018 pukul 10.08

[42]A. Khudori Soleh, Kerjasama Antarumat Beragama dalam Al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni: 2010: 247-266, hlm. 257

[43]Farid Esack, On Being a Muslim; Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj. Dadi Darmadi, 2002, Jakarta: Erlangga, hlm. 233

[44]A. Khudori Soleh, Kerjasama Antarumat Beragama dalam Al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni: 2010: 247-266, hlm. 258

[45]Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 133

[46]Ibid., hlm. 139-140

[47]Ibid.,, hlm. 134

[48]Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 136

[49]Farid Esack, On Being a Muslim; Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj. Dadi Darmadi, 2002, Jakarta: Erlangga, hlm. 232

[50]Farid Esack, Al-Qur’an; Liberalisme; dan Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, terj. oleh Watung A. Budiman, 2000, Bandung: Mizan, hlm. 21

[51] S. Mahmudah Noorhayati dan A. Rafiq Z.M, Pluralisme Agama Farid Esack dalam Konteks Ke-Indonesiaan,  Edisi Digital, 2015, Jember: STAIN Jember Press, hlm. 36

[52]Dadi Darmadi, pengantar dalam buku On Being A Muslim karya Farid Esack, 2002, Jakarta: Erlangga, hlm. xv

[53]Ibid., hlm. xiv

[54]http://islamlib.com/tokoh/farid-esack-dan-hermeneutika-pembebasan-al-quran/ diakses pada 26 November 2018 pukul 10.08

[55]Farid Esack, Al-Qur’an; Liberalisme; dan Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, terj. oleh Watung A. Budiman, 2000, Bandung: Mizan, hlm. 27

[56]Dadi Darmadi, pengantar dalam buku On Being A Muslim karya Farid Esack, 2002, Jakarta: Erlangga,, hlm. xiv

[57]Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, 2000, Bandung: Mizan, hlm. 29

[58]Iswahyudi, Hermeneutika Praksis Liberatif Farid Esack, dalam Religio: Jurnal Studi Agama-agama, Volume 2, Nomor 2, September 2012, hlm. 142

[59]Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, 2000, Bandung: Mizan, hlm. 201-203

[60]Ibid., hlm. 205

[61]Ibid.,

[62]Ibid., hlm. 213

[63]Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 115

[64]Farid Esack, Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, 2000, Bandung: Mizan, hlm. 207

[65]Achmad Khudori Soleh & Erik Sabti R, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack, 2011, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 116

[66]Ibid., hlm. 117

[67]Farid Esack, Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, 2000, Bandung: Mizan, hlm. 32

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top