Ketika Perempuan Jadi Target Ekstremisme: Ancaman Baru di Era Digital
Oleh: Nur Faizah

Lp2m.uinssc.ac.id – Di era di mana ancaman keamanan terus berevolusi, wajah terorisme dan ekstremisme global juga mengalami transformasi yang begitu signifikan. Salah satu tren yang paling mengkhawatirkan adalah meningkatnya keterlibatan perempuan dalam jaringan radikal.
Fenomena ini tidak hanya menjadi perhatian para penegak hukum tetapi juga memicu inisiatif-inisiatif baru yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan sebagai benteng pertahanan perdamaian.
Dalam artikel ini akan mengupas dinamika tersebut, mulai dari alasan di balik peralihan perempuan ke ideologi ekstrimis hingga upaya regional yang dilakukan untuk mengatasi ancaman ini.
Perempuan dan Jalan Sunyi Menuju Radikalisasi Digital
Investigasi mendalam, seperti yang diungkapkan dalam laporan Undercover Asia oleh CNA Insider, menunjukkan bahwa perempuan semakin banyak yang beralih ke ideologi ekstremis dikarenakan perempuan rentan mempercayai suatu hal. Mereka memaknai kekerasan sebagai bagian dari keyakinan dan dedikasi terhadap agama.
Salah satu daya tarik utamanya adalah persepsi bahwa perempuan tidak akan dicurigai oleh aparat keamanan, sehingga memudahkan mereka untuk beroperasi secara sembunyi dan rapih. Jalan menuju radikalisasi seringkali dimulai dari dunia maya; mulai dari memilih pertemanan di Facebook, terpapar dengan konten-konten propaganda dari Suriah tentang akhir zaman dan mendapatkan pahala bagi siapa yang menegakkan syariat, hingga akhirnya tertarik untuk mendukung kelompok-kelompok seperti Negara Islam (NI).
Narasi yang digunakan seringkali menyentuh sisi emosional, seperti perumpamaan “umat Muslim bagaikan satu tubuh”, yang membuat mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut merasakan penderitaan saudara seimannya di belahan dunia lain.
Peran Strategis Perempuan dalam Jaringan Ekstremisme
Mekanisme keterlibatan mereka pun semakin kompleks. Berdasarkan wawancara dengan para mantan ekstremis seperti Listyowati yang telah berhasil dideradikalisasi, ia mengungkap bahwa perempuan tidak hanya terlibat dalam perekrutan, tetapi juga memainkan peran kunci dalam pendanaan.
Proses transaksi keuangan dilakukan dengan cara yang begitu canggih mengikuti perkembangan teknologi, mulai dari pengambilan uang melalui PayPal hingga menggunakan mata uang kripto untuk menyamarkan jejak. Ini menunjukkan adaptasi yang cepat dengan teknologi modern.
Menyikapi realitas ini, upaya kolaboratif pun dilakukan. Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) menginisiasi Women Alumni Network yang fokus pada pemberdayaan perempuan di bidang penegakan hukum di Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Sebagai puncaknya, pada awal 2024, diselenggarakan di KTT Regional tentang peran perempuan dalam terorisme di Asia Tenggara. Forum ini menjadi wadah yang sangat penting untuk meningkatkan keterlibatan dan perlindungan perempuan dalam sektor keamanan dan hukum, sekaligus mengakui bahwa pendekatan keamanan harus inklusif dan sensitif gender.
Lanskap Ancaman Ekstremisme di Asia
Lantas, bagaimana kondisi terkini mengenai ancaman ekstremisme di Asia?
Data hingga September 2025 menunjukkan bahwa ekstremisme dan terorisme masih menjadi ancaman di kawasan Asia, meski ada tren penurunan di beberapa negara. Menurut data Global Terrorism Index (GTI) 2025 melaporkan Malaysia berada di peringkat ke-52 di dunia dengan skor 1.626, yang menandakan ancaman sedang hingga rendah. Mengalami kenaikan sebanyak 35 dalam ranking GTI 2025.
Sedangkan, Global Terrorism Index (GTI) 2025 melaporkan Indonesia berada di peringkat ke-30 dunia dengan skor 4,17, yang menandakan bahwa ancaman tersebut sedang hingga rendah. Capaian signifikan Indonesia adalah pembubaran kelompok Jamaah Islamiyah pada 2024 dan tidak adanya serangan teror yang tercatat dalam dua tahun terakhir.
Namun, ancaman tetap hidup, terutama dari kelompok-kelompok di Filipina dan Thailand Selatan, serta jaringan lintas negara di Malaysia. Kerjasama ASEAN terus diperkuat untuk mencegah penyebaran paham radikal.
Upaya Regional dan Global: Dari Pemberdayaan hingga Pencegahan
Secara global, kelompok seperti ISIS masih aktif dan menjadi sumber inspirasi, meski fokus kegiatan mereka lebih banyak di Timur Tengah dan Afrika. Ancaman terbesar mereka kini justru merambah ke ranah online, dengan peningkatan konten radikal yang menyasar generasi muda khususnya perempuan mulai dari kalangan muda hingga yang tua.
Hal itu dikarenakan beberapa factor; kurangnya pengakuan dari masyarakat, hubungan keluarga yang kurang harmonis hingga tekanan mental pada perempuan sehingga mereka mencari jati diri dengan suatu penerimaan dan kekuatan untuk melawan.
Oleh karena itu, Penegakan hukum di Asia dituntut untuk terus menyesuaikan dengan berbagai strategi dalam memerangi terorisme yang semakin digital.
Singkatnya, meski ancaman terorisme menunjukkan penurunan di beberapa area, namun peran perempuan dalam ekstremisme adalah fenomena nyata yang harus dihadapi dengan strategi multidimensi.
Upaya pemberdayaan melalui inisiatif seperti JCLEC, combined dengan kerjasama regional yang erat dan adaptasi terhadap lanskap digital, adalah kunci utama untuk memastikan bahwa perempuan tidak menjadi pelaku, tetapi justru menjadi agen perdamaian di garis terdepan untuk melawan terorisme. []
Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.
Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/



