402 Anak Jadi Korban Eksploitasi di Panti Asuhan Malaysia: Negara Harus Berbenah dalam Perlindungan Anak
Oleh: Viqia Sastrawardana
Tanggal 11 September 2024 akan tercatat sebagai hari yang menyisakan luka mendalam bagi Malaysia. Pada hari itu, pihak berwenang berhasil menyelamatkan 402 anak dari jeratan eksploitasi dan pelecehan di 20 panti asuhan.
Inspektur Jenderal Polisi, Razarudin Husain, melaporkan bahwa 201 anak laki-laki dan 201 anak perempuan berusia antara 1 hingga 17 tahun ditemukan di 18 panti di Selangor dan 2 panti di Negeri Sembilan.
Bersamaan dengan itu, 171 tersangka ditahan. Dari jumlah tersebut, 66 adalah laki-laki dan 105 perempuan, termasuk ustaz dan pengasuh.
Bahkan dalam laporan menyebutkan ada anak yang ditempeli sendok panas hanya karena melakukan kesalahan kecil, sementara sebagian lain dilecehkan dengan dalih pemeriksaan medis.
Kabar ini mengejutkan dunia. Bukan hanya karena jumlah korbannya yang besar, tetapi juga karena fakta bahwa institusi yang seharusnya menjadi rumah aman justru berubah menjadi ladang kekerasan.
Pandangan Sisters in Islam (SIS) Forum Malaysia
Sisters in Islam (SIS), organisasi perempuan progresif di Malaysia, sejak lama mengingatkan bahwa agama kerap disalahgunakan untuk membungkus praktik diskriminatif dan kekerasan.
Bagi SIS, kasus ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap ajaran Islam yang menjunjung tinggi martabat manusia.
Terlebih, dalam pandangan ajaran Islam, anak-anak adalah amanah Tuhan yang harus dijaga, dididik, dan dilindungi. Tidak ada alasan agama yang bisa membenarkan praktik menyakiti, melecehkan, apalagi mengeksploitasi anak. Ketika pengasuh atau ustaz justru menjadi pelaku, hal itu bukan hanya kejahatan, melainkan juga mencoreng nilai-nilai agama yang seharusnya mereka ajarkan.
SIS menegaskan bahwa kekerasan atas nama pendidikan atau disiplin hanyalah bentuk penyalahgunaan kuasa. Islam tidak mengajarkan itu.
Karena itu, SIS mendorong agar tragedi ini menjadi momentum reformasi, di mana negara berani menegakkan keadilan dan masyarakat sipil memperkuat pengawasan.
Penyelesaian Hukum
Dari kasus ini, bagi saya harus ada tanggung jawab besar dari negara. Setidaknya ada empat langkah mendesak yang bisa mereka lakukan.
Pertama, penegakan hukum tanpa pandang bulu. Semua pelaku, tanpa kecuali, harus dijerat pasal terkait kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan pelanggaran hak asasi manusia. Tidak boleh ada impunitas, meski pelaku memiliki status sosial atau agama yang dihormati.
Kedua, reformasi regulasi panti asuhan. Pemerintah harus memperketat aturan pendirian dan pengelolaan panti. Ada standar jelas tentang rekrutmen pengasuh, sistem pendidikan, kesehatan, serta mekanisme pengawasan rutin.
Ketiga, rehabilitasi anak korban. Anak-anak yang diselamatkan bukan hanya butuh perlindungan fisik, tetapi juga pemulihan psikologis, pendidikan, dan jaminan masa depan. Negara harus hadir dengan program komprehensif, bukan sekadar menyelamatkan lalu melepas.
Keempat, keterlibatan masyarakat sipil. Organisasi seperti SIS, lembaga advokasi anak, dan komunitas hukum perlu dilibatkan dalam memantau jalannya proses hukum dan perbaikan sistem, agar tidak sekadar jadi janji tanpa implementasi.
Bahkan, SIS sudah mengingatkan bahwa agama tidak boleh dipakai sebagai legitimasi untuk menutup mata terhadap kekerasan. Maka kini saatnya Malaysia menjadikan tragedi ini sebagai momentum berbenah: memperbaiki hukum, memperkuat perlindungan anak, dan memastikan setiap panti benar-benar menjadi rumah aman, bukan jerat kekerasan.
Sebab pada akhirnya, peradaban suatu bangsa bisa diukur dari cara ia memperlakukan anak-anaknya.




