Oleh:
Hj. Ery Khaeriyah, M.A
A. Pendahuluan
Problematika arah kiblat di Indonesia masih menjadi pembahasan yang urgen bagi para ahli Ilmu Falak. Mengingat dasawarsa yang lalu komisi fatwa MUI pernah mengeluarkan fatwa MUI nomor 3 tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia menghadap ke Barat. Hal ini kembali mengingatkan umat muslim pada masa K.H. Ahmad Dahlan yang meluruskan arah kiblat masjid Yogyakarta pada tahun 1315 H/1897 M, yang dimana pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya mengarah ke arah Barat lurus, sehingga mengalami kemelencengan dan tidak tepat mengarah ke arah kiblat yang sudutnya 24º derajat ke arah utara dari arah barat (Barat Laut).
Namun setelah MUI mengeluarkan fatwa tersebut, akhirnya memicu perdebatan di antara para ulama, ahli falak dan pakar astronomi, sehingga MUI kembali mengeluarkan Fatwa MUI nomor 5 tahun 2010, bahwa arah kiblat Indonesia menghadap ke Barat Laut. Setelah umat muslim melalui fase perdebatan tentang arah kiblat Indonesia, masalah ini kemudian menjadi perbincangan khusus dikalangan pengurus-pengurus masjid dan musala, sehingga banyak dari mereka yang mengalami keraguan tentang arah kiblat masjid dan musala yang sudah lama mereka tempati untuk beribadah.
Kesempurnaan ibadah umat Islam dapat di nilai dari terpenuhnya dua ketentuan yaitu, syarat dan rukun. Jika dua unsur itu telah terpenuhi, maka ibadah tersebut bisa dianggap sah. Misalnya dalam melaksanakan salat, umat Islam tentunya diwajibkan menghadap ke arah kiblat. Karena menghadap ke arah kiblat menjadi salah satu syarat sah bagi umat Islam dalam melaksanakan salat, baik salat fardhu atau salat sunah, kecuali shlat khauf.
Persoalan pentingnya arah kiblat dalam ibadah sholat ialah sudah disepakati oleh para ulama dari empat madzhab syafi’i, hanafi, maliki dan hambali, yang menyatakan bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah sholat. Jika arah kiblat menyimpang satu derajat saja maka akan terjadi pergeseran arah mencapai 100 kilometer dan kalau penyimpangannya 10 derajat shalat tak lagi menghadap kiblat (ka’bah) melainkan ke Ethiopia.
Karenanya, kaidah dalam menentukan arah kiblat memerlukan suatu ilmu khusus yang harus dipelajari biasa dikenal dengan ilmu falak, berkenaan dengan hal ini masalah kalibrasi arah kiblat Masjid/Muṣalla secara umum akan ditemukan masalah- masalah seperti masalah teknis dan masalah non-teknis.
Masalah teknis yang dimaksud di sini adalah terkait dengan cara/teknis pengukuran dalam hal penentuan arah kiblat, sedangkan masalah non-teknis di sini adalah masalah yang terkait dengan aspek keagamaan, sosial kemasyarakatan, budaya, bahkan psikologi jama’ah Masjid/Muṣalla (pengurus) di saat mengetahui deviasi/penyimpangan arah kiblat Masjid/Muṣalla mereka.
Bila kedua hal ini terjadi ketidaksinkronan, maka kalibrasi arah kiblat akan mengalami kendala, benar menurut rumus ilmu falak tapi tak diterima oleh pengurus Masjid/Muṣalla sebagai sebuah kebenaran, atau pengurus Masjid/Muṣalla tidak mempersoalkan adanya deviasi/penyimpangan arah kiblat oleh karena pemahaman yang berbeda (untuk tidak dikatakan keliru) sementara menurut kajian ilmu falak sepatutnya dilakukan akurasi arah kiblat.
B. Makna Menghadap Arah Kiblat
Arah dalam bahasa Indonesia mempunyai dua arti, yaitu “menuju” dan “menghadap ke“. Arah dalam bahasa Arab disebut jihah atau syaṭrah dan kadang-kadang disebut juga dengan qiblah (dalam bentuk maṣdar) yang berasal dari kata qabbala-yaqbulu- qiblah yang artinya menghadap. Kata kiblat berasal dari bahasa Arab asal katanya ialah , sinonimnya adalah yang berasal dari kata artinya adalah keadaan arah yang dihadapi, kemudian pengertiannya dikhususkan pada suatu arah, dimana semua orang yang mendirikan shalat menghadap kepadanya
Adapun kiblah atau kiblat diartikan dengan arah ke Ka’bah di Mekah (pada waktu shalat), sedangkan dalam bahasa Latin disebut Azimuth, Abdul Aziz Dahlan dan kawan-kawan, sebagaimana dikutif juga Ahmad Izzuddin mendefenisikan kiblat sebagai bangunan Ka’bah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan sebagian ibadah. Sedangkan Harun Nasution, mengartikan kiblat sebagai arah untuk menghadap pada waktu Ṣalat.
Sementara Mochtar Effendy mengartikan kiblat sebagai arah shalat, arah Ka’bah di kota Mekah. Departemen Agama Republik Indonesia mendefenisikan kiblat sebagai suatu arah tertentu bagi kaum muslimin untuk mengarahkan wajahnya dalam melakukan shalat. Slamet Hambali memberikan definisi arah kiblat yaitu arah menuju Ka’bah (Baitullah) melalui jalur paling terdekat, dan menjadi keharusan bagi setiap orang muslim untuk menghadap ke arah tersebut pada saat melaksanakan ibadah shalat, di manapun berada di belahan dunia ini.
Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa arah kiblat adalah arah terdekat menuju Ka’bah melalui lingkaran besar (great circle) bola bumi. Lingkaran bola bumi yang dilalui oleh arah kiblat dapat disebut lingkaran kiblat, lingkaran kiblat dapat didefenisikan sebagai lingkaran bola bumi yang melalui sumbu atau poros kiblat. Muhyiddin Khazin memberi defenisi dengan arah atau jarak terdekat sepanjang lingkaran besar yang melewati ke Ka’bah (Mekah) dengan tempat kota yang bersangkutan. Sedangkan Nurmal Nur mengartikan kiblat sebagai arah yang menuju ke Ka’bah di Masjidil Haram Mekah, dalam hal ini seorang muslim wajib menghadapkan mukanya tatkala ia mendirikan shalat atau dibaringkan jenazahnya di liang lahat.
Dengan demikian dari segi bahasa arah kiblat berarti menghadap ke Ka’bah ketika shalat. Sementara itu arah sendiri adalah jarak terdekat dari suatu tempat ke Mekah. Sederhananya yang dimaksud dengan arah kiblat dalam penelitian ini adalah menghadap ke arah kiblat dengan jarak yang terdekat ke Ka’bah di Mekah, dan setiap muslim wajib menghadap ke arahnya saat mengerjakan shalat. (maksudnya jika seseorang sedang menghadap kiblat dengan benar berdasarkan perhitungan ilmu falak, maka arah belakangnya itu sebenarnya juga arah yang menuju kiblat (Ka’bah, Mekah) namun berdasarkan data Geografis jarak yang terdekat di antara keduanya adalah arah depannya, bukan belakangnya, arah depan tersebut adalah arah terdekat itulah arah kiblat).
C. Dalil-dalil Tentang Perintah Menghadap Kiblat
Menghadap kiblat berkaitan dengan ritual ibadah yakni shalat. Ia baru merupakan keharusan untuk dilakukan setelah ada ketetapan atau dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat itu wajib. Dalam kaidah fiqhiyah dijelaskan yang artinya hukum pokok dalam lapangan ibadah itu adalah baṭal sampai ada dalil yang memerintahkan. Hal ini berarti bahwa lapangan ibadah, pada hakekatnya segala perbuatan harus menunggu adanya perintah. Ada beberapa nass yang memerintahkan untuk menghadap kiblat dalam shalat baik Al-Qur’an maupun hadis.
Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan pembahasan kiblat adalah yang artinya “dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (Rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS: Al Baqarah:115). Kata masyriq atau Timur berarti tempat Matahari terbit. Sedangkan kata maghrib atau Barat berarti tempat Matahari terbenam. Keduanya adalah kepunyaan Allah, begitu juga segala apa yang terdapat antara kedua penjuru itu, semuanya adalah hak milik Allah.
Penjelasan berikutnya yang ditemukan adalah bahwa ayat ini turun berkenaan tentang suatu kaum yang suatu ketika tidak dapat melihat arah kiblat yang tepat, sehingga mereka shalat ke arah yang berbeda-beda. Menurut penulis bahwa ini bukan suatu hal pembenaran bahwa bisa berkiblat kemana saja di saat sudah tahu arah kiblat yang benar berdasarkan ilmu falak.
Setelah mereka sampai ke Madinah, merekapun bertanya kepada Rasulullah Ṣaw. tentang hal itu. Saat itu Rasulullah Ṣaw. terdiam sejenak, lalu turunlah ayat 115 Q.S. al- Baqarah sebagai penjelasan akan peristiwa yang dialami mereka. Dari asbabun nuzul ayat ini, bahwa adanya hukum rukhṣah atau keringanan untuk menghadap kemana saja dalam melaksanakan ibadah shalat hanya bagi mereka yang tidak tahu dan tidak dapat menentukan arah kiblat dengan pasti. Dengan demikian dipahami bahwa jangan sampai hal ini dijadikan dalil bahwa boleh menghadap kemana saja dalam hal melaksanakan ibadah shalat sekalipun sudah tahu mana yang benar dan yang salah serta didukung oleh ilmu dan teknologi yang mendukung untuk akurasi arah kiblat tersebut.
Dalam riwayat lain ditemukan bahwa ketika turun firman Allah dalam surat al-Mukmin ayat 60 yang artinya “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. Ketika turun ayat ini, para sahabat bertanya kepada Rasulullah Ṣaw. ya Rasulullah kemana kami menghadap?, maka jawaban atas pertanyaan tersebut maka turunlah ayat tersebut.
Para ulama berpendapat bahwa Q.S. alBaqarah ayat 115 membahas arah kiblat secara takhṣiṣ, yaitu pengkhususan menghadap kiblat bagi orang yang tidak dapat menentukan arah kiblat dengan tepat, bagi orang yang dalam kondisi ketakutan, misalnya perang atau lainnya, dan bagi orang yang berada dalam kendaraan, seperti pesawat, kapal laut, kereta api atau lainnya.
Hikmah yang terkandung dalam masalah menghadap kiblat ketika shalat berarti seorang hamba Allah yang sedang melaksanakan shalat itu sedang menghadap kepada Allah Maha Pencipta. Tetapi karena berhadap hadapan langsung ini tidak mungkin, maka Allah menentukan tempat tertentu sebagai arah menghadap ketika shalat, yakni kiblat. Jadi, seakan-akan orang yang menghadap kiblat sama saja dengan menghadap kepada Allah.
Ayat al-Qur’an berikutnya adalah Q.S. al-Baqarah ayat 142 yang artinya “Orang-orang yang kurang akalnya, diantara manusia akan berkata: Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? Katakanlah: Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”.
Adapun yang dimaksud dengan As-sufaha’ dalam ayat ini adalah orang-orang yang kurang akalnya, lemah akalnya, atau yang melakukan aktivitas tanpa dasar, baik karena tidak tahu, atau enggan tahu, atau tahu tapi melakukan yang sebaliknya. Sehingga tidak dapat memahami maksud pemindahan kiblat.
Ayat al-Qur’an berikutnya adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 143 yang artinya “dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Adapun yang di maksud dengan “ummatan wasaṭan” dalam ayat ini adalah bahwa umat Islam dijadikan sebagai umat pertengahan, moderat dan teladan, sehingga dengan demikian keberadaan kamu dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada di pertengahan pula.
Dengan adanya perubahan arah kiblat, para sahabat menanyakan hukum shalat bagi orang-orang yang telah meninggal dunia, dimana dulu waktu melaksanakan shalat menghadap kiblat sebelum dirubah kearah Baitullah. Mereka mengadu bahwa mereka tidak mengetahui hukum tentang shalat pendahulu mereka. Kemudian turunlah Q.S. Al-Baqarah ayat 143; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu, yakni shalat-mu. Artinya shalat orang-orang atau para sahabat yang sudah meninggal dunia dan pada waktu itu belum diubah arah kiblatnya, Allah mengampuninya.
Ayat al-Qur’an berikutnya adalah Q.S. al-Baqarah ayat 144 yang artinya “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram, dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Berdasarkan penjelasan dari Muḥammad ‘Alī Aṣ-Ṣābunī berkaitan dengan ayat di atas bahwa sebelum menghadap ke Ka’bah ketika shalat umat Islam menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan, ketika itu orang-orang Yahudi memperolok-olok Nabi Muḥammad dengan mengatakan kenapa umat Muḥammad sama menghadap ke Baitul Maqdis dengan orang-orang Yahudi ketika shalat. Setelah itu Rasulullah Ṣaw. sering melihat ke langit sambil menengadahkan tangan dan berdoa menunggu perintah Allah (mengharapkan kiblat diarahkan ke Ka’bah atau Masjidil Haram), sehingga turunlah ayat di atas yang menunjukkan bahwa kiblat kaum muslimin tidak lagi menghadap ke Baitul Maqdis melainkan ke arah Masjidil Haram.
Berita lain menjelaskan bahwa diriwayatkan dari Imām al-Bukhārī dan Imām Muslim dari al-Barra’ bin ‘Azib; bahwa Nabi Ṣaw. shalat menghadap Baitul Maqdis selama 16 bulan (ketika sudah di Madinah). Nabi ingin sekali kiblatnya dirubah ke Baitullah, dalam riwayat ini disebutkan bahwa shalat Nabi pertama kali menghadap kiblat (Baitullah) adalah shalat Aṣar bersama sekelompok orang (jama’ah). (setelah selesai shalat) kemudian salah seorang jama’ah Nabi keluar, berlari menuju ke suatu Masjid (lain), saat itu jama’ahnya sedang ruku’ dalam shalatnya. Lalu (saat itu juga) orang tadi mengatakan “saya bersaksi demi Allah, sungguh saya tadi telah shalat bersama Nabi Ṣaw. dengan menghadap ke Mekah.” Kemudian jama’ah shalat Masjid itu memutar ke arah Mekah (Baitullah).
Namun riwayat lain menjelaskan bahwa shalat Nabi pertama kali menghadap kiblat (Baitullah) adalah shalat ẓuhur, sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imām Nasā’ī dan Imām Ṭabrānī. yang dari Sa’id bin Ma’la ia berkata : Rasulullah Ṣaw. shalat ẓuhur bersama manusia pada hari itu dengan menghadap Ka’bah.
Ayat al-Qur’an berikutnya adalah Q.S. al-Baqarah ayat 149-150 yang artinya “dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.(149). Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang ẓālim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”(150)
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr dari jalur Sadiy dengan sanad-sanadnya berkata, “Tatkala kiblat Nabi Ṣaw. dipalingkan ke Ka’bah setelah sebelumnya menghadap ke Baitul Maqdis, orang-orang musyrik warga Mekah barkata bahwa agamanya telah membingungkan Muḥammad, sehingga sekarang ia berkiblat ke arahmu dan menyadari bahwa langkahmu lebih memperoleh petunjuk daripada langkahnya, bahkan ia telah hampir masuk ke dalam agamamu.” Menanggapi hal ini, maka Allahpun menurunkan Q.S. Al-Baqarah ayat 150 ini, ayat ini berisi hikmah dari perpindahan arah kiblat yakni agar tidak ada alasan (hujjah) bagi manusia untuk menyalahkan Muḥammad dan agar tidak ada hujjah bagi mereka atas Muḥammad, kecuali orang-orang żālim di antara mereka.
Dengan demikian, ayat ini mencakup sudah semua tempat dan keadaan. Dari mana saja engkau keluar wahai Muhammad, dari Madinah menuju Mekah, atau ke Ṭaif, atau Hunain atau ke mana saja, maka arahkan wajahmu ke sana. Bukan hanya engkau, umatmu pun demikian. Di mana saja mereka berada, di Mekah atau di Jakarta atau di mana saja, mereka semua ketika shalat harus mengarah ke Ka’bah.
Ayat al-Qur’an berikutnya adalah Q.S. al-Baqarah ayat 177 yang artinya “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Dijelaskan bahwa asbabun nuzul ayat ini adalah dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa qatadah menerangkan tentang kaum Yahudi yang menganggap bahwa yang baik itu adalah shalat menghadap barat, sedangkan kaum Naṣara mereka menghadap kearah timur, sehingga karena perilaku mereka seperti ini maka turunlah ayat ini Q.S. AlBaqarah ayat 177. Berita ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzaq dari Ma’mar, yang bersumber dari Qatadah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi al-‘Aliyah.
Dari asbabun nuzul ayat ini dipahami bahwa sesungguhnya maksud ayat ini adalah membantah dan menolak prediksi kaum Yahudi bahwa shalat yang baik itu adalah menghadap ke arah barat dan begitu pula membantah prediksi kaum Naṣhara bahwa shalat yang baik itu adalah menghadap ke arah Timur. Apalagi dengan anggapan bahwa arah kiblat itu adalah urusan hati, hal tersebut sama sekali tertolak dan tidak benar.
Redaksi ayat di atas dapat juga bermakna bukannya menghadapkan wajah ke arah Timur dan Barat yang merupakan semua kebajikan, atau bukannya semua kebajikan merupakan sikap menghadapkan wajah ke timur dan barat. Menghadap ke Timur atau ke Barat, bukan sesuatu yang sulit, atau membutuhkan perjuangan, dan di sanalah kebajikan sejati ditemukan. 40 Bila ada berita atau pendapat yang mengatakan bahwa kiblat itu ada dua, yaitu kiblat hakikat dan kiblat syari’at. Maka hal ini perlu dicermati bahwa antara syari’at dan hakikat haruslah sejalan dan searah, sehingga ketentuan arah kiblat secara syari’at itu amat sangat diperlukan untuk mencapai arah kiblat hakikat.
Adapun hadis-hadis yang berhubungan dengan pembahasan kiblat di antaranya adalah: “Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Ṣaw. bersabda : bila hendak shalat maka sempurnakanlah wuḍu’, lalu menghadaplah ke kiblat kemudian takbir.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan kewajiban menghadap kiblat, ini merupakan ijma’ kaum muslimin kecuali dalam kondisi lemah atau dalam suasana ketakutan karena terjun di kancah peperangan. Yang menunjukkan kewajiban menghadap kiblat itu adalah Alquran dan sunnah yang mutawatir, dalam Aṣ-ṣahih diriwayatkan dari hadis Anas, dia berkata, Rasulullah Saw. bersabda ; Aku diperintah agar memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Lailaha illallah, apabila mereka telah mengucapkannya dan shalat seperti shalat yang kami kerjakan, menghadap ke arah kiblat kami dan menyembelih seperti sembelihan kami, maka telah diharamkan atas kami darah dan harta mereka kecuali menurut haknya. Dan hisab mereka ada pada Allah.
Menurut al-Hadiwiyah, bahwa menghadap kiblat termasuk syarat sahnya shalat kecuali bila ada hal yang menghalanginya, seperti diriwayatkan Rasulullah Saw. bersama sahabatnya shalat pada suatu malam yang gelap gulita, sehingga kami tidak tahu mana arah kiblat. Masing-masing orang di antara kami menghadap ke arah yang diperkirakan masing-masing. Tatkala tiba waktu pagi kami menyampaikan hal itu bersama Nabi Saw. lalu turunlah ayat ; “maka kemanapun kamu menghadap maka di situlah wajah Allah”
“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari ‘Abdullah bin Dinar dari ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, Ketika orang-orang shalat subuh di Quba’, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata, sungguh, tadi malam telah turun ayat kepada Rasulullah Ṣaw., beliau diperintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah. Maka orang-orang yang sedang shalat berputar menghadap Ka’bah, padahal pada saat itu wajah-wajah mereka sedang menghadap negeri Syam. Mereka kemudian berputar ke arah Ka’bah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lebih jauh dijelaskan, bahwa Hadis ini diucapkan Nabi saat berada di kota Madinah. Adapun kota Madinah menurut geografis berada di bagian utara dari kota Mekah, sehingga Mekah berada tepat di bagian selatan dari kota Madinah. Dengan demikian perkataan Nabi berkaitan dengan timur dan barat adalah kiblat bagi orang penduduk kota Madinah, yaitu kiblat di bagian selatan kota Madinah.
“Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Nafi’ bahwa Umar bin Khaṭṭab berkata, apa yang di antara Barat dan Timur adalah kiblat, apabila menghadap ke arah Ka’bah.” (HR. Malik).
Hadis ini memperkuat hadis di atas, karena apa yang di antara timur dan barat adalah kiblat jika benar benar dihadapkan ke arah kiblat.
“Dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, sesungguhnya dia pernah ditanya tentang shalat khauf yang disifati itu, lalu dia berkata, kalau takutmu itu sangat berat, maka mereka bisa shalat sambil berjalan dan berdiri di atas telapak-telapak kaki mereka dan dengan kenderaan sambil menghadap kiblat serta tidak menghadap kiblat. Nafi’ berkata, aku tidak mengetahui Ibnu Umar berkata demikian, kecuali dari Nabi Saw.” (HR. Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa shalat khauf, apalagi jika jumlah musuh sangat banyak, boleh dilakukan menurut keadaan yang memang memungkinkan, sehingga bisa dilakukan dengan berdiri lalu berubah dengan naik kendaraan, dari ruku’ dan sujud berubah dengan cara memberi isyarat saja, serta boleh meninggalkan rukun-rukun yang memang dia tidak bisa melaksanakannya. Ini menurut pendapat jumhur. Tetapi menurut pendapat Malikiyah, hal itu tidak boleh dilakukan kecuali jika dikhawatirkan waktunya akan habis.
“Dari ‘Aṭa’ dari ibn ‘Abbas RA. bahwasanya Rasulullah Ṣaw. bersabda : Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang di Masjidil Haram, Masjidil Haram adalah kiblat bagi orang-orang penduduk Tanah Haram (Mekah), dan Tanah Haram (Mekah) adalah kiblat bagi semua umatku di bumi, baik di darat ataupun di timur.” (HR. Baihaqi).
Hadis ini dijelaskan di dalam kitab Nailul Auṭar, ditunjukkan yang ditakhrij oleh Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas; Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda; Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang di Masjidil Haram, Masjidil Haram adalah kiblat bagi orang-orang penduduk Tanah Haram (Mekah), dan Tanah Haram (Mekah) adalah kiblat bagi semua umatku di bumi, baik di barat ataupun di timur.
Adapun dalil Ijmak tentang keharusan menghadap kiblat saat shalat adalah dapat ditemukan sebagaimana disebutkan dalam al-Fiqh ‘ala alMazahib al-Arba’ah. Artinya umat Islam telah sepakat bahwa menghadap kiblat adalah merupakan syarat sah shalat. Dengan demikian para ulama juga telah sepakat bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat.
Dari beberapa tahapan penelusuran dalil normatif tentang menghadap kiblat baik dari al-Qur’an, Hadis maupun ijmak maka dapat dipahami bahwa menghadap kiblat itu adalah wajib dan salah satu syarat sah shalat, namun ada keringanan bagi orang-orang seperti; bagi orang yang tidak dapat menentukan arah kiblat dengan tepat, bagi orang yang dalam kondisi ketakutan, misalnya perang atau lainnya dan bagi orang yang berada dalam kendaraan, seperti pesawat, kapal laut, kereta api atau lainnya.
D, Memaknai Kalimat Masjidil Haram
Memaknai kalimat Masjidil Haram sebagai petunjuk dalil dalam menghadap arah kiblat sebagaimana telah disebutkan dalam ayat dan hadis di atas adalah sebagai berikut. Imām Nawāwī dalam al-Majmu‘ Syarah Muhażżāb menjelaskan tentang Masjidil Haram yaitu Yang dimaksud dengan Masjidil Haram di sini adalah bangunan Ka’bah. Namun, beliau menjelaskan bahwa pemaknaan Masjidil Haram itu menjadi ikhtilāf (perbedaan) di kalangan ahli fikih, masing-masing memiliki dalil dalam memperkuat ijtihadnya, Artinya ketahuilah bahwasanya Masjidil Haram itu kadang-kadang dipahami dan yang dimaksud dengannya adalah Ka’bah saja, terkadang yang dimaksud adalah Masjidil Haram dan sekitarnya, terkadang yang dimaksud adalah seluruh kota Mekah, terkadang yang dimaksud adalah seluruh kota Mekah dan seluruh Masjidil Haram.
Kalimat itu bisa dipahami dan disimpulkan bahwa, maksud Masjidil Haram itu adalah; pertama, Ka’bah (hanya Ka’bah). Pendapat ini di antaranya berdasarkan dalil Q.S. AlBaqarah ayat 144 yang artinya “palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” Makna Masjidil Haram itu berdasarkan penjelasan ayat ini di antaranya adalah ‘ainul Ka’bah. Hal ini juga telah dijelaskan pada alinea sebelumnya bahwa kata sampai tiga kali, menurut Fakhruddin arRāzi bahwa ungkapan itu karena disesuaikan dengan keadaan, ungkapan yang pertama adalah ditujukan pada orang-orang yang menyaksikan Ka’bah (Ainul Ka’bah).
Kedua, artinya Masjidil Haram dan sekitarnya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Imam Ahmad Artinya : Ṣalat di Masjidku ini (Masjid Nabawī) lebih baik dari seribu shalat di Masjid lain, kecuali melaksanakan shalat di Masjidil Haram. Ini juga didasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari yang artinya tidak dibolehkan melakukan perjalanan (dengan bersangatan) kecuali menuju tiga Masjid, yaitu; Masjidil Ḥaram, Masjid-Ku ini (Masjid Nabawi) dan Masjid al-Aqṣa.
Adapun pemaknaan Masjidil Haram itu berdasarkan penjelasan dalil-dalil ini di antaranya juga adalah tetap dengan makna Masjidil Haram itu adalah seluruh kota Mekah dan Masjidil Haram. Pendapat ini didasarkan pada Q.S. al-Isra’ ayat 1 yang artinya “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqṣa.” Mekah didefinisikan sebagai Masjidil Haram berdasarkan ayat di atas karena awal mula peristiwa isra’ dan mi’raj, dimulai dari kota Mekah dalam ayat al-Qur’an Q.S. Al-Baqarah ayat 196 yang artinya “ tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna, demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah).”
Pemaknaan Masjidil Haram itu menjadi beragam, ada ‘ainul Ka’bah, Masjidil Haram dan Mekah, namun Imām Nawāwī memperjelas bahwa yang dimaksud dengan Masjidil Haram di sini adalah bangunan Ka’bah. hal ini juga diperkuat oleh Muhammad Ali AṣṢābūni dalam Tafsir Ahkamnya Artinya adapun yang dimaksud dengan masjidil haram di sini adalah pendapat yang pertama (yaitu Ka’bah), maka makna ayatnya adalah: maka palingkanlah wajahmu ke arah Ka’bah.
Berdasarkan dalil tersebut maka dipahami bahwa menghadap ke arah kiblat menjadi suatu keharusan dan kewajiban bagi umat Islam yang hendak menunaikan shalat baik shalat farḍu lima waktu sehari semalam atau shalat-shalat sunat yang lain. Terlepas apakah kiblat yang dimaksud dengan kalimat Masjidil Haram itu diartikan Ka’bah saja, Masjidil Haram dan sekitarnya, seluruh kota Mekah atau seluruh kota Mekah dan seluruh Masjidil Haram.
E. Pentingnya Kalibrasi Arah Kiblat dalam Penyempurnaan Ibadah
Menghadap kiblat berkaitan dengan ritual ibadah yaitu shalat. Ia baru menjadi keharusan untuk dilakukan setelah ada ketetapan atau dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat itu wajib. Dalam kaidah fiqhiyah dijelaskan Artinya hukum pokok dalam lapangan ibadah itu adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkan. Hal ini berarti bahwa lapangan ibadah, pada hakikatnya segala perbuatan harus menunggu adanya perintah. Ada beberapa Nash yang memerintahkan kita untuk menghadap kiblat dalam shalat baik Al-Qur’an maupun Hadis.
Jika diperhatikan tentang pelaksanaan ibadah shalat misalnya, ia baru dikatakan sah jika melaksanakan shalat itu sudah masuk waktu, contohnya shalat zuhur, shalat zuhur baru dikatakan sah dilaksanakan jika shalat zuhur itu dilaksanakan setelah masuk waktu shalat zuhur, seandainya shalat zuhur tersebut dilaksanakan sebelum waktunya masuk dan hal itu diketahui dengan pasti tidak atau belum masuk waktu shalat zuhur, maka ulama sepakat bahwa hal itu tidak sah. Berbeda halnya jika tidak tahu, atau dahulu menentukan waktu seperti ini atau seperti itu misalnya, dikemudian hari, ditemukan cara atau metode baru dalam menentukan waktu shalat yang lebih akurat dan pasti, maka kita wajib untuk mengikuti yang lebih baik, akurat dan pasti, sebab kalau kita berdiam diri padahal kita tahu itu sudah tidak akurat dan tidak benar, maka saya pikir (jika seandainya boleh dikatakan ijtihad) hal ini juga bisa mengakibatkan shalat seseorang itu tidak sah.
Ilustrasi ini jika seandainya bisa disamakan dengan kias dalam pendekatan ushul fiqh, maka menurut saya persoalan menghadap kiblatpun bisa dikiaskan dengan pelaksanaan ibadah shalat, jika melaksanakan shalat tidak benar waktunya, maka shalatnya tidak sah (dan ia tahu tidak benar masuk waktu shalat), demikian juga menghadap kiblat, jika dia tahu bahwa menghadap kiblat tersebut tidak benar, maka ibadah shalatnya pun tidak sah.
Dalam hal ini, bahwa pemaknaan arah kiblat itu hanya ada tiga; ‘ainul ka’bah, masjidil haram dan tanah haram; Mekah. Selain itu maka arah kiblat menurut penulis sudah keluar dari makna arah kiblat di atas, sebab tidak ada dalil yang mendukungnya secara pasti dan muktamad (bisa diperpegangi). Ala kulli hal, hemat penulis, kesamaan pemaknaan arah dan waktu merupakan lambang batasan yang harus pasti dan dipastikan, arah adalah lambang batasan tepat (harus tepat mengarah kiblat), sedangkan waktu adalah lambang batasan tempo atau masa (harus tepat masuk waktu).
Jika seandainya ada yang menganggap atau mengira bahwa menentukan arah kiblat itu suatu hal yang sulit, sedangkan Allah mengatakan bahwa tidak akan mempersulit dalam hal agama, sebagaimana dalam firman Allah yang artinya “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan).”
Menentukan arah kiblat itu, untuk saat ini tidak lagi hal yang sulit, dengan segala macam metode yang ada dalam ilmu astronomi atau ilmu falak dan didukung oleh peralatan yang sangat beragam dan saling mendukung tentang ketepatan akurasi arah kiblatnya, suatu hal yang mustahil dikatakan sulit, menentukan arah kiblat secara tepat (dalam makna yang tiga: ‘ainul Ka’bah, Masjidil Haram dan Tanah Haram; Mekah adalah merupakan ijtihad arah kiblat yang mesti dan niscaya harus dilakukan saat sekarang ini.
Jika ada pertanyaan tentang bagaimana status hukum shalat yang telah dilaksanakan oleh muslim dahulu, yang saat ini ternyata tempat shalat mereka (Masjid/Musala) dinyatakan mengalami deviasi/penyimpangan?, maka menurut penulis, bahwa persoalan menentukan arah kiblat adalah persoalan ijtihadiyah, yang terus mengalami perkembangan oleh karena faktor-faktor sains yang mendukung, kalau dahulu menentukan arah kiblat itu kemungkinan rata-rata umat mendasarkan pada matahari tenggelam untuk kawasan Indonesia, saat itu, hanya itulah metode yang diketahui dan sampai disitulah kemampuan ilmu dan pengetahuan umat tentang menentukan arah kiblat, jadi ibadah shalatnya tetap sah.
Sekalipun saat ini sudah ditemukan metode atau ilmu pengetahuan yang lebih pasti tentang penentuan arah kiblat (didukung oleh sains) hukum shalat yang dilakukan oleh umat terdahulu tetap sah, karena hukum itu tidak saling membatalkan dalam masalah ijtihadiyah, dalam hal ini muncullah kaidah yang populer yang artinya hukum itu tidak batal dengan ijtihad. Ada juga istilah menyebutkan yang artinya ijtihad itu tidak batal dengan ijtihad.
Seandainya menghadap arah kiblat yang dilakukan di luar pemaknaan yang tiga: ‘ainul ka’bah, masjidil haram dan tanah haram; mekah, dan itupun bagian dari ijtihad, maka apakah shalat dengan pemahaman kiblat seperti itu juga sah? Menurut penulis, kalau hal itu dianggap merupakan ijtihad, maka shalat tetap sah. Cuma pertanyaan berikutnya adalah, apakah hasil dari ijtihad seperti ini sudah maksimal?
Untuk saat sekarang ini, dengan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan peralatan yang modern serta canggih dan bisa dibuktikan bahwa pemaknaan arah kiblat seperti “arah yang sebelumnya” salah, maka ijtihad itu harus dirubah, ijtihad itu bukan sesuatu yang qat’i, atau absolute sehingga tidak boleh dirubah pemaknaannya, ijtihad itu harus berkembang. Kaidah Ushul Fiqh berikutnya adalah yang artinya memerintahkan sesuatu berarti memerintahkan apa yang menjadi penghubung/perantaranya.
Dengan demikian ketika Allah memerintahkan shalat, berarti segala hal yang berkaitan dengan shalat harus dilaksanakan, termasuk di antaranya adalah perintah menghadap arah kiblat ketika shalat, melaksanakan shalat itu harus benar dalam pelaksanaannya, jika tidak pasti belum shalatnya namanya (bahasa hukum; tidak sah), demikian juga menghadap kiblat harus benar cara menghadapnya, jika tidak pasti belum menghadap kiblat namanya dalam bahasa hukum itu tidak sah.
Kaidah ushul fiqh berikutnya adalah yang artinya sesuatu yang tidak sempurna wajib kecuali dengannya, maka hal itu menjadi wajib. Dengan kaidah ini bisa dipahami bahwa mengetahui arah kiblat yang benar akan menjadi wajib, karena melaksanakan ibadah shalat 5 waktu itu adalah wajib. Adapun menjadi ahli (expert) dalam mengukur arah kiblat atau ahli falak adalah bagian fard}u kifa>yah yang harus ada di antara kaum muslimin. Kemudian, menghadap ke arah kiblat dalam pelaksanaannya membutuhkan sesuatu yang pasti dan harus bisa dipastikan, sehingga menjadi qiblatul yaqin (yakin menghadap kiblat). Pemahaman tersebut bisa disederhanakan dengan konsep ijtihad dalam menentukan arah kiblat, yaitu; pertama, menghadap kiblat yakin (qiblatul yaqin).
Seseorang yang berada di dalam Masjidil Haram dan melihat langsung Ka’bah, wajib menghadapkan dirinya ke kiblat dengan penuh yakin. Ini yang juga disebut sebagai “ainul Ka’bah”. Kewajiban tersebut bisa dipastikan terlebih dahulu dengan melihat atau menyentuhnya (bagi orang yang buta) atau dengan cara lain yang bisa digunakan misalnya pendengaran, termasuk ilmu pengetahuan. Sedangkan bagi seseorang yang berada dalam bangunan Ka’bah itu sendiri maka kiblatnya adalah dinding Ka’bah.
Kedua, menghadap kiblat perkiraan (qiblatul dzan). Seseorang yang berada jauh dari Ka’bah yaitu berada diluar Masjidil Haram atau di sekitar tanah suci Mekah sehingga tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, mereka wajib menghadap ke arah Masjidil Haram sebagai maksud menghadap ke arah kiblat secara dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihatul Ka’bah”. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan bertanya kepada mereka yang mengetahui seperti penduduk Mekah atau melihat tanda-tanda kiblat atau “shaff” yang sudah dibuat di tempat-tempat tersebut, termasuk dengan ilmu pengetahuan.
Ketiga, menghadap kiblat ijtihad (qiblatul ijtihad). Seseorang yang berada di luar tanah suci Makkah atau bahkan di luar negara Arab Saudi, sehingga sulit atau tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, bagi mereka wajib menghadap ke arah Masjidil Haram (dalam makna Mekah) sebagai maksud menghadap ke arah kiblat secara ijtihad (qiblatul ijtihad). Bagi yang tidak tahu arah dan ia tidak dapat mengira qiblat dzan-nya maka ia boleh menghadap kemanapun yang ia yakini sebagai arah kiblat.
Namun bagi yang dapat mengira maka ia wajib ijtihad terhadap arah kiblatnya. Ijtihad dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat dari suatu tempat yang terletak jauh dari Masjidil Haram. Di antaranya adalah ijtihad menggunakan posisi rasi bintang, bayangan matahari, dan perhitungan segitiga bola maupun pengukuran menggunakan peralatan modern.
F. Penutup
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tentang kewajiban menghadap Ka’bah adalah bagi orang yang mampu melihat Ka’bah secara langsung. Akan tetapi bagi orang yang jauh dari Mekah dan tidak dapat melihat Ka’bah secara langsung, mayoritas para ulama hanya mewajibkan menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah).
Dengan kata lain, kiblat bagi orang yang melihat langsung Ka’bah adalah ‘ainul Ka’bah, sedangkan kiblat bagi orang yang tidak dapat melihat langsung Ka’bah adalah jihah alKa’bah. Namun bila dikaji ulang, sebenarnya para ulama memiliki komitmen bahwa bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, dan orang yang tidak dapat melihat Ka’bah tapi sebenarnya ia dapat berijtihad untuk mengetahui arah menuju Ka’bah (jihah al-Ka’bah), maka mereka wajib menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainul Ka’bah).
Dari istilah ‘ainul Ka’bah dan jihah al-ka’bah, sebenarnya yang dituju satu titik yaitu Ka’bah di Mekah. ‘Ainul Ka’bah adalah bangunan Ka’bah itu sendiri, sedangkan jihah al-Ka’bah adalah arah menuju Ka’bah.
Oleh sebab itu, untuk mengarah ke Ka’bah, tidak boleh asal menghadap, dalam artian diperlukan suatu perhitungan untuk mengarah ke Ka’bah. Apalagi dengan adanya keilmuan dan teknologi yang ada sekarang, perhitungan untuk mengarah ke titik Ka’bah menjadi lebih mudah dengan akurasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Bila demikian, keilmuan dan teknologi tentu dapat ikut serta berperan dalam menyempurnakan ibadah ibadah umat Islam yaitu menghadap kiblat lebih tepat untuk keabsahan ibadah shalat.
Namun demikian untuk orang yang tidak dapat melihat Ka’bah maka bagi mereka ada. oleransi untuk menghadap ke Masjidil Haram bagi orang yang ada di Mekah, sedangkan bagi orang yang ada di luar Mekah bagi mereka juga ada toleransi untuk menghadap ke Mekah.
Daftar Bacaan:
Dhiauddin Tanjung. Al-Manahij, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. XI No.1, Juni 2017
Departeman Agama RI. Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Dirjen Binbaga Islam Dirbinpera, 1966.
Hambali, Slamet. Ilmu Falak Arah Kiblat Setiap Saat, Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013.
Izzuddin, Ahmad. Ilmu Falak Praktis: Metode Hisab-Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya, Semarang PT. Pustaka Rizki Putra, 2012.