Faktor-Faktor Penyembuhan Bagi Para Pasien Covid-19 (Belajar dari Pengalaman Para Penyintas)

Oleh:

AHMAD YANI

 

Pribadi yang normal atau bermental sehat adalah pribadi yang menampilkan tingkah laku yang adekuat dan bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, sikap hidupnya sesuai norma dan pola kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan (Kartono, 1989). Sedangkan menurut Karl Menninger, individu yang sehat mentalnya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan menenggang perasaan orang lain, serta memiliki sikap hidup yang bahagia. Saat ini, individu yang sehat mental dapat didefinisikan dalam dua sisi, secara negatif dengan absennya gangguan mental dan secara positif yaitu ketika hadirnya karakteristik individu sehat mental. Individu sehat mental mengacu pada kondisi atau sifat-sifat positif seperti kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang positif, karakter yang kuat serta adanya sifat-sifat baik atau kebijaksanaan (virtues) (Lowenthal, 2006).

Bagi para pasien Covid-19, penyembuhan merupakan hal yang paling penting untuknya dalam berjuang melawan Covid-19. Terdapat beberapa faktor penting yang berperan dalam proses pemulihan atau penyembuhannya melewati masa isolasi karena Covid-19. Faktor-faktor tersebut baik berasal dari dalam diri mereka sendiri (psikis) maupun berasal dari luar dirinya. Faktor-faktor tersebut tentunya dapat meningkatkan imun serta iman mereka dalam menjalani isolasi, baik di rumah sakit maupun di rumah (isolasi mandiri).

  1. Berpikir Positif Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Salah satu upaya yang selalu dilakukan oleh para pasien Covid-19 guna meningkatkan iman serta imunnya selama masa isolasi dalam melawan Covid-19 adalah dengan cara tetap berpikir positif kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan adanya pikiran yang positif, maka secara otomatis, imunitas yang ada dalam diri pasien Covid-19 pun meningkat dengan baik, sehingga proses kesembuhannya akan lebih cepat terjadi. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Kartika Sari Dewi (2012) bahwa salah satu prinsip dalam memahami kesehatan mental adalah adanya dua prinsip yang didasari atas hubungan individu dengan Tuhan.

“Positive thinking saja sama Gusti Allah, itu adalah ujian dan jangan terlalu apa terbebani atau khawatir atau panik, udah semuanya Allah yang ngaturnya yang penting kita berusaha yang maksimal secara kesehatan, berdoa juga maksimal, dan optimis bahwa kita insyaallah sembuh. Insyaallah obat itu.” (Wawancara dengan Pak Agung).

Seperti yang telah dilakukan oleh Pak Agung, bahwa Covid-19 dijadikannya sebagai ujian dari Allah SWT., bukan dijadikan sebagai musibah terlebih kutukan. Dengan memiliki pemikiran yang positif atau dengan tetap berpikir positif terhadap apa yang sudah dikehendaki-Nya, maka tidak akan terlalu ada beban dan khawatir atau panik dalam menerima Covid-19 yang dialaminya tersebut. Karenanya, ia menganggap bahwa Covid-19 yang telah dialaminya adalah merupakan ujian yang semuanya sudah diatur oleh Allah SWT. Selain memiliki pikiran yang positif, perlu juga memiliki perasaan optimis bahwa ia akan sembuh dari Covid-19 tersebut.

Nah jadi sempatlah agak down gitu. Akhirnya saya ingat itu aja, pesan Nabi kepada Abu Bakar “Jangan cemas dan jangan takut, Allah bersama kita”. Ya jadi ada Allah bersama kita, pada saat seperti ini. Saya merasa itu aja, jadi menguatkan diri itu dengan cara meyakini bahwa Allah melihat saya, dan insyaallah kalau saya diuji seperti ini berarti saya kuat. Layukalifullahu nafsan illa wus’aha. Jadi Allah nggak mungkin menguji seseorang di luar kapasitas dirinya. Jadi saya merasa bahwa saya dengan ujian seperti ini saya dianggap mampu menghadapi cobaan ini. (Wawancara dengan Pak Adang).

Pemikiran positif terhadap Allah SWT., atas Covid-19 yang dialami oleh salah satu pasien Covid-19 tersebut di atas, adalah dengan mengingat pesan Nabi kepada Abu Bakar. Nabi berpesan kepada Abu Bakar bahwa Allah selalu bersama para hamba-Nya, oleh sebab itu, hendaknya tidak perlu ada rasa takut di dalam diri. Begitulah pemikiran positif yang dibangun olehnya selama menjalani isolasi di rumah sakit. Sehingga dengan demikian, maka di dalam diri dan pikirnya selalu meyakini bahwa apa yang dialaminya adalah kehendak dari-Nya, dan apa yang dikehendaki-Nya tersebut merupakan sebuah ujian, serta ia pun yakin bahwa ia pasti bisa melewati ujian yang diberikan-Nya tersebut.

“Allah memberikan ujian ini pasti Allah pun akan memberikan kesembuhan. Untuk kesembuhan itu, bagi kita umat Islam tuh ada banyak sekali solusinya yang diberikan kepada kita ya. Dan bagi Umi solusi batin itu yang paling penting ya.” (Wawancara dengan Ibu Ayi).

Upaya membangun pemikiran yang positif juga dilakukan oleh Ibu Ayi. Ujian Covid-19 yang dialaminya dapat terbilang cukup berat, karena selain ia, suaminya pun terpapar, sehingga perasaan down kerapkali dialaminya. Namun, perasaan down tersebut berkali-kali ia tepiskan dengan dihadirkannya keyakinan bahwa apa yang dialami olehnya dan sang suami merupakan ujian, dan dibalik ujian tersebut, secara sekaligus Allah SWT., juga telah memberikan kesembuhan.

Ya jadi kita sebagai orang yang beriman, yakin bahwa Allah akan memberikan suatu cobaan kepada kita semua. Cobaan itu apakah kita sakit ataupun sehat. Itu harus dianggap sebagai sebuah cobaan. Ketika kita ada pada sehat itu apakah kita sabar, apakah kita tawakal, menyadari bahwa sehat ini adalah anugerah dari Allah. Ketika sakit ya sangat terasa. Jadi dengan kejadian yang seperti itu, bagi saya bisa meningkatkan kesadaran akan kesalahan-kesalahan, dan itu anugerah dari Allah yang tidak disadari. Disadarinya pada saat sakit, gitu. Nah itulah meningkatkan imun dan iman kita. (Wawancara dengan Pak Jaja).

Tetap berpikir positif kepada Tuhan Yang Maha Esa atas ujian Covid-19 juga dialami oleh Pak Jaja. Ia sebagai seorang yang beriman meyakini bahwa Allah SWT., senantiasa memberikan ujian kepada manusia. Baik itu dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit. Semuanya adalah ujian dari-Nya. Dengan adanya ujian tersebut, adalah cara ia untuk lebih bisa meningkatkan kesadaran yang ada dalam dirinya akan kesalahan-kesalahan dan anugerah-anugerah Allah SWT., yang tidak disadari. Termasuk menyadari kesakitan yang sedang dialami.

“Ada pikiran “Kenapa kok saya? Kenapa kok keluarga saya? Gitu. Tapi saya yakin kalau ini adalah sudah takdir dari Allah. Sudah ketentuan dari Allah, memang harus dijalankan. (Wawancara dengan Ibu Mumun).

Perasaan negatif atau pemikiran negatif memang kerapkali dialami oleh para pasien Covid-19. Sehingga di dalam dirinya seringkali muncul pertanyaan “Kenapa harus saya? Kenapa harus keluarga saya?”. Tetapi pemikiran tersebut langsung saja ditepis dengan adanya keyakinan bahwa apa yang telah terjadi adalah bagian dari takdir yang sudah Allah SWT., tetapkan dan harus dijalankan. Seperti yang dialami oleh Ibu Mumun tersebut di atas.

“Kalau misalnya kita sebagai orang yang beragama, tentu kita selalu mendekatkan diri kepada Allah ya, sebagai salah satu sisi spiritualitasnya. Ya setiap penyakit kan ada obatnya, meskipun katanya waktu saya sih kan vaksinnya belum jadi, waktu itu sih belum ditemukan. Tapi dengan adanya positive thinking bahwa kita akan sembuh dengan pertolongan apalagi saya terhibur bahwa baik masyarakat sekitar saya maupun dari pihak di rumah sakit itu semuanya melayani kami, melayani pasien itu dengan sangat baik.”(Wawancara dengan Ibu Mumun).

Sebagai orang yang beragama, faktor utama yang menyembuhkan setiap penyakit adalah dengan cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan adanya keyakinan tersebut, maka akan muncul keyakinan baru bahwa setiap penyakit pasti akan ada obatnya. Meskipun belum ditemukan secara pasti obatnya, tetapi dengan berpikir positif terhadap Allah SWT., adalah bagian dari obat kesembuhan itu sendiri.

“Kemudian secara segi kualitasnya juga kita baca Qur’an dan senyum. Jadi ada tiga spiritualnya ya. Satu, baca Qur’an dengan keras, yang kedua banyakin senyum, senyum sambil bilang “Terima kasih, ya Allah, saya sembuh atas ridho dari Engkau, ya Allah”. Itu saya berpositive thinking terima kasih saya sembuh atas ridho Allah. Saya selalu bilang begitu. Jadi tidak ada saya rasakan sakitnya. Ya walaupun masih ada yang terasa, tapi saya lakukan itu “Terima kasih, ya Allah, saya sembuh atas izin-Mu”, sama tersenyum. Karena ada teori yang saya punya yaitu terima kasih atau alhamdulillah adalah doa yang paling utama. (Wawancara dengan Pak Aceng).

Bagian dari faktor kesembuhan bagi pasien saat isolasi adalah dengan tetap bersyukur dan berterima kasih kepada Allah SWT. Meskipun masih ada rasa sakit yang dialami, tetapi berterima kasih kepada Allah SWT., menjadi hal penting untuk menumbuhkan rasa optimis dalam proses penyembuhan. Hal itu juga seperti yang dilakukan oleh Pak Aceng. Ia meyakini sebuah teori bahwa kata terima kasih atau alhamdulillah adalah doa yang paling utama. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penting bagi kesembuhannya.

Semua yang namanya hidup kan Allah sudah atur. Kalau yang namanya sakit, sedih, bahagia, itu namanya takdir. Jadi kita harus percaya sama takdir dan tawakal. Kemudian ya berpikir positif saja. Berpikir yang baik-baik aja, yang senang-senang. Karena semuanya tergantung kita. Karena banyak pikiran itu, saya baca itu, bahwa pikiran itu mempengaruhi 80% sakit atau penyembuhan, yang 20%-nya obat. Obatnya itu yang 80% adalah pikiran kita. Kalau pikiran kitanya senang, imunitas itu pasti meningkat. Dalam tubuh manusia ini Allah sudah memberikan ada antibodi, ada sel-sel darah putih, dan segala macam, nah itulah yang akan menyembuhkan dengan sendirinya dengan melawan. Kalau kitanya nggak tawakal, kitanya cemas, takut, ya akan memperburuk. Itu saja, jadi tawakal, pasrah, kemudian terus kalau berdoa ya tentu, lalu bahagia, harus berusaha selalu bahagia, senang. Bukannya bahagia berarti tidak waspada, tapi ya tawakal itu. Jadi udahlah, bismillah. Kita pasrahkan semuanya, sudahlah, Allah yang sudah mentakdirkan. (Wawancara dengan Pak Ibnu Sina).

Kebanyakan orang meyakini bahwa datangnya penyakit dan kesembuhan adalah dari pikiran. Begitupun juga kesembuhan atas Covid-19 yang dirasakan oleh pasien. Mereka meyakini bahwa obat-obatan secara medis hanya berpengaruh 20%, sedangkan 80%-nya adalah berasal dari pikiran manusia itu sendiri. Apabila pikirannya tetap terjaga dengan baik atau positif, maka baik pulalah kondisi tubuh atau kesehatannya. Begitupun sebaliknya.

Kita saling menguatkan saja pas positif. “Wah, insyaallah Kakak ini sebagian dari rencana Allah. Biar Mamah di rumah ada temannya”. Gitu. Alhamdulillah cuma 5 hari kan. Dan itu alhamdulillah sama sekali nggak ada keluhannya sama sekali. Itu mungkin sebagian dari rencana Allah biar saya ada temannya, kan sehabis sepeninggal Papahnya kan saya tinggal sendiri di rumah. Jadi saya ada tempat curhat, tempat cerita. Si Kakak juga sama sekali nggak ada gejala sama sekali.(Wawancara dengan Ibu Fera).

Covid-19 juga dirasakan begitu luar biasa oleh Ibu Fera. Ia adalah salah seorang yang terpapar. Tidak hanya ia, tetapi juga suami dan anak pertamanya. Namun, nyawa suaminya tidak tertolong. Karena termasuk ke dalam orang yang bergejala berat. Oleh karena itu, Covid-19 yang dirasakannya begitu luar biasa. Karena masa pandemi ini, ia dan keluarga telah kehilangan orang yang paling dicintai.

Selain suami, ia dan anak pertamanya termasuk ke dalam pasien tanpa bergejala (OTG). Karenanya, mereka lebih memilih untuk melakukan isolasi di rumah. Tidak hanya dirinya sendiri, tetapi anak pertamanya pun ia berikan motivasi dan pengertian bahwa apa yang telah terjadi adalah bagian dari rencana Allah SWT. Jadi harus tetap berprasangka baik kepada takdir yang telah Dia berikan kepada keluarganya.

“Sebelum berangkat juga insyaallah kalau kita ikhlas, ini mudah-mudahan sebagai penggugur dosa-dosa kita. Alhamdulillah nggak ada perasaan kenapa saya? Kenapa saya? Saya selalu meyakinkan ke anak juga gitu. “Kita adalah manusia terpilih, Kak, kita manusia terpilih oleh Allah ini kita harus kena Covid, kita harus ikhlas. Mudah-mudahan sebagai penggugur dosa Mamah sama Kakak”. Alhamdulillah anak juga … luar biasa.”(Wawancara dengan Ibu Fera).

Berpikir positif terhadap rencana Tuhan Yang Maha Esa juga dilakukan oleh salah seorang bidan yang bertugas di RSUD Gunung Djati Kota Cirebon. Sebagai manusia yang beragama, selama menjalani isolasi mandiri di rumah, ia dan beberapa anggota keluarganya yang juga terpapar, selalu menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan. Tetap menjalankan ibadah dan berdoa bersama dengan cara yang dianut sendiri, adalah caranya untuk tetap meyakini bahwa rencana Tuhan yang diberikan kepadanya beserta keluarga adalah yang terbaik menurut-Nya.

 

  1. Senantiasa Berdoa, Berdzikir, dan Bershalawat

Sebagai manusia yang memiliki agama, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta adalah salah satu upaya baginya untuk menempuh kebaikan, terutama pada saat ia diberikan ujian. Salah satunya adalah ujian Covid-19. Sebagai seorang muslim, banyak doa-doa atau shalawat yang dilirihkan atau amalkan selama ia menjalani isolasi, baik di rumah maupun di rumah sakit. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Kartika Sari Dewi (2012) yang mana ia menyatakan bahwa dalam memlihara kesehatan mental, tidak terllepas dari sifat-sifat manusia salah satunya yakni sebagai pribadi yang religius.

“Ya berdoa saja kepada Gusti Allah. Saya ini baca wirid, terus saya juga ingat dengan arti-arti yang saya baca “Ya arhamar Rohimin”, jadi Ya arhamar Rohimin itu ada malaikat, malaikat yang mengatakan saya masih ada di langit ketujuh. Katanya gitu. Kemudian ketika Anda mengatakannya Ya arhamar Rohimin, saya ada di langit dunia. Nah ketika mengatakannya Ya arhamar Rohimin, saya sudah berada di depan Anda. Apa mau Anda. Tinggal berdoa saja sama Gusti Allah. Nabi Ayyub pun berdoa seperti itu. Ya Arhamar Rahim, terus dikabul. Itu yang namanya apa, Ya lobinya. Ya lobinya kita komunikasi sama manusia.” (Wawancara dengan Pak Agung).

Hal tersebut seperti yang selalu dilakukan oleh Pak Agung, seperti yang telah terlihat pada hasil wawancara di atas. Selama menjalani isolasi, ia selalu berdzikir sebagai munajatnya kepada Allah SWT., agar bisa disembuhkan dari Covid-19. Keyakinan kepada Allah SWT., selalu ia sematkan melalui doa, dzikir, ataupun shalawat. Hal tersebut tentu ia jadikan sebagai salah satu ikhtiar untuk kesembuhannya atas Covid-19.

“Saya berusaha untuk meningkatkan dzikir, meningkatkan ibadah, di luar biasanyalah. Jadi ada peningkatan yang luar biasa. Jadi kalau sudah jam dua pasti bangun. Mesti sholatlah sebelas rokaat. Kadang-kadang disambung menjelang Shubuh. Jadi ya alhamdulillah. Mungkin itu, ikhtiar batiniahnya ya.Tentunya ya Allahumma robbannas … perlu dibaca juga. Kemudian yang ayat yang paling sering itu Robbana dzolamna … jadi saya diingatkan oleh kawan-kawan semua itu. Jadi katanya Covid itu hanya bisa dilawan dengan istighfar. Dengan taubat. Jadi diceritalah soal Nabi Adam, Nabi Nuh, gitu. Orang-orang yang pernah berdosa itu dengan musibah yang ditimpakan kepada mereka. Nah itu solusinya itu adalah istighfar. Istighfarnya mau baca apa saja silakan, mau baca Robbana dzolamna  … atau doanya Nabi Adam, atau doanya nabi-nabi yang lain, boleh. Atau doanya Robbana laa tuahidzna … nah itulah yang dibaca. Akhirnya saat-saat saya tidak bisa tidur tuh baca itu aja. (Wawancara dengan Pak Adang).

Sama halnya dengan pasien Covid-19 yang lainnya, Pak Adang pun juga senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT., selama ia menjalani isolasi di rumah sakit. Terlebih selama isolasi, ia hanya seorang diri di ruangan tersebut. Sehingga, keadaan tersebut ia jadikan sebagai jalan untuk lebih dekat lagi kepada Allah SWT., lewat doa-doa, dzikir, dan juga shalawat.

“Itu ya Allah, berikan hamba kesehatan, agar bisa menjalankan amanah-Mu di masa ini. Karena saya masih memiliki anak-anak yang membutuhkan kami semuanya. Sehatkan ya Allah, sehatkan. Terus saja berdoa seperti itu. Dan kita tuh terus dzikir. Dzikir itu juga kan penting juga untuk mengasah hati. Jadi itu merupakan atensi ruhiyah.” (Wawancara dengan Ibu Ayi).

Seperti yang telah diketahui bahwa berdoa menjadi hal yang paling penting bagi para pasien untuk meraih kesembuhan. Karena sejatinya, penyakit yang diderita adalah berasal dari Allah SWT., dan kembali kepada-Nya pula. Oleh karena itu, dengan berdoa untuk meminta kesembuhan, adalah bentuk ikhtiar bagi seorang muslim dalam menghadapi ujian berupa penyakit yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, bagi para pasien, berdoa, berdzikir, dan bershalawat adalah upaya yang paling penting dalam meraih kesembuhan atas Covid-19 yang sedang bersarang di dalam dirinya.

“Ya minta doa sajalah. Jangan putus asa, nggak boleh. Saya masih punya Allah kok. Kata Allahnya nggak boleh putus asa. Apa pun keputusan Allah kan, jadi ya udah diatur semuanya gitu. Saya mah pasrah gitu, soal umur, apa. Oh tadinya kita nggak ada kok. Anak-anak juga tadinya nggak ada. Yang dulu-dulu ada, ibu-bapak, tadinya nggak ada. Pasrah aja. Doa juga, anak-anak saya belum pada selesai. Minta disehatkan, minta panjang umur, pengin minta dampingin anak-anak. Doa mah tetap. Bukan kita pasrah, wah terserah Allah mau cabut nyawa, mau ngasih penyakit, nggak. Doa mah tetaplah. Setiap shalat berdoa. Setiap orang-orang di sekitar saya, saya mintain doa. Tolong ya doain saya khusus … tolong ya doain saya khusus. Kalau doa saya nggak dikabul, kan bisa doa dari orang lain.” (Wawancara dengan Ibu Azizah).

Sebagai seorang yang memiliki agama, tidak diperbolehkan untuk berputus asa dalam menjalani sebuah ujian. Bagi Ibu Azizah, memasrahkan diri pada saat menjalani isolasi adalah suatu kewajiban yang harus bisa dilakukan. Akan tetapi, pasrah bukan berarti masa bodoh dengan ketetapan yang sudah Allah SWT., berikan. Melainkan sikap pasrah yang ia lakukan selama isolasi tersebut yakni tetap berdoa untuk meminta kesembuhan kepada Allah SWT. Bahkan doa tersebut tidak hanya dari dirinya sendiri, melainkan juga dari sanak saudara yang ia mintai juga doanya. Adapun hasil akhirnya nanti, harus tetap dijalani dengan ikhlas.

“Ya intinya sih berdoa. Tetap berdoa di samping usaha. Walaupun sudah usaha maksimal, doa terus, kalaupun tetap kena ya kita harus nerima kalau itu udah kehendak Allah. Harus ikhlas dan harus dijalani.” (Wawancara dengan Ibu Azizah).

Upaya penyembuhan dengan cara berdoa atau memohon kesembuhan juga dilakukan oleh salah seorang perawat, yakni Ibu Rita. Terlebih dengan adanya pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan, yang ia lihat terjadi pada teman sejawatnya, yakni gugur dalam menghadapi Covid-19. Karenanya, berdoa untuk kesembuhan, menjadi hal yang tidak pernah ia tinggalkan selama menjalani isolasi.

Ya pastilah kalau down itu pasti. Karena kan ada teman sejawat aku juga yang gugur. Pasca melahirkan terus gugur. Makanya aku tuh selalu berpikirnya “Ya Allah, kuatkan aku … kuatkan aku … biar aku juga masih bisa ketemu sama keluarga, masih bisa mengabdi untuk negeri ini”.”(Wawancara dengan Ibu Rita).

Kekuatan doa juga dirasakan oleh para pasien Covid-19 lainnya, termasuk Pak Jaja. Ia mengaku bahwa setiap waktu selalu memanjatkan doa-doa melalui bacaan-bacaan shalat yang ia bacakan dengan keras. Tidak hanya bacaan doa khusus saja, bacaan dalam shalat pun ia keraskan. Ia meyakini bahwa dengan begitu, maka setiap hari ia akan menemukan kesembuhan-kesembuhan di dalam dirinya.

Dan yang kedua itu tadi saya harus tentu sebagai orang yang beriman, berdoa dengan shalat dengan betul-betul dirasakan dengan shalat tuh sambil berdoa, sampai tadi saya jaharkan bacaan yang keras. Itu saya lakukan. Saya yakin kalau setiap hari ada kesembuhan-kesembuhan. Itu yang menyembuhkan. (Wawancara dengan Pak Jaja).

Memanjatkan doa juga penting bagi Ibu Mumun. Bahkan teman-teman dosennya juga turut mengirimkan doa untuk mereka yang terpapar Covid-19 dan sedang menjalani masa isolasi. Termasuk dirinya. Sehingga perlu dan penting bagi para pasien untuk menyampaikan apa yang dirasakannya kepada orang-orang yang dikenali, sehingga akan lebih banyak lagi doa-doa yang terpanjatkan untuk mempercepat kesembuhannya.

Betapa doa itu penting sekali, karena itu pada saat saya sakit itu khusus di FITK itu setiap hari ada One Day One Juz dari dosen-dosen dan itu disampaikan, dihadiahkan kepada kami yang sedang menderita. Itu pun membantu sekali. Karena kan doa tuh dari mana-dari mana kemudian naik ke langit dan kemudian diijabah kan, ya seperti itu. Itu setiap hari ada saja kiriman doa untuk kami. Sehingga kalau kitanya tidak berterus terang, salah saya. Ah, udahlah, jangan dibilang-bilang. Udah sih, jangan dibilang. Salah kalau gitu. Karena dengan kita menyatakan, sekali lagi saya menyatakan bukan aib. Kalau aib kan aurat ditutup, tapi kalau ini kan bukan, gitu. Kita menyampaikan itu dengan harapan ada banyak doa untuk kesembuhan kita yang diberikan orang-orang. (Wawancara dengan Ibu Mumun).

Menjalani masa isolasi dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT., juga dirasakan oleh Ibu Fatimah. Meskipun ia menjalani isolasi mandiri di rumah dan termasuk ke dalam orang tanpa gejala (OTG), akan tetapi upaya-upaya spiritual selalu ia lakukan selama menjalani masa isolasi tersebut. Termasuk di dalamnya berdoa, berdzikir, dan bershalawat. Seperti yang ia paparkan berikut.

“Tentu aku juga harus meyakini bahwa imunitasku akan bagus jika psikisku juga bagus. Jadi aku mencoba menyembuhkan diriku dengan perspektif pikiran yang harus saya lakukan. Misalnya dari sisi spiritual, saya menguatkan ibadah kepada Allah dengan doa dan shalawatan, dan sebagainya. Aku meyakini itu karena membantu psikisku tenang. Kalau psikisku tenang, imunitasku meningkat. Jadi semuanya hubungannya dengan kesehatan.” (Wawancara dengan Ibu Fatimah).

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, selain berdoa, upaya penyembuhan yang dilakukan oleh sebagian besar para pasien Covid-19 adalah dengan bershalawat atau mendengarkan shalawat. Dengan demikian maka secara spiritualitas akan semakin bertambah dan akhirnya akan berpengaruh pula pada kesehatan, sehingga kesembuhan diri akan cepat diraih.

“Dengerin shalawat aja. Aku suka kan dengan Gusdur, ya aku dengerin, terus ceramah-ceramah Gus Muafiq. Ceramah-ceramah yang damailah, gitu. Nanti setelah itu aku shalat Maghrib lalu shalawatan lalu baca wirid lagi kemudian baca Al-Quran yang pastilah menguatkan diri kepada Allah, lalu tidur plek sampai pagi.” (Wawancara dengan Ibu Fatimah).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, ia mengaku bahwa upaya-upaya spiritual guna meningkatkan imunitasnya, selalu ia lakukan. Mendengarkan ceramah-ceramah dan shalawat dari publik figur yang ia sukai, membuatnya menjadi merasa lebih tenang dan damai. Ditambah lagi dengan rutin membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang akhirnya akan lebih menguatkan dirinya kepada Allah SWT.

Dzikir yang utama adalah laailahaillallah, dan doa yang paling mujarab adalah alhamdulillah. Saya juga menggunakan prinsip itu. Itu faktor yang paling dominan. (Wawancara dengan Pak Aceng).

Tidak hanya bagi pasien tersebut di atas, bagi Pak Aceng, ia juga memiliki kebiasaan dan pemahaman serta keyakinan terkait dzikir-dzikir sebagai upaya penyembuhan dari Covid-19, yakni seperti yang telah ia sebutkan di atas. Dengan rutin membaca Asma Allah dan kalimat tahmid, ia meyakini bahwa kesembuhan akan bisa diraih.

Ya keyakinan kita. Yakin, kita harus yakin. Yakin 100%. Saya waktu lagi di hotel itu udah wayahnya lagi diswab kita selalu berdoa, “Kak, kita fokus dulu ini. Fokus doa kita satu, kita meminta negatif. Satu”. Terus ke semua saudara, semua teman-teman juga, kita fokus. Kita cuma harus satu, sebagian dari doa yang lain tapi kita mau negatif karena kita harus kumpul. (Wawancara dengan Ibu Fera).

Tidak hanya dilakukan oleh kaum muslim, kekuatan doa juga dipercaya oleh mereka yang non muslim. Seperti yang dirasakan oleh Ibu Dewi. Selama menjalani isolasi, rutinitas berdoa untuk kesembuhan juga selalu ia lakukan secara bersama-sama dengan beberapa anggota keluarganya di rumah, yang juga terpapar Covid-19. Dengan melakukan berdoa secara bersama-sama, maka akan hadir motivasi dalam diri sehingga kesembuhan pun akan bisa dirasakan.

 

  1. Terapi Mengeraskan Bacaan Al-Qur’an

Salah satu gejala yang dialami oleh para pasien adalah batuk. Baik batuk kering maupun batuk berdahak. Banyak cara yang dilakukan oleh para pasien Covid-19 untuk mengeluarkan lendir yang ada di dalam tenggorokan. Salah satu cara yang biasa dilakukan oleh para pasien Covid-19 (muslim) adalah membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan suara yang dikeraskan. Baik ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an maupun yang ada di dalam bacaan shalat. Seperti yang dilakukan oleh Pak Adang berikut ini.

“Nah itu kan sejak setengah, dua jam paling lama, itu harus buang air. Jadi terbangunkanlah malam itu. Jadi ya alhamdulillah. Sama yang lainnya mungkin kalau tahajud di sini bolos-bolos, kalau di sana ya alhamdulillah ya, jam dua jam tiga itu sampai Shubuh, gitu. Jadi ya, alhamdulillah lah. Dan bacaannya selalu dengan bacaan keras gitu. Kita selalu dari berbagai informasi medsos ya, bahwa Qur’an itu adalah menjadi Syifa ulinnas terutama itu bisa membunuh virus-virus ketika bacaannya dikeraskan, jadi bacaan sholat saya, semua sholat Sunnah, apa pun itu dibaca dengan keras. Alhamdulillah itu juga berkontribusi ya untuk penyembuhan. (Wawancara dengan Pak Adang).

 

Terbangunnya ia pada tengah malam menjadi hal biasa selama ia menjalani rutinitas di ruang isolasi. Pada jam-jam tertentu, ia harus membuang air kecil karena sebagai reaksi dari obat yang ia konsumsi sebelumnya. Termasuk salah satunya adalah di waktu-waktu Tahajud. Kesempatan terbangunnya tersebut ia jadikan sebagai kesempatannya untuk melaksanakan shalat Tahajud.

Ada yang berbeda pada pelaksanaan rutinitas shalat yang ia jalankan selama diisolasi. Di mana bacaan shalat selalu ia keraskan, sehingga suaranya mungkin dapat terdengar juga dari luar. Hal tersebut ia lakukan karena dengan begitu ia merasakan keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Sehingga, mengeraskan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an atau bacaan dalam shalat, baik shalat sunnah maupun wajib, selalu ia lakukan sebagai salah satu ikhtiar kesembuhan. Dan ternyata, cara seperti itu memang turut berkontribusi terhadap proses kesembuhannya.

“Jadi saya mencoba dari sisi di samping obat-obat itu ya. Setiap shalat kan terasa kalau shalatnya sampai sujud itu, napas, coba saya latihan sambil mencoba setiap shalat yang dijaharkan saya coba lakukan. Fatihahnya, suratnya, Shubuh, Maghrib, Isya, itu sengaja saya keraskan. Kan di sana nggak ada siapa-siapa ya, nggak tahu kedengaran sampai di mana. Saya keraskan. Hari kedua, hari ketiga, enak, ada mulai napas walaupun masih dibantu oksigen. Hari keempat, hari kelima, saya kerasa nikmatnya makan. Kan hampir sama menunya setiap hari. Waduh, alhamdulillah ini tanda-tanda sembuh kan makan nikmat, gitu ya. Tapi kemarin kan tidak berasa. Saya berasanya di napas aja. Jadi saya semakin semangat. Sampai hari ke sembilan malam saya diswab paginya untuk tahu bagaimana perkembangannya. Saya hari kesembilannya ada info kalau saya udah negatif. (Wawancara dengan Pak Jaja).

Rasa optimis untuk sembuh karena telah melakukan terapi membaca Al-Qur’an dengan suara yang dikeraskan juga dirasakan oleh Ibu Mumun. Rutinitas membaca Al-Qur’an menjadi rutinitas kesehariannya selama menjalani isolasi di rumah sakit. Ia selalu mengeraskan suara saat membacanya. Namun terlebih dahulu ia meminta izin kepada teman-teman sekamarnya sebelum ia memulai membaca, karena memang ia tidak sendiri di ruangan saat menjalani isolasi. Uniknya, setiap kali ia membaca dengan suara keras, batuk-batuk pun hilang. Akan tetapi pada saat ia membacanya pelan, batuk-batuk kembali datang. Oleh sebab itu, selama isolasi, ia selalu mengeraskan suara setiap kali membaca Al-Qur’an. Sampai akhirnya, tanda-tanda kesembuhan pun dirasakan olehnya.

“Kemudian saya juga menurut keyakinan saya ya banyak baca Qur’an. Menurut saya, baca Qur’an ya berpengaruh besar karena saya dibuktikan dengan baca Qur’an itu, dengan baca Ar-Rahman, Al-Waqiah, Al-Mulk, saya baca terus, kemudian pakai baca Qur’an yang saya keraskan. Ya saya juga meyakini bahwa Qur’an adalah syifa, sebagai obat, kan penawar. Nah saya meyakini itu.” (Wawancara dengan Pak Aceng).

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Al-Qur’an bagi umat Islam merupakan syifa atau obat bagi yang membacanya. Karenanya, pada saat menjalani hari sebagai pasien Covid-19, mereka senantiasa membiasakan diri untuk membacanya. Seperti yang dilakukan oleh Pak Aceng. Selama isolasi, ia tak pernah berhenti membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Terutama surat-surat pilihan seperti Ar-Rahman, Al-Waqi’ah, dan Al-Mulk. Sama seperti yang dilakukan oleh para pasien Covid-19 sebelumnya, ia pun dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an, selalu dengan suara yang dikeraskan. Karena ia memiliki keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah obat untuknya, terlebih jika ia membaca dengan suara yang keras.

“Ya berdoa itu pasti ya. Ya makan yang teratur jangan sampai telat kemudian dibikin senang, mengurangi rasa cemas. Dan satu lagi, ngaji juga mengurangi rasa cemas, tapi ngajinya nggak pelan, rada keras. Itu lumayan mengurangi. Saya baca-baca ternyata dengan ngaji itu virus-virus jadi nggak aktif. Mungkin aja bisa jadi. Tapi kalau ngaji itu nggak hanya kena virus Covid aja, tapi saya rutinkan ngaji, kalau lagi kurang sehat tuh. Gitu. Rada enteng gitu. Mungkin setannya jadi ilang juga ya. Jadi obatnya ngaji, berdoa, shalat. (Wawancara dengan Pak Ibnu Sina).

Demikian juga yang dirasakan dan dilakukan oleh Pak Ibnu Sina. Ia juga rutin membaca Al-Qur’an dengan suara yang dilantangkan atau dikeraskan. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan, ternyata cara tersebut dapat membunuh virus-virus yang ada di dalam tubuh, tidak hanya virus corona, tetapi virus yang lainnya juga. Sehingga khasiat membaca Al-Qur’an dengan cara dikeraskan, dapat ia rasakan. Hal inilah yang menjadi salah satu cara atau upaya atas kesembuhannya tersebut.

 

  1. Teratur dalam Melakukan Rutinitas Kehidupan Selama Isolasi

Bagi para pasien Covid-19, kesembuhan juga dapat diraih apabila mereka dapat teratur dalam melakukan rutinitas kehidupan selama berada di dalam ruangan isolasi. Dengan menjalankan pola hidup yang teratur, maka kesembuhan akan lebih cepat dirasakan. Dengan demikian, maka benar dikatakan bahwa pencapaian dalam pemeliharaan kesehatan mental terkait penanaman kebiasaan baik (Kartika Sari Dewi, 2012). Seperti halnya yang dirasakan dan dilakukan oleh salah satu pasien Covid-19 berikut ini.

“Makan yang cukup, yang teratur, disiplin diri, kalau udah waktunya makan ya makan. Kalau waktunya shalat jamaah ya shalat jamaah kemudian ngaji Al-Qur’an. Nah insyaallah itulah obat, di samping secara kesehatan menjaga kesehatan pakai masker, dengan cara sering cuci tangan, insyaallah.” (Wawancara dengan Pak Agung).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa menjalani rutinitas secara teratur selama isolasi adalah dengan cara makan yang cukup dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, mendisiplinkan diri, dalam artian ketika tiba waktunya untuk makan, maka harus makan, ketika tiba waktunya untuk istirahat, maka harus istirahat, ketika tiba waktunya shalat, maka harus shalat, serta disiplin dalam melakukan hal-hal positif lainnya. Dengan demikian, maka kesembuhan pun akan lebih cepat dirasakan. Hal tersebut sejalan seperti yang dikatakan oleh HMPSI Sulawesi Tenggara (2020), yang mana salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan mental adalah dengan cara makan makanan seimbang dan tidur tepat waktu. Berusaha menjaga pola tidur selama menjalani isolasi, akan benar-benar meningkatkan kemampuan tubuh untuk mengatasi stres di siang hari.

“Faktor yang paling penting kita untuk masa Covid itu tadi, kita yang terpapar dan memang ada penyakit, berarti kita ikuti peraturan medis. Taati aturan medis. Seperti makannya harus benar, pola hidupnya harus diperbaiki lagi, gitu.” (Wawancara dengan Ibu Ayi).

Ibu Ayi juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang paling penting pada masa Pandemi adalah (bagi para pasien) harus mengikuti peraturan dari tim medis. Selain itu juga harus menaati setiap aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit. Misalnya mengonsumsi makanan dengan benar dan melakukan pola hidup dengan yang lebih baik lagi.

Hari kesatu diberi oksigen. Hari kedua paginya mulai saya diberi obat  antibiotik. Kalau yang di infus ada obat kan banyak. Terus malamnya diberi antivirus yang diinfus. Tapi obat yang biasa dikasih. Multivitamin juga ada, disuntikkan diinfus, ada yang dimakan tiga kali sehari. Jam-jam itulah si suster dan tim lainnya baru bisa masuk. Jadi dijadwal tiga kali.” (Wawancara dengan Pak Jaja).

Berdasarkan hal tersebut di atas, mengonsumsi sayur-sayuran juga harus dijadikan sebagai pola hidup bagi para pasien Covid-19 selama menjalani masa isolasi. Meskipun setiap harinya harus mengonsumsi sayuran, tetapi mereka tidak boleh menolak, bahkan tetap harus dimakan. Seperti yang dilakukan oleh Ibu Mumun. Ia selalu mengonsumsi sayur-sayuran yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Meskipun ada rasa bosan dan hanya setengahnya saja yang diterima oleh perutnya, baginya tidak apa-apa, asal tetap mau mengonsumsinya. Karena hal tersebut dapat membantunya untuk cepat pulih dalam menghadapi Covid-19.

“Pertama aku minum madu. Terus nanti setengah jam lagi, aku minum susu beruang. Setelah itu jam 7, aku makan pagi. Jadi mulai jam 5 tuh asupan udah aku konsumsi. Biasanya aku nggak gitu kan. Kalau minum madu ke minum susu tuh selisihnya 30 menit, lalu dari minum susu untuk makan itu 1 jam. Jadi tak karang-karang sendiri aja. Jadi aku tahu tentang bahasa tubuhku kan. Aku juga harus memilih makanan yang pH-nya tinggi. Salada air itu pH-nya 25, terus telur, nanti supaya sedap-sedap ya tak kasih sambal kacang, gitu, sayur bening, terus sayuran. Nah setelah itu nanti 2 jam lagi aku harus makan buah. Saya pilih pertama itu alpukat. Karena alpukat kalau nggak salah pH-nya itu 9 ya. Karena aku nyari buah yang pH-nya lebih tinggi dari virus coronanya. Alpukat kemudian pisang terus buah naga lalu nanas. Nah setelah buah nanti satu jam lagi aku minum susu beruang lagi. Nanti dari minum susu beruang terus makan siang. Makan siang tuh sama, sayur, buah, telor, daging, tempe, itu harus dilengkapi. Lalu setelah itu, dua jam kemudian aku makan buah lagi nanti satu jam lagi aku minum susu lagi, sore minum madu sama makan sore. Lalu ke sananya air hangat. Nah itu ritual makan. Ritual makan dijeda-jeda tadi. Aku masih minum vitamin C juga yang 500-an dua.” (Wawancara dengan Ibu Fatimah).

Selain sayur-sayuran, pola hidup yang harus dilakukan selama masa isolasi adalah dengan mengonsumsi buah-buahan dan/atau melengkapi nutrisi-nutrisi hingga menjadi empat sehat lima sempurna. Seperti yang dilakukan oleh Ibu Fatimah di atas. Ia mengaku selama menjalani isolasi, ia selalu mengonsumsi empat sehat lima sempurna. Hal tersebut ia lakukan agar bisa mengalahkan sehingga dapat menang dalam melawan Covid-19 yang ada di dalam tubuhnya.

 

  1. Membangun Rasa Optimisme dan Motivasi dalam Diri

Upaya penyembuhan yang terpenting dari dalam diri para pasien Covid-19 juga adalah dengan cara membangun rasa optimisme dan motivasi dalam diri. seperti yang telah diketahui bersama bahwa upaya dari dalam diri para pasien menjadi salah satu faktor utama untuk mengantarkan para pasien Covid-19 menuju masa pemulihan. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Adang berikut.

Ya saya tentu saja sempat merasa drop lah, secara psikologis ya. Jadi nggak menduga begitu. Tapi itu hanya satu, dua hari. Setelahnya saya harus berani mengalahkan Covid. Jadi optimisme dibangun kemudian saya berusaha semua teman yang ada di itu saya telepon, gitu. (Wawancara dengan Pak Adang).

Berdasarkan pemaparan Pak Adang tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa salah satu upaya yang dilakukan olehnya dalam membangun rasa optimisme di dalam dirinya adalah dengan berusaha menghubungi teman-teman yang ada di kontak HP-nya. Dengan demikian, berbagai motivasi dapat ia peroleh hingga rasa optimisme tersebut dapat tumbuh dan dibangun di dalam dirinya.Sejalan dengan HMPSI Sulawesi Tenggara (2020), bahwa tetap berhubungan dengan keluarga dan teman adalah salah satu upaya untuk menjaga dan/atau menumbuhkan kesehatan mental. Bagi para pasien Covid-19 jangan dulu bersedih dalam menjalani isolasi. Karena hal tersebut akan lebih banyak menimbulkan kecemasan. Para pasien Covid-19 mungkin tidak dapat berbicara secara tatap muka dengan orang lain dan keluarga, akan tetapi berbicara dengan orang lain yang dicintai, seperti keluarga, teman, bahkan kolega atau kenalan, masih dapat dilakukan dengan menggunakan telapon genggam. Hal tersebut setidaknya dapat membantu membuat para pasien Covid-19 merasa lebih baik dan tidak merasa kesepian selama menjalani isolasi.

Nah, tadi. Upaya dari diri sendirinya kita membangun motivasi diri ya, bahwa saya harus menang melawan Covid. Masa saya harus kalah dengan Covid? (Wawancara dengan Pak Adang).

Pada pemaparan selanjutnya ia mengatakan bahwa ia juga menantang dirinya sendiri di depan kaca setiapa kali rasa mual dan muntah-muntah itu ia mulai rasakan. Dengan menantang rasa mual dan muntah yang dialaminya sendiri, maka ia pun menjadi tidak takut lagi untuk mengeluarkan muntahan-muntahan yang merupakan bagian dari reaksi atas obat-obatan yang sebelumnya telah ia konsumsi. Hal tersebut secara terus-menerus ia lakukan, sehingga ia pun mulai merasakan kondisi tubuhnya menjadi lebih baik dan tidak lagi merasakan mual atau perasaan ingin muntah.

“Nah bagi Umi ya, motivasi diri. Karena Umi termasuk yang nggak ada gejala kan. Adalah lebih ke jiwa Umi sendiri yang lebih terkontrol, nah maka faktor penyembuhan yang paling terbukti adalah motivasi diri.” (Wawancara dengan Ibu Ayi).

Motivasi diri menjadi bagian dari hal utama bagi penyembuhan juga dirasakan oleh Ibu Ayi. Ia mengaku bahwa dengan memiliki motivasi di dalam diri artinya jiwanya lebih bisa terkontrol dengan baik. Oleh karenanya, motivasi diri menjadi faktor penyembuhan yang paling penting dan paling terbukti, baik bagi dirinya sendiri  maupun bagi para pasien lainnya.

Apa pun saya lakukan sebagai sebuah ikhtiar karena kita tidak boleh menyerah. Kita tidak boleh menyerah oleh yang namanya penyakit atau yang namanya Covid, corona, kita tetap harus berusaha, harus optimis bahwa Allah pasti akan menolong kita, jangan menyerah begitu saja. Bahkan kalau bisa kita juga di samping untuk memotivasi diri kita, motivasilah orang lain, berikan kata-kata positif bahwa kita pasti sembuh, kita pasti sembuh. Nah seperti itu, alhamdulillah tidak sampai diventilator tidak sampai apa dan saya merasa bahwa saya paling cepat sembuh. (Wawancara dengan Ibu Mumun).

Betapa pentingnya motivasi yang ada dalam diri pasien Covid-19 bagi kesembuhan mereka. Seperti yang dirasakan dan yang dilakukan oleh Ibu Mumun. Bahkan selama menjalani isolasi, motivasi juga tidak hanya ditumbuhkan untuk dirinya sendiri, tetapi juga ditumbuhkan di dalam diri orang lain. Apabila ia sudah dapat membangun motivasi diri dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah membantu juga orang lain untuk bisa membangun motivasi yang ada di dalam dirinya, sehingga kesembuhan dapat sama-sama dirasakan.

“Dan dengan saya tadi itu membaca Qur’an ternyata batuk-batuk pergi, saya optimisme “Ah, ini bakal sembuh nih saya. Ini bakal sembuh nih”. Seperti itu. Saya baka sembuh nih saya. Saya masih punya harapan ya, seperti itu ya. (Wawancara dengan Ibu Mumun).

Perasaan optimisme serta motivasi diri untuk sembuh dapat diperoleh dari mana dan dari siapa saja. Seperti yang ia paparkan lebih lanjut bahwa dengan mengeraskan suara setiap kali membaca Al-Qur’an, batuk-batuk yang sebelumnya ia rasa itu menjadi hilang, maka dengan begitu, ia pun menjadi optimis bahwa ia akan sembuh atau memiliki harapan untuk sembuh.

Ya keyakinan kita. Yakin, kita harus yakin. Yakin 100%. Saya waktu lagi di hotel itu udah wayahnya lagi diswab kita selalu berdoa, “Kak, kita fokus dulu ini. Fokus doa kita satu, kita meminta negatif. Satu”. Terus ke semua saudara, semua teman-teman juga, kita fokus. Kita cuma harus satu, sebagian dari doa yang lain tapi kita mau negatif karena kita harus kumpul. (Wawancara dengan Ibu Fera).

Sikap optimisme dan motivasi diri yang dirasakan oleh para pasien Covid-19 juga terwujud melalui sebuah keyakinan akan kesembuhan dirinya. Seperti yang dirasakan dan dilakukan oleh Ibu Fera, yang begitu yakinnya memfokuskan diri untuk meminta negatif ketika melakukan swab yang kedua, sehingga ia dapat kembali berkumpul dengan anak-anaknya. Melalui rasa optimisme dan motivasi diri yang terbungkus dalam sebuah keyakinan itulah yang akhirnya membuatnya menjadi sembuh dan menang dalam melawan Covid-19 dan dapat kembali berkumpul bersama kedua anaknya.

Berdasarkan beberapa pemaparan yang dinyatakan oleh para penyintas Covid-19 tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi dapat terungkap melalui kemampuannya memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustasi, dapat mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mampu mengatur suasan hati dan menjaga beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta dapat berempati dan selalu berdoa. Hal tersebut dikarenakan memotivasi diri sendiri yakni memiliki kecenderungan emosi yang mendorong pencapaian tujuan, meliputi dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif, dan optimisme.

 

  1. Pengalaman Bertahan dalam Kesenderian

Berbagai studi telah menunjukkan bahwa pada saat adanya pandemi, terjadi respons psikologis yang beragam (salah satu di antaranya adalah respons emosi). Hal tersebut tentu sesuai dengan kesiapan dan pengalaman seorang individu.Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti di Indonesia, yakni Iskandarsyah dan Yudiana (2020) menunjukkan bahwa 78% partisipan cemas dengan adanya penyebaran Covid-19 dan 23% merasa tidak bahagia atau dalam kondisi tertekan. Hal tersebut sesuai dengan pengalaman salah satu penyintas Covid-19 Kota Cirebon.

Bagi para pasien Covid-19, faktor penting lainnya untuk penyembuhan mereka adalah dengan mengingat dan merasakan pengalaman-pengalaman mereka terkait dengan kondisi yang sama-sama dirasakan pada saat mereka menjalani isolasi. Salah satunya yang dirasakan oleh Pak Adang, yang mana ia menjadikan salah satu pengalamannya sebagai pelajaran penting baginya untuk bertahan menjalani kesendirian selama menjalani masa isolasi di rumah sakit. Berikut pemaparannya.

“Cuma Alhamdulillah ya saya tuh punya pengalaman yang saya ceritakan ke teman-teman di situ. Jadi saya tuh pernah ke Belanda dari Humberg ke Berlin kemudian dari Berlin malam, baru jam 8 malamlah dari Berlin menuju ke kampusnya Pak Abu Khoir yang sedang S-3 di situ. Saya ke situ. Ternyata saya diberhentikan di suatu tempat yang nggak ada bangunan apa pun di situ. Jadi di sana yang namanya halte atau tempat pemberhentian tuh, nggak ada yang namanya tempat pemberhentian. Di kegelapan malam jam 4 malam, mungkin kalau di sininya jam 2 jam 1 ya, maksudnya pada malam banget gitu. Cuma di seberang sana sekitar 100 meteran ada bangunan. Saya bawa koper, sendirian, itu minus 10. Jadi saya jalan ke sana, ke stasiun karena ada kereta lokomotif di situ. Cuma belum ada kehidupan. Karena di sana tuh mulai ada kehidupan tuh jam 6 pagi. Jadi transportasi mulai hidup tuh jam 6 pagi. Cuma di sana disiplin banget. Jadi saya dimarahi gara-gara satu menit terlambat, itu dari Humberg mau ke Berlin. Nah itu terlambat gitu. Sebenarnya saya di tempat kopi di situ nunggu tuh, ternyata terminal jurusan Berlin di sini gitu. Jadi saya tuh pas sudah keluar, jadi marah-marah tuh si sopir tuh. Padahal saya telat satu menit, tetapi dia udah marah dan koper terpaksa kita naikkan sendiri ke bagasi, karena dia udah nggak mau. Jadi kita dihukum untuk perbuatan itu. Keterlambatan hanya satu menit. Jadi di sana itu seperti itulah, disiplin waktunya. Penumpang yang lain pada liat karena saya terlambat. Nah jadi dari pengalaman itu saya jadi berani sendiri. Jadi mungkin itu pengalaman sendiri di negeri orang dalam suhu udara yang ekstrem, saya bisa bertahan. Ini sih, ah … gitu aja. Jadi itu juga memotivasi diri saya untuk hidup. Untuk bisa bertahan. (Wawancara dengan Pak Adang).

Pengalaman yang dirasakannya pada saat keadaan menuntutnya untuk bisa bertahan dalam kesendirian di daerah orang, membuatnya semakin kuat dan yakin bahwa selama menjalani isolasi di rumah sakit, ia pun dapat melewati masa-masa kesendiriannya tersebut dengan baik. Pengalamannya tersebut di atas dijadikannya sebagai pelajaran berharga baginya untuk menjalani isolasi sehingga ia pun akhirnya mampu untuk kuat dan bertahan selama masa pengisolasian yang dilakukannya.

 

  1. Perasaan Bahagia dalam Diri

Salah satu kajian psikologi yang mempelajari tentang kesehatan mental atau jiwa seseorang adalah terangkum dalam psikologi positif, di mana kajian yang terdapat di dalamnya adalah meliputi kebahagiaan (happines), yang mana kebahagiaan pada diri manusia meliputi perasaan positif (kenyamanan-enjoyable) dan kegiatan positif tanpa unsur perasaan (keterlibatan) (Kartika Sari Dewi, 2012).

Menjalani hari-hari sebagai pasien Covid-19 tidaklah mudah. Terlebih dengan adanya berbagai informasi-informasi yang beredar, yang membuat stigma tentang Covid-19 menjadi sesuatu hal yang menakutkan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Apabila para pasien menangkap informasi-informasi tersebut secara ‘mentah’, maka akan membuat mereka menjadi semakin terpuruk dalam menjalani rutinitasnya sebagai pasien Covid-19. Oleh karena itu, penting bagi para pasien untuk membangun dan memiliki perasaan bahagia yang ada di dalam diri mereka. Seperti yang disampaikan oleh Pak Adang berikut.

“Jadi hiburan saya tuh ngebel semua orang, jadi ya langsung saja saya lihat wajahnya gitu. Ya termasuk kawan yang selama 37 tahun tidak ketemu. Tadi pun yang 35 orang itu, itu 37 tahun tuh nggak ketemu. Jadi sejak tahu ’83, bayangkan saja saya keluar dari Bandung, nah baru sekarang baru nyambung lagi hapal wajah-wajahnya. Ada kiriman foto jadul. Jadi hiburan saya gitu selama  di ini. Ya tentu saja yang paling spesial mungkin karena di rumah sakit tuh kan panjang hari lebih panjang ya daripada di siang, jadi panjang hari perasaan tuh panjang bangetlah, apalagi saat menghadapi Maghriblah, apalagi hujan gitu. Udah sumpek itu perasaan tu. (Wawancara dengan Pak Adang).

Seperti yang dilakukan oleh Pak Adang dalam pernyataannya tersebut di atas, bahwa perasaan bahagia menjadi hal yang penting juga sebagai upaya penyembuhannya dalam melawan Covid-19. Perasaan bahagia tersebut ia temukan dengan cara melakukan komunikasi dengan teman-temannya via suara. Meskipun hanya via suara, tetapi ia mengaku sangat terhibur dan sangat membantunya untuk merasakan bahagia dalam menjalani kesendirian selama masa isolasi.

Alhamdulillah banyak support dari kawan. Wuih, luar biasa. Ya tentu saja terutama Pak Yani ya, tiap pagi harus ngontak ke saya bagaimana perkembangan dan itu sangat membahagiakan. Jadi bagi saya ya itu tadi kalau disapa, diitu pada saat seperti itu ya, itu luar biasa. Makanya kawan-kawan yang ada nomornya di saya masih saya telepon. Saya telepon ya itu dalam rangka mengisi kesepian juga. Pagi, siang, malam, gitu, alhamdulillah. (Wawancara dengan Pak Adang).

 Upaya-upaya yang dilakukannya tersebut di atas, adalah upaya dalam membangun motivasi yang ada di dalam dirinya. Motivasi tersebut seperti ia harus menang dalam melawan Covid-19, dan ia tidak boleh kalah dengan Covid-19. Karena adanya motivasi diri itulah, akhirnya ia selalu berusaha untuk ceria dan tertawa dengan cara menghubungi teman-teman yang sekiranya bisa menghibur, sehingga dengan bernostalgia itulah, ia pun merasa bahagia. Tidak terus-menerus memikirkan penyakitnya. Dengan menumbuhkan motivasi dan bahagia di dalam diri, maka daya imun pun dengan sendirinya akan meningkat atau bertambah.

“Di masa Covid ini memang harus, banyak orang-orang kan yang ngingetin harus bahagia, gitu kan. Dan Umi, saat ini carilah kebahagiaan yang hakiki. Kalau kebahagiaan sesaat karena main, itu mah hanya kebahagiaan sehari itu. Nantinya kan balik lagi ke persoalan diri, gitu. Cuma kan kalau kebahagiaan hakiki kan awet gitu. Nah itu yang Umi lakukan di masa pandemi ini.” (Wawancara dengan Ibu Ayi).

Berbagai upaya pun dilakukan oleh pasien Covid-19 untuk meraih atau merasakan kebahagiaan. Seperti yang dilakukan oleh Ibu Ayi, di mana selama masa isolasi ia pun juga mencoba untuk menumbuhkan kebahagiaan di dalam diri. Kebahagiaan yang ia cari atau tumbuhkan merupakan kebahagiaan yang hakiki, yang bersifat tidak sementara. Dan kebahagiaan hakiki itulah yang senantiasa ia cari selama menjalani masa-masa isolasi.

Saya dengar, baca juga kan ada yang sebulan, dua bulan, jadi harus dibikin enjoy. Gitu. Selama istri isolasi sih ya, saya mencoba untuk kalau misalnya ditelepon atau nanyain, saya mencoba untuk tidak bicara tentang Covid. Kalau istri cerita tentang Covid, saya tepis. Udah, udah nggak usah ngobrolin tentang itu deh. Saya cari cerita yang kira-kira bisa dia tersenyum, bisa dia tenang, ngobrol-ngobrol yang kira-kira wah ini nih, kalau disampaikan ke sitri, istri pasti seneng nih. Saya sampein. Kayak contoh, waktu istri saya di rumah sakit, anak saya diswab positif, saya nggak ke istri nggak dikabarin, takut jadi beban. Nggak dikabarin. Malah istri nanya, gimana hasil swab anak-anak, ada yang positif nggak? Saya bilang negatif semua. Alhamdulillah, gitu kan. Terus Riza-Riza? Riza tuh anak yang positif, kan kelihatannya batuk tuh. Nih Riza, kamu apa, Nak? Negatif, Mah. Dan istri percaya. Alhamdulillah. Coba lihat buktinya, foto ke Mamah bahwa Riza negatif. Kita palsuin. Iya dibohongin. Ini nih foto semuanya nih, Mah. Semuanya negatif. Alhamdulillah. Maksudnya apa? Saya supaya istri nggak ada beban. Coba kalau istri ada beban, pikiran, nanti penyembuhannya lama. Saya yakin di situ. Jadi anak-anak awas, nggak usah ada yang cerita. (Wawancara dengan Bapak Basyari).

 

Menumbuhkan perasaan bahagia juga tidak hanya dilakukan oleh para pasien Covid-19 itu sendiri, melainkan juga dilakukan oleh anggota keluarga pasien Covid-19 yang tidak terpapar. Seperti yang dilakukan oleh Pak Basyari di atas. Ia serutin mungkin memberikan dan menyampaikan hal-hal yang membuat istrinya (yang sedang menjalani isolasi) tersenyum atau bahagia. Bahkan ia pun pernah sampai menyampaikan hal yang bukan sebenarnya, yakni terkait hasil tes swab salah satu anaknya yang ternyata positif. Meskipun hasil swab anaknya positif, ia menyampaikan kepada istrinya negatif. Hal tersebut ia lakukan agar supaya tetap menjaga rasa bahagia serta tenang istrinya dalam menjalani isolasi sehingga istrinya akan bisa kembali pulih.

Habis mandi kita makan, minum obat, kadang ya main tik-tok, kadang ya teleponan sama suami, sama anak, sama keluarga. Gimana caranya bikin kita tuh happy, gitu. Kadang ya nonton youtube. Pokoknya apa aja yang bikin kita happy, yang sekiranya kita tuh nggak lagi kayak diisolasi, gitu. Karena buat saya itu jauh lebih penting sekadar hanya minum obat dan vitamin. (Wawancara dengan Ibu Rita).

Perasaan bahagia juga dirasakan menjadi hal yang penting untuk kesembuhan para pasien Covid-19, seperti yang juga dirasakan oleh Ibu Rita tersebut di atas. Setiap harinya selama diisolasi, ia selalu mencari cara atau melakukan hal-hal yang sekiranya dapat membuatnya merasakan bahagia, sehingga tidak merasakan bahwa ia sedang diisolasi. Dengan demikian, ia pun akan bisa merasakan kesembuhan dengan lebih cepat.

“Nggak sih saya mah, karena bawaannya enjoy aja jadi biasa aja. Karena rame sih. Kalau mungkin saya sendiri mungkin saya tersingkir kali ya. Cuma karena keluarga semua banyak, jadi kita ngrasa begitu aja. Cuma kita nggak ke mana-mana, gitu sih. Nggak terlalu stress. Jadi enjoy aja gitu. Makanya semua pas diswab kedua sudah negatif. Ada beberapa orang tapi lebih banyak negatif. iya enjoy, karena rame sih. Karena banyak kan.” (Wawancara dengan Ibu Dewi).

Seperti halnya para pasien Covid-19 yang telah disebutkan sebelumnya, Ibu Dewi pun dalam menjalani hari-hari selama masa isolasi, selalu dijalani dengan perasaan bahagia. Selain bahagia karena menjalani isolasi tetap bersama keluarga, ia juga menumbuhkan rasa bahagia tersebut di dalam dirinya, sehingga pada saat swab yang kedua, mereka sudah langsung dinyatakan negatif atau sembuh dalam melawan Covid-19.

 

  1. Penerimaan Diri

Faktor paling penting berikutnya untuk kesembuhan bagi para pasien Covid-19 adalah penerimaan diri. Penerimaan diri dalam hal ini seperti halnya ikhlas ketika terpapar Covid-19 dan harus menjalani isolasi. Selain ikhlas, para pasien juga harus bisa tenang, tawakal, dan ikhlas. Tentunya disertai dengan upaya-upaya untuk menuju titik kesembuhan. Seperti yang dinyatakan oleh Ibu Azizah berikut.

“Penerimaan itu. Kitanya ya nerima, dikasih sakit ya terima. Sabar, tetap berbesar hati, tetap tenang, gitu kan. Sabar, terima, tenang, tawakal, doa, harus tetap. Di samping kita tawakal juga kan kita tetap usaha, dengan diobatin, jaga makanan, dan motivasi diri.” (Wawancara dengan Ibu Azizah).

 Melalui penerimaan diri, maka dengan sendirinya akan muncul kedamaian-kedamaian dalam diri, sehingga para pasien Covid-19 dalam menjalani isolasi akan dapat berdamai dengan keadaan. Karena selain daripada obat-obatan yang diberikan oleh tim medis, berdamai dengan keadaan juga merupakan bagian terpenting dan berpengaruh juga untuk kesembuhan dalam melawan Covid-19. Seperti yang dipaparkan oleh Ibu Rita berikut ini.

Kebetulan satu kamar tuh berdua sama Nakes juga, saya tuh berdua dan kita memang di dalem tuh berjuang banget dalam artian yang namanya olahraga. Ya pokoknya gimana caranya untuk menyenangkan diri kitalah, caranya seperti itu. Karena obat kalau kitanya nggak bisa berdamai dengan keadaan nggak akan ngaruh, gitu, menurut aku. Itu yang selalu aku tanamin, yang selalu aku sugestiin. Setiap detik, setiap menit pasti video call anak, video call suami untuk menyemangati diri.” (Wawancara dengan Ibu Rita).

 Penerimaan diri juga terwujud dengan cara berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Covid-19 yang ada di dalam tubuh para pasien Covid-19. Dengan berserah diri, maka ia dapat dikatakan sudah dalam tahap penerimaan diri. Berserah diri bukan berarti berputus asa. Penerimaan diri pun bukan berarti terserah apa kata Yang di Atas saja, melainkan juga tetap mau menerima dan menjalani setiap prosesnya dengan sabar dan ikhlas.

“Kedua, yang paling penting ya kita sih berserah aja kepada Allah, kesempatan untuk mendekatkan kepada Allah, minta ampun, minta diberi kesembuhan. Ya akhirnya alhamdulillah masalah saya itu dilewati dan rasanya memang yang paling berat itu di psikis.Memberikan daya, di samping asupan makanan. Ya itu menjadi bagian pentinglah. Ikhlas, pasrah, menyerahkan diri kepada Allah, itu menjadi bagian yang paling penting.” (Wawancara dengan Pak Agus).

Seperti yang telah diketahui bahwa dampak yang paling berat dalam menghadapi Covid-19 adalah dampak psikis atau mental. Karenanya, selain dengan obat-obatan, para pasien juga memiliki keyakinan bahwa memberikan dan menumbuhkan segala daya dan upaya dalam diri adalah menjadi bagian yang paling penting juga. Penerimaan diri artinya ikhlas dan pasrah serta menyerahkan diri kepada Allah SWT. Dan inilah yang menjadi hal terpenting dalam upaya penyembuhan dari Covid-19.

“Jadi yang pertama kita ini harus mental kita yang harus kita ini ya harus kita jaga. Itu adalah satu, imun, kemudian kedua mental, karena kalau kita kepikirannya negatif, kemudian udah pikirannya macam-macam itu pasti akan menurunkan imun. Tapi kalau coba kita terima, kita syukuri, kita bawa happy, dibawa enjoy, enggak ada beban, enggak ada apa-apa ya pasti imun kita akan meningkat, minimalnya tetap bertahanlah.” (Wawancara dengan Ibu Fitri).

Adanya penerimaan diri sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan imunitas juga ditakini oleh Ibu Fitri. Meskipun ia tergolong dalam pasien yang tidak memiliki gejala (OTG), ia mengaku bahwa salah satu obat yang bisa menyembuhkan adalah penerimaan diri. Dengan memiliki penerimaan diri, maka imun akan bisa lebih meningkat, sehingga kesembuhan akan bisa dirasakan atau setidaknya dapat bertahan. Sehingga dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pemahaman dan penerimaan diri harus ditingkatkan dalam usaha meningkatkan diri dan realisasi diri untuk mencapai kesehatan mental (Kartika Sari Dewi, 2012).

 

  1. Support atau Dukungan dari Orang-Orang Sekitar

Pentingnya dukungan dari orang-orang sekitar juga tidak hanya dirasakan oleh mereka yang terpapar, melainkan juga oleh keluarga mereka yang tidak terpapar. Terlebih ketika keluarga mereka mengetahui bahwa salah satu anggota yang terpapar tersebut memiliki tingkat perasaan yang begitu peka. Sehingga ssupport atau dukungan yang keluarga berikan pun dirasakan begitu penting. Seperti yang dialami oleh Pak Basyari tersebut di atas.

Mungkin kalau misalkan respons dari Kepala Ruangan atau teman-teman sih, mereka kan jauh lebih tahu tentang ini, jadi ya sangat-sangat mendukung, sangat mendoakan, hampir setiap habis Maghrib juga beliau video call bersama teman-teman, bareng-bareng. Karena kan yang terpapar kan bukan saya aja. Ada 4 orang di Ruangan Teratai. Makanya video call rame-rame. Teman-teman ya sangat-sangat mendukung aja, mendoakan, terus “Kamu butuh apa? Nanti dibeliin. Kamu maunya apa? Nanti dibeliin”. Nggak ada teman-teman yang “Ih, kamu kena, ini … ini …”. nggak ada sama sekali. Karena mereka lebih paham tentang situasi saya. Kadang mereka yang nenangin kalau saya nangis. Mereka yang selalu ngasih support.” (Wawancara dengan Ibu Rita).

Sama halnya seperti yang dirasakan oleh sebagian besar para pasien Covid-19 lainnya, Ibu Rita pun merasakan juga betapa pentingnya dukungan atau support yang diberikan oleh orang-orang sekitar, dalam hal ini teman-teman sejawat, atasan, juga keluarga, dalam proses penyembuhannya. Adanya dukungan atau support tersebut membuatnya lebih semangat lagi untuk sembuh, karena ia masih memiliki banyak orang yang menanti kesembuhannya.

“Betapa bahagianya, senang sekali kami bisa berkumpul lagi, dan kami sampaikan berita gembira ini ke masyarakat, ke tetangga-tetangga saya, bahwa berkat bantuan, doa, support yang mereka lakukan terhadap saya dan keluarga saya selama ini, saya akhirnya bisa dinyatakan sembuh.”(Wawancara dengan Ibu Mumun).

Begitu juga yang dirasakan oleh Ibu Mumun. Dukungan yang diberikan oleh keluarga dan para tetangganya selama ia menjalani isolasi, begitu hebat ia rasakan dan membuatnya lebih cepat dalam menjalani masa-masa pemulihan. Peran positif yang tetangga dan keluarga berikan juga membuatnya lebih semangat lagi untuk bisa pulih. Karenanya pada saat ia dinyatakan negatif dan sembuh, rasa syukur dan terima kasihnya pun tidak luput ia sampaikan kepada mereka yang mendukung, sehingga akhirnya ia bisa dinyatakan sembuh.

“Sebetulnya selama proses isolasi itu ya memang yang pertama adalah dukungan keluarga, temen-temen, itu bisa memberikan dorongan psikis, yang paling besar itu ya kemudian bisa meningkatkan imun. Karena psikis itu yang paling menjadi pikiran kita itu kan menjadi bagian dari pengendalian.Dukungan keluarga, dukungan teman-teman, dukungan pimpinan tuh menjadi bagian dari hal yang menguatkan. Memberikan daya, di samping asupan makanan.” (Wawancara dengan Pak Agus).

Menurut Pak Agus, dukungan dari orang-orang sekitar, terutama keluarga, teman-teman, dan pimpinan, menjadi bagian yang utama dalam proses isolasi. baginya, peran mereka dapat memberikan dorongan secara psikis yang begitu besar, yang kemudian bisa membuat imunitas dalam tubuhnya menjadi meningkat. Adanya support atau dukungan dari mereka tersebut, menjadi bagian dari hal yang menguatkan serta memberikan daya baginya, di samping asupan makanan.

Luar biasa. Waktu istri saya meninggal pun, kan kebetulan di hotel tuh kan ada 15 orang tuh yang diisolasi di hotel bareng saya itu. Ya mereka sampai benar-benar, ya karena Covid itu harus jaga jarak. Tapi mereka tuh berani dekat ke saya, benar-benar memberi semangat, memberi support ke saya, sampai Pak Ridwan Kamil pun nelepon ke saya. Masyaallah. Kepala Dinas Kesehatan, mereka benar-benar support. Ya makanya saya kalau misalnya saya terus-terusan terpuruk ya terlalu ya. (Wawancara dengan Pak Julian).

Hal tersebut juga dirasakan pula oleh Pak Julian. Ia merasa bahwa teman-teman dan keluarganya begitu mendukung selama ia menjalani isolasi, terlebih pada saat sang istri dinyatakan telah meninggal karena Covid-19. Meskipun memang berat dirasakan, tetapi dengan adanya support dari orang-orang sekitar, atasan, dan bahkan Gubernur Jawa Barat, ia dapat bangkit dari keterpurukan dan bertekad menguatkan diri untuk bisa sembuh dari Covid-19 yang dirasakannya.

 

  1. Keluarga Terdekat: Anak-Anak, Suami, dan/atau Istri

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa keluarga terdekat menjadi bagian terpenting dalam kehidupan setiap orang, terlebih bagi mereka yang terpapar Covid-19. Seperti yang dirasakan oleh para pasien Covid-19 di Kota Cirebon. Mereka mengakui bahwa anggota keluarganya dapat menjadi salah satu kekuatan mereka dalam menempuh masa kesembuhan atas Covid-19 yang mereka rasakan.

“Ya saya terutama ya, harus cepat mengubah mindset bahwa anak-anak sama siapa kalau kita tidak menguatkan diri. Saya kan anaknya banyak. Kalau salah satu di antara kami bisa terbayang. Ibu suka nangis kalau … siapa yang akan mendampingi mereka, gitu. Jadi itu aja gambaran anak-anak yang dihadirkan pada diri Ibu, yang membangkitkan semangat Ibu. Saya harus sehat, saya harus sehat, saya harus sehat, gitu. Karena kalau seperti ini anak-anak masih kecil, siapa yang merawat mereka, saya bilang. Siapa yang ngurus mereka. Terus Ibu juga saling ngobrol sama suami. “Ayo, semangat-semangat” saya bilang. Insyaallah Covid pindah dari diri kita, saya bilang gitu. Terus semangat, kita tuh ingat anak-anak, gitu.Alhamdulillah kami semua banyak mengalihkan pemikiran negatif menjadi positif dengan gambaran anak-anak di wajah kami. Itu yang menjadikan motivasi besar.” (Wawancara dengan Ibu Ayi).

Ibu Ayi adalah salah satu pasien Covid-19 yang selalu merasakannya. Pada saat ia terpuruk, ia selalu mengahdirkan wajah anak-anaknya sehingga ia pun memiliki kekuatan dan semangat untuk bisa sembuh dari Covid-19, sehingga ia bisa kembali bertemu dan berkumpul bersama mereka di rumah. Selain menguatkan diri sendiri, ia juga menguatkan sang suami yang pada saat bersamaan juga sedang menjalani isolasi. Dengan menghadirkan wajah anak-anak itulah yang baginya merupakan motivasi terbesar untuk kesembuhan.

Makanya yang saya takutkan cuma itu. “Ya Allah kalau misalkan saya mati besok tuh gimana?” gitu aja sih. Makanya saya selalu video call suami, nangis-nangis. Cuma kalau udah video call suami, video call anak tuh, jadi “Ya Allah, aku tuh harus hidup loh buat mereka. Harus banget hidup buat mereka”. Gitu. Kalau kekuatan dari anak, dari suami pasti banget. (Wawancara dengan Ibu Rita).

Sama seperti yang dirasakan oleh Ibu Rita. Meskipun ia termasuk ke dalam orang yang tanpa gejala (OTG), tetapi rasa cemas dan takut akan kematian kerapkali datang dan dirasakannya. Oleh karena itu, ia selalu melakukan komunikasi dengan suami dan anaknya agar bisa membuatnya lebih kuat lagi untuk melawan Covid-19. Kekuatan yang diberikan oleh anak dan suami, selalu ia rasakan sekali, sehingga ia pun memiliki tekad bahwa ia harus sembuh untuk mereka.

Tapi berhubung saya juga harus memberikan contoh kepada anak, sehingga kecemasan seperti itu tidak terlalu berlarut-larut. Saya harus menghibur anak juga dengan cara kami sama-sama bekerjasama begitu untuk saling menguatkan sehingga kecemasan itu tidak terlalu lama, gitu. (Wawancara dengan Ibu Mumun).

Saling menguatkan antar anggota keluarga yang terpapar juga dirasakan oleh Ibu Fera. Seperti yang telah ia paparkan tersebut di atas, ia juga selalu memberikan keyakinan kepada anak pertamanya yang juga terpapar, bahwa mereka harus bisa saling menguatkan. Tidak lupa juga untuk sama-sama saling mendoakan untuk kesembuhan. Adapun yang menjadi motivasi terbesarnya adalah anak paling kecil yang saat itu dititipkan kepada keluarganya. Karenanya, anak-anak menjadi kekuatan terbesar untuknya bisa sembuh dari Covid-19.

Anak-anak. Paling satu tuh saya anak-anak. Karena kalau saya nggak berhasil bangkit dan meratapi terus tuh ya kasihan anak-anak. Nomor satu itu anak-anak. Dan yang kedua adalah keluarga. Orang tua dan mertua, serta adik-adikku, alhamdulillah masih support “Aa pasti kuat. Aa pasti bisa”. Ya alhamdulillah itu saya mulai semangat lagi. (Wawancara dengan Pak Julian).

 Pak Julian pun merasakan hal yang sama pula seperti para pasien tersebut di atas. Terlebih pada saat itu, seseorang yang ia cinta gugur dalam melawan Covid-19. Oleh sebab itu, baginya, masa pandemi ini adalah masa yang begitu memberatkan sekali. Hal tersebut membuatnya terpuruk. Namun keterpurukan tidak lantas berlarut-larut, ia pun memiliki tekad harus kembali bangkit untuk keluarga lainnya, dan terutama untuk anak-anaknya.

 

  1. Mengonsumsi Obat-Obatan yang Diberikan Tim Medis dan Herbal

Bagian dari sebab kesembuhan orang sakit adalah obat-obatan, baik itu obat-obatan yang diberikan oleh tim medis maupun obat-obatan herbal yang banyak disarankan oleh teman-teman mereka. Begitupun bagi para pasien Covid-19. Bagi mereka, obat-obatan juga memiliki peran penting untuk menunjang kesembuhannya dalam melawan Covid-19. Seperti yang dirasakan oleh Pak Adang berikut ini.

Jadi di luar obat-obat lain yang selain disebutkan dari rumah sakit, saya juga dapat suplemen dari berbagai macam obat. Jadi kawan-kawan ngasih saran. Ada yang dari Coconut oil, VCO, ada ramuan dari profesor apa gitu di situ, dikirim tiga kilo-tiga kilo coba. Jadi kebagianlah semua, obat yang itu. Kemudian ada kurma azwa datangnya juga satu boks. Nah itu dimakannya lima biji dibuang bijinya kemudian masukkan air, kemudian dicelup air panas, kemudian dikocok sampai hancurlah. Jadi rasanya tuh kayak asem kawaklah. Nah tu kalau malam tuh enak, menjelang tidur saya minum itu. Kemudian dari Pak Yani ada banyak juga suplemen ya. Ada madu dari berapa botol, dari banyak teman. Ada madu berbagai macam. Jadi alhamdulillah. (Wawancara dengan Pak Adang).

Baginya, obat yang diberikan tim medis harus selalu dikonsumsi, meskipun efek samping yang harus dirasakan begitu luar biasa. Namun ia yakin bahwa hal itu adalah semata-mata untuk membantu kesembuhannya. Selain dari tim medis, ia juga mendapatkan banyak obat-obat herbal dari keluarga juga teman-temannya. Jadi selama menjalani isolasi, tidak hanya obat-obatan dari tim medis saja yang ia konsumsi, tetapi obat-obat herbal yang ia terima dari teman-teman dan keluarga juga ia konsumsi.

Ya saya kan mengandalkan dari berobat ya, dari dokter. Berarti dari obat-obat. Jadi itu sebenarnya yang paling utama. Makan semuanya saya makan semua. Jadi saya yakin bahwa itu adalah karena itu urusannya medis. Jadi saya ikuti, makan obat semua bahkan vitamin juga saya makan. (Wawancara dengan Pak Jaja).

Mengonsumsi obat untuk kesembuhan juga diandalkan oleh Pak Jaja. Ia meyakini bahwa dokter memiliki kemampuan dalam memprediksi penyakit dan memberikan obat yang sesuai dengan penyakit tersebut. Sehingga ia mempercayakan penuh segala bentuk pengobatan kepada tim medis, karena hal tersebut memang menjadi bagian dari peran mereka.

“… kalau Ibu mah pasti membawa kayu putih. Jadi apa yang selama ini dianjurkan dan dokter pun banyak video-video menyebutkan testimoninya tidak usah terlalu khawatir bahwa minyak kayu putih memang saya rasakan seperti itu, lega di dalam tenggorokan kita. Itu dari sisi medisnya seperti itu … memang di samping saya diberikan obat-obatan medis, saya juga sudah siap dengan obat-obatan herbal. Salah satunya juga diberikan oleh Pak Yani. (Wawancara dengan Ibu Mumun).

Ia juga melanjutkan bahwa selama menjalani isolasi, ia rutin mengonsumsi obat-obatan herbal yang ia dapatkan dari orang-orang sekitar. Rutinitas mengonsumsi obat-obat herbal tersebut dirasakan dapat meningkatkan imunitas tubuhnya. Setiap obat-obat herbal yang teman-temannya sarankan, bahkan ia konsumsi. Hal tersebut ia lakukan sebagai bagian dari keinginannya untuk bisa sembuh dari Covid-19.

Ya itu tadi paracetamol, kalau vitamin itu kan bukan obat ya. Paracetamol sama yang radang buat tenggorokan atau itu juga antibiotik. Ya obatnya itu lagi karena nggak ada lagi. Vitamin C, redoxon, untuk suplemennya ya, habbatussauda. Ini yang agak menguatkan, air kelapa terus dicampur air jeruk lemon terus dikasih garam. Itu resep itu dari WA dari apalah. Itu tuh sering dikonsumsi terus agak mendingan. Rasanya asin banget sih pas awal-awal. (Wawancara dengan Pak Ibnu Sina).

Banyaknya orang-orang sekitar yang peduli dan men-support, banyak pula saran-saran yang didapatkan oleh pasien Covid-19 untuk bisa cepat pulih. Seperti yang dirasakan oleh Pak Ibnu Sina tersebut di atas. Demi kesembuhan, ia beserta anggota keluarga yang terpapar lainnya ruitn mengonsumsi air kelapa yang dicampur perasan lemon dan campuran garam. Hal tersebut ia akui memberikan khasiat sehingga kondisi badannya terasa lebih baik. Meskipun rasanya kurang ia sukai.

“Obat juga nggak ada yang ini ya … paling juga vitamin. Cuma saya mengonsumsi herbal aja, herbal. Dari awal sebelum Covid memang saya rajin lemon sama madu itu rutin tiap habis bangun tidur, sebelum ngurusin apa-apa pasti minum itu. Tapi pas hilang penciuman, saya sempat makan bawang putih. Bawang putih mentah. Ah, luar biasa itu, karena saya mungkin ininya pengin cepat sembuh. Jadi saya udah dua hari itu mengonsumsi itu. (Wawancara dengan Ibu Fera).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, jalan kesembuhan dengan mengonsumsi obat-obatan herbal juga ditempuh oleh Ibu Fera. Setiap harinya ia rutin mengonsumsi obat herbal, seperti madu yang ia campurkan dengan perasan air lemon. Bahkan ia pun mau untuk mengonsumsi bawang putih mentah. Ia akui bahwa berbagai cara selalu ia tempuh demi kesembuhan.

Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut di atas juga maka dapat dikatakan bahwa mental positif atau kesehatan mental sangat diperlukan oleh para pasien Covid-19 dalam dan selama menjalani masa isolasi. Hal tersebut dikarenakan ketika para pasien memiliki kesehatan mental yang baik, maka imunitas yang ada di dalam dirinya pun akan meningkat. Sebaliknya, apabila pasien memiliki pikiran atau mental yang negatif, maka akan dapat menimbulkan perasaan cemas. Selain itu, kekhawatiran yang berlebihan juga akan memicu kortisol dalam jumlah banyak, yang mana akhirnya akan membuat daya tahan atau imunitas tubuh pasien menjadi menurun. Pada saat imunitas atau daya tahan tubuh pasien menurun, maka penyakit apa pun –terutama Covid-19– akan tetap ada di dalam tubuhnya. Oleh karena itu, menjaga kesehatan fisik dan keseimbangan mental bagi para pasien Covid-19 sangat diperlukan dan diperhatikan agar imunitas tetap maksimal (Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Jawa Timur, 2020).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top