SIS dan 90 Organisasi: Tolak Shahidan Kassim di Komite Perlindungan Perempuan dan Anak

SIS dan 90 Organisasi: Tolak Shahidan Kassim di Komite Perlindungan Perempuan dan Anak

Oleh: Nur Faizah

“Dampak Ekstremisme terhadap Perempuan, Pernyataan Pers.”

Pernyataan pers ini dikeluarkan untuk menanggapi pelantikan Datuk Shahidan Kassim sebagai anggota Komite Pemilihan Khusus Parlemen (PSC) yang membidangi berbagai isu seperti, isu perempuan, anak, dan pembangunan sosial. Pelantikan ini menuai gelombang kritik dan penolakan dari berbagai kalangan, khususnya organisasi yang berfokus pada perlindungan perempuan dan anak.

Sisters in Islam (SIS) secara tegas menentang keputusan tersebut. Penolakan ini berakar pada catatan masa lalu seorang politikus Shahidan Kasim, yang pada tahun 2018 pernah didakwa berdasarkan Pasal 14(a) Undang-Undang Kejahatan Seksual terhadap Anak 2017 karena telah melakukan pelecehan terhadap seorang gadis yang berusia 15 tahun. Meski pada tahun 2019 kasus ini akhirnya dihentikan setelah keluarga korban menarik laporan, isu kredibilitas dan integritas tetap melekat kuat pada figur Shahidan Kasim.

Komite khusus parlemen ini memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk memastikan keselamatan dan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak di Malaysia. Mandatnya mencakup evaluasi serta pembaruan kebijakan terkait kekerasan berbasis gender dan kejahatan terhadap anak.

Oleh karena itu, setiap anggota komite harus memiliki rekam jejak yang bersih, integritas tinggi, serta komitmen yang kuat terhadap perlindungan hak-hak kelompok rentan dan marjinal.

Kapasitas Shahidan dalam komite yang memegang isu sensitif ini dipertanyakan setidaknya karena dua alasan. Pertama, ia tercatat sebagai salah satu anggota parlemen yang sebelumnya menolak terhadap pembentukan komite ini.

Kedua, riwayatnya yang pernah tersangkut dakwaan hukum membuat publik meragukan objektivitas dan ketulusannya dalam menjalankan tugas. Penempatan sosok dengan latar belakang kontroversial tersebut justru dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap komitmen pemerintah melindungi perempuan dan anak.

Selain Sisters in Islam, lebih dari 90 organisasi perempuan, kelompok advokasi perlindungan anak, LSM, serta sejumlah individu berpengaruh turut menyuarakan penolakan. Mereka menganggap pelantikan ini sebagai langkah yang mengabaikan suara publik dan prinsip akuntabilitas.

Bahkan, sejumlah pengamat menilai bahwa keputusan ini dapat mencoreng citra parlemen sebagai lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam upaya melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Pihak yang berwenang dalam proses pelantikan anggota komite ini semestinya lebih cermat dan mempertimbangkan secara serius terhadap umpan balik masyarakat sipil. Fakta bahwa protes ini datang dari organisasi yang selama ini aktif dalam memperjuangkan hak perempuan dan anak menunjukkan bahwa isu ini bukan perkara yang sepele. Transparansi dan integritas dalam penunjukan anggota komite adalah kunci agar visi dan misi perlindungan terhadap kelompok rentan dapat berjalan secara optimal.

Pada akhirnya, keputusan Datuk Shahidan Kassim untuk mengundurkan diri dari komite tersebut dipandang sebagai langkah yang sangat tepat. Dengan mundurnya Shahidan Kasim, publik berharap posisi tersebut dapat diisi oleh sosok yang memiliki integritas dan rekam jejak bersih.

Aktivis sosial Syed Azmi Alhabshi bahkan menekankan bahwa posisi ini sebaiknya diberikan kepada seorang perempuan yang memiliki rekam jejak yang baik agar representasi dan perspektif gender lebih kuat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan.

Kasus ini menjadi pelajaran yang sangat penting bahwa dalam pemilihan pejabat publik, khususnya dalam isu sensitif seperti perlindungan perempuan dan anak, harus didasarkan pada kredibilitas, integritas, dan kepercayaan publik. Hanya dengan cara itu, komitmen terhadap keadilan dan perlindungan hak asasi manusia dapat benar-benar terwujud secara konsisten.

 

Scroll to Top