Hadhanah dan Penjagaan Anak Pasca-Perceraian Di Malaysia

Hadhanah dan Penjagaan Anak Pasca-Perceraian Di Malaysia

Oleh: Fitri Leilani Desmonda

Ketika pasangan suami istri bercerai, banyak orang mengira masalah selesai setelah putusan hakim dibacakan. Nyatanya, perceraian justru membuka pintu pada pergulatan baru: siapa yang menjaga anak, bagaimana pembiayaan hidup mereka, dan sejauh mana orang tua masih terlibat. Di Malaysia, isu ini dikenal dengan istilah hadhanah, yakni hak penjagaan anak setelah perceraian.

Hadhanah bukan sekadar soal hukum. Ia menyangkut masa depan seorang anak: tempat tinggalnya, siapa yang menidurkannya di malam hari, siapa yang mengajarinya berdoa, hingga siapa yang membiayai sekolahnya. Sayangnya, meski hukum Islam sudah mengatur, praktik di lapangan sering menimbulkan konflik panjang.

Apa Itu Hadhanah?

Dalam hukum keluarga Islam, hadhanah merujuk pada hak dan tanggungjawab memelihara serta mendidik anak yang belum mencapai umur mumayyiz (sekitar 7 tahun untuk anak lelaki dan 9 tahun untuk anak perempuan).

Umumnya, ibu lebih diutamakan sebagai pengasuh utama, karena dinilai lebih dekat secara emosional dan lebih telaten dalam perawatan harian. Namun, sistem ini tidak absolut. Hakim Syariah tetap memiliki kewenangan menentukan siapa yang lebih layak menjadi penjaga, dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child). Inilah prinsip penting yang seharusnya menjadi dasar dalam setiap putusan hadhanah.

Pergulatan Nyata di Lapangan

Meski aturan terlihat jelas, kenyataannya tidak sesederhana itu. Banyak perempuan di Malaysia yang bercerai mengeluhkan betapa sulitnya mempertahankan hak penjagaan anak. Ada kasus di mana sang ayah menggunakan kedekatannya dengan pejabat agama atau memanipulasi dokumen untuk merebut hak asuh.

Di sisi lain, tidak sedikit lelaki yang menjadikan anak sebagai “alat tawar-menawar”. Mereka berkata, “Kalau kamu ingin hak penjagaan, batalkan tuntutan nafkah,” atau, “Kalau kamu mahu anak-anak tinggal denganmu, jangan ganggu aku dengan permintaan cerai fasakh.” Ancaman seperti ini menambah luka bagi perempuan yang sudah rapuh setelah perceraian.

Sisters in Islam (SIS) melalui pusat guaman Telenisa mencatat, aduan mengenai hadhanah termasuk yang paling tinggi. Banyak ibu mengaku tidak hanya kehilangan pasangan, tetapi juga hampir kehilangan anak. Padahal, anak-anaklah yang seharusnya dilindungi dari konflik orang dewasa.

Dampak Psikologis pada Anak

Perceraian selalu menyisakan luka bagi anak. Mereka sering kali bingung: mengapa ayah dan ibu tidak lagi tinggal bersama? Mengapa harus memilih satu pihak? Dalam banyak kasus, anak terjebak di antara perebutan dua orang tua yang sama-sama ingin dianggap paling berhak.

Ketika orang tua saling tarik-menarik, anak justru kehilangan rasa aman. Ia bisa merasa bersalah karena dianggap sebagai penyebab pertengkaran, atau merasa tidak dicintai karena harus tinggal dengan salah satu pihak. Bahkan, ada anak yang menjadi korban “penculikan” oleh salah satu orang tua, dibawa jauh dari rumah hanya untuk menghindari putusan pengadilan.

Situasi ini jelas merugikan tumbuh kembang anak. Anak yang seharusnya belajar dengan tenang di sekolah, justru terbebani oleh konflik orang tuanya. Banyak psikolog anak menegaskan bahwa stabilitas emosional jauh lebih penting daripada sekadar siapa yang menang di pengadilan.

Nafkah dan Tanggungjawab Pasca-Perceraian

Selain hak penjagaan, satu isu besar yang selalu muncul adalah soal nafkah. Undang-undang menetapkan bahwa ayah tetap berkewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya meskipun sudah bercerai. Nafkah meliputi biaya makan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesihatan.

Namun realitinya, banyak lelaki yang mengabaikan tanggungjawab ini. Ada yang hanya memberi sedikit sekali, ada yang berhenti total selepas beberapa bulan, bahkan ada yang sengaja menghilang tanpa kabar. Akibatnya, beban ekonomi sepenuhnya jatuh ke bahu ibu.

Di sinilah peran Mahkamah Syariah menjadi sangat penting. Sayangnya, proses menuntut nafkah sering panjang dan melelahkan. Perempuan harus bolak-balik ke mahkamah, mengeluarkan biaya guaman, dan menghadapi mantan suami yang enggan bekerjasama. Banyak yang akhirnya menyerah, dan anak-anak menjadi korban dari sistem yang lemah.

Perspektif Feminist: Anak Bukan Barang Rebutan

Sisters in Islam (SIS) dengan tegas menolak praktik menjadikan anak sebagai objek perebutan. Mereka menekankan bahwa kepentingan terbaik anak harus selalu menjadi prioritas. Anak bukan hadiah yang diberikan kepada pemenang, dan bukan pula hukuman bagi pihak yang kalah.

Menurut SIS, hakim Syariah perlu memperkuat keberpihakan pada anak. Setiap keputusan harus berdasarkan kondisi nyata: siapa yang lebih mampu secara emosi, siapa yang lebih stabil secara kewangan, dan siapa yang benar-benar hadir dalam kehidupan anak sehari-hari. Jika prinsip ini dijalankan, maka perebutan yang berlarut-larut bisa diminimalisir.

Karena isu hadhanah di Malaysia tidak hanya tentang hukum agama, tetapi juga tentang kesenjangan dalam penegakan. Perempuan sering kali berada di posisi lemah kerana keterbatasan akses keuangan dan kurangnya dukungan sosial. Sementara itu, lelaki lebih mudah menggunakan kekuatan ekonomi untuk menggugat atau menekan bekas istri.

Sistem hadhanah seharusnya bergerak ke arah yang lebih adil dan berpihak pada anak. Negara perlu memperkuat mekanisme pemantauan, memastikan nafkah anak benar-benar dibayar, serta memberi sanksi tegas kepada lelaki yang lalai. Selain itu, konseling keluarga pasca-cerai perlu diwajibkan agar anak tidak menjadi korban ketidakmatangan orang tua.

Hadhanah Sebagai Ujian Kemanusiaan

Perceraian memang pahit, tetapi ia tidak harus merusak kehidupan anak. Hadhanah seharusnya menjadi ruang bagi orang tua untuk menunjukkan kematangan, bukan ego. Anak memerlukan kasih sayang dari kedua belah pihak, meskipun rumah tangga orang tuanya sudah berakhir.

Janji untuk melindungi anak bukan sekadar tugas hukum, tetapi juga ujian kemanusiaan. Malaysia membutuhkan sistem yang lebih tegas, hakim yang lebih peka, dan orang tua yang lebih bertanggungjawab. Tanpa itu semua, hadhanah hanya akan menjadi kata indah dalam undang-undang, tetapi hampa dalam kenyataan.

Scroll to Top