Membangun Rumah Tangga Tanpa Kekerasan lewat Pendidikan Karakter yang Adil Gender

Membangun Rumah Tangga Tanpa Kekerasan lewat Pendidikan Karakter yang Adil Gender

Oleh: Raitam Afandi

Di tengah derasnya modernisasi dan derasnya arus digital, Indonesia masih menyimpan luka lama yang jarang terlihat: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Data Komnas Perempuan menunjukkan, bahwa jumlah total kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat 445.502 kasus, meningkat sekitar 9,77 % dari tahun sebelumnya (401.975 kasus pada 2023).

Namun angka statistik itu hanyalah puncak gunung es. Karena masih banyak korban yang memilih diam karena malu, takut, atau terjebak dalam normalisasi budaya.

Ironisnya, sebagian besar pelaku dan korban mereka yang masih belajar di bangku sekolah. Artinya pendidikan kita masih gagal menjadi ruang dan tempat paling aman.

Pendidikan Karakter yang Menyesatkan

Selama ini pendidikan karakter sering dipersempit pada soal disiplin, etika, dan kepatuhan. Padahal, karakter bukan sekadar “sopan dan patuh”, melainkan bagaimana seseorang menghargai martabat orang lain sebagai sesama manusia yang setara.

Masalahnya, nilai yang ditanamkan sering kali tidak adil gender. Anak laki-laki didorong untuk menjadi pemimpin, kuat, dan dominan. Anak perempuan sebaliknya, dituntut patuh, lembut, dan menjaga kehormatan keluarga.

Narasi ini dibungkus indah sebagai “karakter baik”, padahal yang terjadi justru penguatan stereotip dan ketimpangan.

Lihat saja di sekolah: anak laki-laki yang vokal dianggap percaya diri, sedangkan anak perempuan dengan sikap sama dicap tidak sopan. Anak laki-laki yang menangis dipermalukan, sementara air mata anak perempuan dinormalisasi.

Pola sederhana ini membentuk cara pandang jangka panjang: laki-laki pemegang kuasa, perempuan penerima perintah. Maka ketika dewasa, ketimpangan itu menjelma menjadi legitimasi kekerasan.

KDRT: Produk Budaya dan Pendidikan

Kekerasan rumah tangga adalah produk budaya yang sudah lama menormalisasi dominasi satu pihak atas pihak lain. Seorang suami yang merasa berhak mengontrol istrinya, atau orang tua yang merasa wajar memukul anak demi “pendidikan”, hanyalah puncak dari warisan nilai yang diajarkan sejak kecil.

Pendidikan karakter yang tidak kritis terhadap relasi kuasa akhirnya menjadi bumerang. Ia mengajarkan bahwa menyakiti bisa dibenarkan atas nama cinta. Ia mengajarkan kepatuhan lebih mulia daripada dialog. Ia bahkan mengajarkan bahwa kekerasan bisa berjalan berdampingan dengan kasih sayang.

Untuk keluar dari lingkaran itu, pendidikan karakter harus dirombak agar adil gender. Artinya, sadar bahwa nilai moral tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan relasi kuasa.

Karena, empati tidak cukup dimaknai sebagai “ikut merasakan perasaan orang lain”, melainkan juga menghormati hak dan batasan mereka. Keberanian tidak lagi berarti mendominasi, melainkan berani mengakui kesalahan dan memperbaiki diri.

Dalam model pendidikan ini, anak-anak tumbuh dengan kesadaran bahwa semua orang berhak atas rasa aman, penghormatan, dan kebebasan dari kekerasan. Konflik tidak diselesaikan dengan bentakan atau pukulan, melainkan komunikasi. Karena cinta sejati tidak pernah menyakiti.

Peran Guru, Kurikulum, dan Lingkungan

Dalam masalah ini, guru memegang posisi penting dalam transformasi ini. Namun faktanya, banyak guru belum dibekali pelatihan kesetaraan gender. Akibatnya, bias gender tanpa sadar terus direproduksi di ruang kelas. Guru lebih sering menunjuk anak laki-laki memimpin kelompok, sementara anak perempuan ditegur karena terlalu vokal.

Kurikulum juga perlu berbenah. Buku pelajaran masih kerap menampilkan perempuan sebagai “objek domestik” dan laki-laki sebagai “subjek publik”.

Padahal, materi tentang relasi sehat, komunikasi non-kekerasan, hingga kesetaraan gender bisa dengan mudah disisipkan ke pelajaran agama, PPKn, bahkan bahasa Indonesia. Pendidikan karakter tidak boleh berdiri sendiri—ia harus mengalir ke seluruh sistem pendidikan.

Pendidikan karakter tidak boleh berhenti di sekolah. Ia harus hidup di rumah, komunitas, bahkan ruang digital. Orang tua wajib menjadi teladan dalam relasi setara. Komunitas perlu menyediakan forum dialog tentang gender dan anti-kekerasan. Media sosial bisa menjadi sarana kampanye nilai positif sekaligus membongkar narasi kekerasan yang sering dinormalisasi.

Program parenting, pelatihan guru, kurikulum sekolah, dan kampanye digital harus saling mendukung. Pendidikan karakter yang adil gender adalah proyek kolektif, bukan tugas satu institusi.

Scroll to Top