Mengapa Gen Z Menganggap ‘Married is Scary’ ?

Mengapa Gen Z Menganggap ‘Married is Scary’ ?

Oleh: Imam Firdaus

“Menikah itu menakutkan.” Kalimat itu sering terdengar dari mulut generasi muda hari ini. Sebagian mengucapkannya dengan bercanda, sebagian lagi dengan penuh keseriusan. Bagi sebagian Gen Z, pernikahan bukan lagi satu-satunya jalan menuju kebahagiaan, melainkan pilihan yang sarat risiko.

Saya ingat momen ketika teman-teman membicarakan rencana pernikahan. Saat ditanya, saya hanya bisa menjawab lirih, “Saya takut menikah.” Bukan karena tidak percaya pada cinta, melainkan karena bayangan tanggung jawab besar yang harus ditanggung. Apakah saya sanggup membahagiakan pasangan sekaligus tetap bahagia dalam ikatan tersebut?

Sejak kecil, saya terbiasa melihat pertengkaran hingga perceraian orang tua. Luka itu masih membekas. Maka, pernikahan tidak lagi tampak indah seperti dongeng. Ada kerinduan akan kebersamaan, tetapi ada juga kecemasan terjebak dalam konflik. Ternyata keresahan ini bukan hanya milik saya. Banyak teman sebaya mengalaminya. Fenomena “married is scary” nyata di kalangan Gen Z.

Pernikahan Bukan Lagi Tujuan Utama

Generasi sebelumnya memandang pernikahan sebagai tolok ukur kesuksesan sosial. Bagi Gen Z, pernikahan hanya salah satu pilihan hidup. Kesiapan mental, finansial, dan karier justru lebih diprioritaskan.

Kecemasan Gen Z sering dipicu pengalaman buruk yang mereka saksikan: perceraian orang tua, pertengkaran berkepanjangan, atau kisah rumah tangga bermasalah yang viral di media sosial. Tak heran bila muncul sikap ragu, menunda, bahkan takut menikah.

Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan angka pernikahan dari 1,705 juta pasangan pada 2022 menjadi 1,577 juta pada 2023. Persentase pemuda usia 16–30 tahun yang belum menikah meningkat dari 54,11 persen pada 2014 menjadi 68,29 persen pada 2023. Di perkotaan, angkanya lebih tinggi: 75,52 persen.

Indonesia Gen Z Report 2024 menunjukkan 73,7 persen Gen Z masih ingin menikah, hanya 5,3 persen yang menolak. Namun, mayoritas memilih menunda. Survei Populix–Liputan6 (2023) bahkan mencatat 58 persen generasi muda sudah merencanakan pernikahan tetapi tidak dalam waktu dekat, sementara 23 persen belum atau tidak memiliki rencana sama sekali.

Mengapa Gen Z Ragu Menikah?

Ada sejumlah alasan yang membuat Gen Z ragu.

Pertama, ekonomi. Biaya hidup kian tinggi, harga rumah sulit dijangkau, pekerjaan tak menentu.

Kedua, Psikologis. Trauma masa lalu, pengalaman perceraian orang tua, atau rasa takut gagal membina rumah tangga.

Ketiga, Media sosial. Satu sisi menampilkan pernikahan bak drama romantis, sisi lain menelanjangi konflik dan perceraian selebritas.

Penelitian Riska & Khasanah (2023) menegaskan: 64,8 persen Gen Z menunda menikah karena fokus pendidikan dan karier, 24,6 persen karena tekanan norma sosial, 10,6 persen karena perubahan nilai budaya.

Para pakar menyebut fenomena ini waithood—penundaan menuju kedewasaan. Waithood bisa positif, tapi jika berlarut-larut berpotensi berubah menjadi gamophobia atau ketakutan berlebihan terhadap pernikahan.

Saatnya Memikirkan Ulang Persiapan Pernikahan

Rasa takut menikah tidak harus dipandang negatif. Justru, ini bisa jadi peluang untuk memperbaiki cara kita mempersiapkan pernikahan. Edukasi pranikah sebaiknya tidak hanya membahas hukum agama, tetapi juga aspek psikologis, komunikasi, dan manajemen keuangan.

Selain itu, konseling psikologi dibutuhkan, hal ini agar trauma masa lalu tidak diwariskan. Keluarga dan lingkungan sosial sebaiknya memberi dukungan, bukan tekanan. Pertanyaan “kapan nikah?” sering kali hanya memperburuk kecemasan anak muda.

Bahkan, pemberdayaan ekonomi juga penting. Pelatihan keterampilan, kesempatan kerja, dan akses kepemilikan rumah bisa mengurangi hambatan finansial.

Media sosial pun dapat menjadi ruang literasi untuk menyebarkan gambaran realistis tentang pernikahan, bukan hanya kisah manis atau pahit secara ekstrem.

Maka dari itu, bagi Gen Z, menikah bukan lagi sekadar kewajiban sosial. Menikah adalah pilihan sadar, yang hanya diambil ketika mereka merasa cukup siap secara mental, finansial, dan emosional.

Fenomena “married is scary” bukanlah ancaman bagi institusi pernikahan, melainkan cermin dari kesadaran kritis generasi muda. Mereka tidak ingin terjebak dalam lingkaran konflik yang sama seperti yang mereka lihat di masa kecil. Mereka ingin pernikahan yang lebih sehat, setara, dan membahagiakan.

Dan mungkin, inilah saatnya kita membangun narasi baru bahwa menikah tidak harus menakutkan, asalkan dipersiapkan dengan matang, realistis, dan penuh kesadaran.

 

Scroll to Top