Mengarusutamakan Gender di RPJMD 2025–2029: Dari Wacana ke Aksi
Oleh: Raitam Affandi

Lp2m.uinssc.ac.id – Di tengah deru pembangunan infrastruktur dan ambisi pertumbuhan ekonomi, ada satu agenda yang mulai menuntut ruang lebih besar dalam perencanaan yaitu soal isu keadilan gender.
Isu ini tidak lagi sekadar jargon seminar atau catatan kaki dalam dokumen kebijakan, melainkan sedang didorong menjadi arus utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Veronica Tan, menegaskan: pembangunan yang mengabaikan perspektif gender adalah pembangunan yang pincang.
Momentum ini terasa semakin penting karena bertepatan dengan 41 tahun ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Artinya, komitmen Indonesia di atas kertas harus diterjemahkan menjadi kebijakan nyata di lapangan.
Selama ini kata “kesetaraan gender” kerap berhenti di ruang akademik atau laporan tahunan. Padahal, di balik angka Indeks Ketimpangan Gender (IKG) yang masih tinggi, ada realitas menyakitkan:
Pertama, perempuan kehilangan hak atas tanah karena aturan adat hanya mengakui laki-laki.
Kedua, pekerja rumah tangga bekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan kesehatan, tanpa perlindungan hukum.
Ketiga, anak perempuan terpaksa putus sekolah karena dinikahkan dini demi alasan ekonomi atau tradisi.
Integrasi isu gender ke dalam RPJMD bukan sekadar formalitas administratif. Ini soal memastikan pembangunan tidak hanya membangun jalan dan gedung, tetapi juga kesempatan yang setara bagi semua warga.
Perspektif Islam
Dalam Islam, keadilan gender bukanlah konsep asing. Prinsip maqāṣid syariah menempatkan perlindungan jiwa, harta, akal, keturunan, dan agama sebagai tujuan utama hukum. Kekerasan, diskriminasi, dan pengabaian hak perempuan jelas bertentangan dengan prinsip itu.
Ulama progresif menekankan, ayat-ayat Al-Qur’an tentang relasi gender harus dibaca dalam kerangka keadilan substantif. Misalnya, QS An-Nisa: 34 bukan legitimasi dominasi laki-laki, tetapi amanah untuk melindungi dan menyejahterakan keluarga.
Pendekatan ini penting agar kebijakan berperspektif gender tidak dianggap asing atau bertentangan dengan adat dan agama, melainkan sejalan dengan nilai keadilan itu sendiri.
Oleh karena itu, tahun 2025 adalah titik kritis. Indonesia menghadapi perubahan iklim, transformasi digital, dan ketidakpastian ekonomi. Semua tantangan ini punya dimensi gender.
Perubahan iklim lebih berdampak pada perempuan pedesaan yang bergantung pada alam. Transformasi digital membuka peluang sekaligus menciptakan risiko eksploitasi dan bias algoritmik. Ketidakpastian ekonomi membuat perempuan di sektor informal semakin rentan tanpa jaring pengaman sosial.
Jika isu gender tidak diintegrasikan sekarang, Indonesia akan kehilangan momentum untuk membangun fondasi keadilan yang kokoh.
Dengan begitu, pembangunan tanpa perspektif gender adalah pembangunan yang pincang. Jalan boleh mulus, gedung boleh megah, tetapi jika perempuan masih tertinggal, pekerja rumah tangga masih tanpa perlindungan, dan anak perempuan masih dinikahkan dini, maka pembangunan itu gagal memenuhi tujuannya.
Keadilan gender harus menjadi bab utama dalam RPJMD, bukan catatan kaki. Ia bukan hadiah dari pemerintah, melainkan hasil kerja bersama: negara, masyarakat sipil, dan setiap individu yang percaya bahwa masa depan hanya bisa dibangun jika semua orang berdiri di garis start yang sama.
Seperti yang diajarkan maqāṣid syariah, melindungi martabat manusia adalah tujuan tertinggi setiap kebijakan. Jika pembangunan gagal melindungi yang paling rentan, maka pembangunan itu gagal sejak awal. []
Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.
Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/



