Mengubah Pola Asuh Anak Usia Dini Dari Hal Sederhana

Mengubah Pola Asuh Anak Usia Dini Dari Hal Sederhana

Oleh: Fitri Leilani Desmonda

Mengubah Pola Asuh Anak Usia Dini Dari Hal Sederhana

Lp2m.uinssc.ac.id – Sejak lahir, anak-anak menyerap nilai dan norma dari lingkungan sekitarnya. Mereka belajar bukan hanya dari ucapan orang tua atau guru. Tetapi juga dari mainan yang dimainkan, cerita yang didengar, bahkan tontonan yang dinikmati sehari-hari. Sayangnya, media-media kecil ini sering sarat dengan stereotip gender yang diwariskan turun-temurun.

Mobil-mobilan dan robot hampir selalu diberikan kepada anak laki-laki, sementara boneka dan mainan dapur untuk anak perempuan. Cerita rakyat pun banyak menggambarkan perempuan sebagai tokoh lemah yang menunggu diselamatkan oleh laki-laki.

Pola ini terlihat sepele, tetapi sebenarnya menjadi akar yang menumbuhkan cara pandang bias sejak dini. Pertanyaannya, apakah kita ingin generasi baru tetap terjebak dalam lingkaran peran gender kaku, atau mulai memberi mereka ruang tumbuh yang lebih setara?

Mainan sebagai Media Belajar Nilai

Merujuk website Mubadalah.id menekankan bahwa mainan bukan sekadar alat hiburan, melainkan media belajar anak. Ketika anak laki-laki dilarang bermain boneka, kita sedang menghalangi kesempatan mereka melatih empati, kasih sayang, dan tanggung jawab.

Sebaliknya, jika anak perempuan dilarang bermain lego atau robot, mereka kehilangan peluang mengasah logika, kreativitas, dan keterampilan teknis.

Fenomena ini masih banyak ditemui di masyarakat. Tidak sedikit orang tua merasa canggung ketika anak laki-laki minta boneka atau anak perempuan suka bermain mobil-mobilan.

Bahkan, ada yang menganggap hal itu “melawan kodrat”. Padahal, seperti dicatat Sisters in Islam (SIS), bias kecil seperti ini adalah bentuk diskriminasi gender yang diperhalus.

Sebuah laporan Kupipedia tentang perkembangan anak usia dini menunjukkan, anak yang diberi kesempatan bermain lintas gender memiliki keterampilan sosial lebih baik.

Mereka lebih berani bereksperimen, lebih fleksibel menghadapi masalah, dan lebih percaya diri mencoba hal-hal baru. Dengan kata lain, keadilan gender dalam bermain memberi dampak nyata bagi tumbuh kembang anak.

Cerita dan Tontonan yang Membentuk Imajinasi

Selain mainan, cerita dan tontonan anak juga berperan besar dalam membentuk cara pandang. Banyak cerita klasik menggambarkan perempuan sebagai sosok pasif: menunggu dijemput pangeran, diselamatkan dari bahaya, atau berakhir bahagia hanya setelah menikah.

Gambaran ini secara tidak langsung menanamkan ide bahwa perempuan harus bergantung pada laki-laki. Sebaliknya, tokoh laki-laki dalam cerita lebih sering digambarkan sebagai pahlawan, pemimpin, atau sosok pemberani. Anak-anak yang terus-menerus menerima pesan semacam ini tumbuh dengan keyakinan bahwa peran gender sudah ditentukan sejak lahir.

Oleh karena itu, pentingnya menghadirkan cerita alternatif. Misalnya, dongeng tentang tokoh perempuan pemberani yang mengambil keputusan sendiri, atau tokoh laki-laki yang lembut, penuh kasih, dan menghargai orang lain. Pilihan cerita ini akan menanamkan nilai kesetaraan sejak dini.

Di sisi lain, tontonan anak di televisi dan media digital juga tak kalah berpengaruh. Banyak tayangan masih memperkuat stereotip lama, meski ada juga yang sudah mulai memunculkan karakter lebih setara. Orang tua perlu kritis memilih tontonan agar pesan yang masuk sesuai dengan nilai adil gender.

Dampak Jangka Panjang Stereotip Gender

Mengabaikan isu ini bisa berakibat serius. Anak-anak yang tumbuh dengan stereotip gender cenderung memiliki ruang gerak terbatas. Anak laki-laki sering merasa tidak boleh menunjukkan emosi, sehingga tertekan secara psikologis. Anak perempuan, di sisi lain, bisa kehilangan kepercayaan diri untuk mengambil peran kepemimpinan atau bidang teknis.

Data Telenisa SIS bahkan mencatat, sebagian besar masalah dalam rumah tangga berakar dari peran gender yang timpang. Jika sejak kecil anak-anak sudah dididik dengan perbedaan perlakuan, maka ketika dewasa, mereka cenderung menerima ketidaksetaraan sebagai hal normal.

Melansir dari Kupipedia bias gender dalam pendidikan usia dini bisa memengaruhi partisipasi anak dalam pendidikan jangka panjang. Ketika ekonomi keluarga sulit, anak perempuan lebih sering dikorbankan untuk berhenti sekolah, sementara pendidikan anak laki-laki tetap diprioritaskan. Ini menunjukkan bagaimana stereotip di rumah bisa berlanjut ke keputusan strategis keluarga.

Pandangan Islam tentang Keadilan Gender

Dalam Islam, prinsip ‘adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang) menjadi landasan utama. SIS menegaskan, Rasulullah SAW memberi teladan nyata dengan memperlakukan cucu-cucunya dengan penuh kasih tanpa membedakan gender.

Dalam riwayat, Rasulullah tidak segan bermain, menggendong, bahkan mencium cucu-cucunya di depan umum. Sikap ini membantah pandangan bahwa kelembutan adalah kelemahan.

Mubadalah.id juga mengingatkan bahwa pendidikan adil gender sejalan dengan maqasid syariah, yaitu menjaga martabat dan hak setiap manusia. Membiarkan anak tumbuh dengan kesempatan setara berarti menjalankan nilai-nilai Islam secara utuh, bukan hanya formalitas hukum.

Perubahan menuju parenting adil gender bisa dimulai dari hal sederhana: memberi mainan tanpa membatasi pilihan, memilih cerita yang setara, dan menyajikan tontonan yang membangun. Langkah kecil ini akan menciptakan dampak besar pada cara anak memandang diri sendiri, orang lain, dan dunia di sekitarnya.

Anak-anak bukan milik stereotip gender. Mereka berhak tumbuh bebas, percaya diri, dan adil sejak dini. Jika ingin mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan zaman, mari mulai dari rumah: ubah pola asuh dari mainan, cerita, dan kebiasaan sehari-hari. []

Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.

Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/

Scroll to Top