Pernikahan Muda dan Beragam Risiko Perceraian

Pernikahan Muda dan Beragam Risiko Perceraian

Oleh: Raitam Affandi

Pernikahan Muda dan Beragam Risiko Perceraian

Lp2m.uinssc.ac.id – Pernikahan sering dibayangkan sebagai awal perjalanan panjang yang penuh kebahagiaan. Namun, data terbaru Kementerian Agama memunculkan potret yang mengkhawatirkan: dalam lima tahun terakhir, mayoritas perceraian di Indonesia terjadi pada pasangan dengan usia pernikahan belum genap lima tahun. Jumlahnya mencapai 604.463 kasus pada periode 2020–2024.

Angka itu bukan sekadar data. Ia adalah kisah rumah tangga yang runtuh sebelum sempat mengakar; janji di pelaminan yang tak bertahan melewati badai awal pernikahan. Di balik setiap angka, ada hak-hak yang terancam: hak istri atas perlindungan dan nafkah, hak anak atas pengasuhan yang stabil, serta hak kedua belah pihak untuk membangun masa depan tanpa trauma.

Psikolog keluarga, Danti Wulan Manunggal, menyebut kebuntuan komunikasi sebagai salah satu penyebab utama perceraian di usia pernikahan muda. “Masing-masing sudah kehilangan feel bersama. Kondisi ini sering kali menjadi titik awal keretakan rumah tangga,” ujarnya.

Pada tahun-tahun awal, pasangan masih berada dalam fase penyesuaian. Perbedaan latar belakang, ekspektasi yang tidak realistis, hingga tekanan ekonomi sering menjadi pemicu konflik. Tanpa keterampilan komunikasi yang baik, masalah kecil bisa membesar menjadi jurang pemisah.

Hak-Hak yang Terabaikan

Perceraian di usia pernikahan muda kerap berdampak lebih berat bagi istri dan anak. Banyak istri yang belum mapan secara ekonomi sehingga kehilangan nafkah berarti kehilangan sumber penghidupan utama.

Hukum Indonesia sebenarnya menegaskan, melalui Pasal 41 UU Perkawinan, bahwa mantan suami tetap berkewajiban memberi nafkah anak. Namun praktiknya jauh dari ideal. Data Badan Peradilan Agama menunjukkan banyak putusan nafkah anak yang tidak dijalankan, meninggalkan ibu tunggal menanggung beban sendirian.

Bagi anak, perceraian dini berarti tumbuh tanpa pengalaman keluarga utuh. Hak asuh biasanya jatuh kepada ibu, terutama jika anak berusia di bawah 12 tahun sesuai Pasal 105 KHI. Namun, hak formal ini tidak selalu diiringi dengan dukungan finansial memadai dari ayah.

Psikolog anak mengingatkan bahwa stabilitas emosional anak sangat dipengaruhi kualitas hubungan dengan kedua orang tua. Konflik yang berlarut-larut bisa memicu kecemasan, penurunan prestasi, hingga masalah perilaku.

Ekonomi sebagai Pemicu dan Dampak

Tekanan ekonomi menjadi benang merah yang sering hadir. Banyak pasangan menikah tanpa perencanaan finansial matang, hanya mengandalkan penghasilan salah satu pihak. Saat biaya hidup meningkat atau pekerjaan hilang, konflik pun mudah tersulut.

Ironisnya, perceraian justru memperburuk kondisi ekonomi kedua belah pihak. Menteri Agama Nasaruddin Umar bahkan menyebut perceraian sebagai “pabrik orang miskin baru” karena korban pertamanya adalah perempuan dan anak.

Fenomena perceraian muda juga terkait dengan minimnya kesiapan mental dan sosial. Program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) yang digagas Kemenag menekankan pentingnya kesiapan emosional dan keterampilan mengelola konflik, bukan hanya mencegah perkawinan anak. Hal ini sejatinya juga relevan bagi pasangan dewasa muda yang tergesa menikah.

Tanpa kesiapan tersebut, rumah tangga mudah goyah saat dihadapkan pada realitas: pekerjaan yang melelahkan, mertua yang ikut campur, atau perbedaan visi hidup.

Mediasi yang Terlambat

Menag Nasaruddin Umar mengusulkan revisi UU Perkawinan untuk menambahkan bab khusus tentang pelestarian perkawinan, termasuk memperkuat peran mediasi. Menurutnya, mediasi harus dilakukan sejak tanda-tanda keretakan muncul, bukan ketika gugatan sudah masuk pengadilan.

Sayangnya, banyak pasangan muda baru mencari bantuan ketika konflik sudah memuncak. Pada titik itu, mediasi kerap hanya menjadi formalitas sebelum perceraian diputuskan.

Fakta-fakta ini mengingatkan kita bahwa menikah bukan hanya soal cinta, tetapi juga kesiapan menghadapi realitas. Pernikahan muda yang berakhir cepat membuktikan bahwa komitmen butuh lebih dari sekadar perasaan: ia menuntut komunikasi sehat, perencanaan ekonomi, dan kesediaan untuk tumbuh bersama.

Bagi calon pengantin, pesan ini jelas: jangan terburu-buru. Evaluasi kesiapan diri, bicarakan visi hidup, dan rencanakan masa depan dengan realistis. Bagi pasangan yang sudah menikah, rawatlah hubungan dengan komunikasi terbuka dan refleksi bersama.

Jika Anda berada di tahun-tahun awal pernikahan, luangkan waktu mengevaluasi hubungan secara berkala. Jangan ragu mencari bantuan profesional ketika komunikasi mulai buntu. Ingat, perceraian bukan hanya soal memutus hubungan, tetapi juga soal konsekuensi hukum, ekonomi, dan psikologis yang panjang.

Bagi pembuat kebijakan, ini sinyal untuk memperkuat pendidikan pranikah, memperluas akses mediasi, dan memastikan hak-hak pasca perceraian—terutama bagi istri dan anak—benar-benar dijalankan.

Pada akhirnya, menjaga pernikahan bukan sekadar urusan dua orang. Ia adalah investasi sosial untuk masa depan generasi berikutnya. []

Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.

Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/

Scroll to Top