Ketika Suara Perempuan Dianggap Ancaman: Pelajaran dari Kasus Maryam Lee di Malaysia

Ketika Suara Perempuan Dianggap Ancaman: Pelajaran dari Kasus Maryam Lee di Malaysia

Oleh: Nursetiawati

Ketika Suara Perempuan Dianggap Ancaman: Pelajaran dari Kasus Maryam Lee di Malaysia

Lp2m.uinssc.ac.id – Beberapa tahun lalu, publik Malaysia dihebohkan oleh pemanggilan penulis dan aktivis Maryam Lee oleh Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS). Ia diminta menjalani penyelidikan berdasarkan Pasal 10(a) Undang-Undang Pidana Syariah 1995, yang melarang siapa pun “menghina atau membawa agama Islam ke dalam penghinaan”. Jika terbukti bersalah, ia terancam denda hingga RM3.000, penjara tiga tahun, atau keduanya.

Kasus ini diyakini terkait dengan bukunya yang berjudul Unveiling Choice, yang baru saja diterbitkan kala itu.

Buku tersebut bukanlah manifesto politik atau seruan untuk melawan agama. Ia lebih merupakan refleksi personal seorang perempuan tentang perjalanan spiritualnya hingga memutuskan untuk melepas kerudung.

Maryam tidak mengajak siapa pun meniru keputusannya; ia hanya jujur menceritakan kisahnya sendiri. Namun, kejujuran itu justru dianggap berbahaya.

Padahal, kisah-kisah seperti inilah yang penting untuk kita dengar. Melalui pengalaman pribadi, kita bisa memahami betapa kompleksnya pergulatan perempuan dalam menghadapi tekanan sosial, budaya, dan spiritual. Tidak ada satu jalan tunggal untuk menjadi perempuan yang beriman dan berdaya. Setiap perjalanan iman adalah unik, dan menghormati keberagaman pengalaman justru memperkaya pemahaman kita tentang spiritualitas.

Namun, dalam masyarakat yang masih menempatkan moralitas pada standar tunggal, suara perempuan sering disalahartikan sebagai bentuk pembangkangan.

Cerita Maryam Lee menjadi contoh nyata bagaimana perempuan yang berani bercerita dianggap mengancam tatanan, bukan memperluas wacana. Mereka dikritik, diawasi, bahkan dihakimi atas nama kesalehan.

Bentuk pembungkaman hari ini mungkin tidak selalu datang lewat hukum, tapi melalui cara yang lebih halus: pelabelan di media sosial, pembatasan di ruang publik, atau kriminalisasi dengan tafsir moral yang sempit.

Akibatnya, banyak perempuan memilih diam. Bukan karena mereka tak punya cerita, tetapi karena takut suaranya disalahartikan. Padahal, diam hanya memperpanjang ketimpangan dan membiarkan ketidakadilan terus berlangsung tanpa disaksikan siapa pun.

Kasus Maryam Lee seharusnya menjadi pengingat bahwa ketika perempuan tidak lagi merasa aman untuk berbicara tentang keyakinan dan pengalaman hidupnya, maka yang sedang kita pertahankan bukanlah iman, melainkan ketakutan.

Ruang aman bagi perempuan bukan sekadar slogan; ia adalah kebutuhan dasar agar perempuan dapat bersuara tanpa stigma.

Kita perlu ruang di mana pengalaman spiritual yang berbeda dapat diterima sebagai bagian dari keberagaman manusia. Sebab, kebebasan bercerita adalah bagian dari kebebasan beriman itu sendiri.

Kasus Maryam Lee pada tahun 2019 bukan hanya tentang satu buku atau satu peristiwa di masa lalu. Ia adalah cermin dari realitas yang masih kita hadapi hari ini—bahwa kesetaraan dan kebebasan perempuan masih belum sepenuhnya diakui. Setiap kisah perempuan, sekecil apa pun, adalah bagian dari sejarah kemanusiaan. Dan sejarah tidak akan pernah lengkap jika separuh suara di dalamnya terus dibungkam. []

Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.

Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/

Scroll to Top