Kasus Nurfifi dan Urgensi Meninjau Ulang Hukuman Cambuk di Malaysia

Kasus Nurfifi dan Urgensi Meninjau Ulang Hukuman Cambuk di Malaysia

Oleh: Nursetiawati

Kasus Nurfifi dan Urgensi Meninjau Ulang Hukuman Cambuk di Malaysia

Pada Agustus lalu, Pengadilan Syariah di Terengganu menjatuhkan vonis enam kali cambuk di depan umum kepada Nurfifi Amira Nawi, seorang kasir berusia 37 tahun, karena tuduhan khalwat—berduaan dengan pria bukan mahram. Putusan ini mencatat sejarah baru, karena Nurfifi menjadi perempuan pertama di Terengganu yang dijatuhi hukuman semacam itu.

Bahkan, kasus Nurfifi ini memicu perdebatan luas, tidak hanya di Malaysia tetapi juga di tingkat internasional. Sejumlah media asing menyorotinya, sementara organisasi hak asasi manusia mengecam keras.

Dampaknya, masyarakat sipil pun terbelah antara yang melihatnya sebagai penegakan Syariah, dan yang menilainya sebagai kemunduran serius bagi perjalanan hukum serta demokrasi Malaysia.

Bahkan situasi semakin keruh ketika Wan Ahmad Fayhsal Wan Ahmad Kamal, anggota Parlemen Machang, secara terbuka menyatakan dukungan terhadap hukuman rajam bagi pezina. Pernyataan ini menimbulkan keprihatinan publik.

Namun, sejumlah ulama menolak keras gagasan tersebut dengan menegaskan bahwa rajam tidak pernah disebut secara eksplisit dalam al-Qur’an, melainkan hanya terdapat dalam sebagian hadis, itu pun dengan syarat pembuktian yang sangat ketat.

Pertanyaannya: apakah tafsir keras semacam ini masih relevan di tengah masyarakat yang menuntut keadilan substantif, bukan sekadar formalitas penghukuman?

Islam, Hak Asasi, dan Kasih Sayang

Islam adalah agama rahmat. Ajarannya menekankan kasih sayang, kedamaian, dan perlindungan terhadap martabat manusia. Karena itu, praktik hukuman cambuk atau rajam yang bersifat fisik dan kejam jelas bertolak belakang dengan semangat itu.

Tun Dr. Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia, menegaskan hal ini dengan mengatakan bahwa agama harus menuntun manusia dengan kasih, bukan menakut-nakuti dengan kekerasan.

Bahkan Sisters in Islam (SIS) forum Malaysia menyerukan moratorium atas semua bentuk hukuman cambuk, karena dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.

Senada, penting juga kita untuk melihat Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang secara jelas melarang penyiksaan serta perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Amnesty International pun menilai hukuman cambuk di Malaysia sebagai pelanggaran terhadap komitmen negara itu dalam reformasi hukum.

Oleh karena itu, kasus Nurfifi seharusnya menjadi bahan pertimbangan serius bagi pemerintah Malaysia. Jika benar ingin melangkah maju sebagai negara yang adil, modern, dan beradab, maka sudah saatnya Malaysia berani menolak praktik hukuman cambuk terhadap perempuan.

Scroll to Top