Kita Serumpun: Solidaritas Malaysia untuk Perjuangan Rakyat Indonesia
Oleh: Natia
Tahun 2025 menjadi babak baru ketegangan sosial di Indonesia. Ketika rakyat masih berjibaku memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, DPR justru mengetuk palu menaikkan tunjangan bagi para anggotanya. Kenaikan itu meliputi tunjangan beras dari Rp10 juta menjadi Rp12 juta, tunjangan bensin dari Rp4–5 juta menjadi Rp7 juta, hingga penambahan tunjangan rumah senilai Rp50 juta.
Keputusan DPR RI itu memicu kemarahan publik. Di mata rakyat, langkah DPR dianggap mencederai rasa keadilan. Sementara mayoritas buruh masih bertahan dengan upah minimum yang kerap jauh dari kebutuhan hidup layak, wakil rakyat justru menikmati fasilitas baru yang mewah.
Oleh sebab itu, hal inilah yang memicu gelombang demo di berbagai daerah. Dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, hingga Makassar, ribuan massa turun ke jalan menyuarakan keadilan dan tuntutan tentang perampasan asset.
Di Jakarta, aksi yang dipusatkan di depan Gedung DPR RI berubah tragis. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob saat aparat membubarkan massa. Peristiwa itu bukan hanya mengguncang publik, tapi juga memperluas gelombang kemarahan. Tagar #JusticeForAffan trending di media sosial, menjadi simbol korban dari ketimpangan dan represi negara.
Pemerintah dan kepolisian buru-buru menyampaikan permintaan maaf. DPR pun berjanji meninjau ulang kebijakan tunjangan yang kontroversial. Namun janji itu belum meredakan amarah.
Dampak Ekonomi Nasional
Kondisi politik yang kian panas menimbulkan kekhawatiran akan dampak terhadap ekonomi nasional. Meski pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi 2025 stabil di kisaran 5,1 persen, para ekonom memperingatkan situasi bisa berbalik drastis jika ketidakpastian politik berlarut.
Huda, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), mengatakan bahwa proyeksi optimistis pemerintah sulit tercapai. Bahkan katanya, investasi yang menjadi motor pertumbuhan bisa tertahan, bahkan sebagian akan keluar. Bila kondisi politik tidak segera pulih, target pertumbuhan akan jatuh di bawah 5 persen.
Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan adanya kecenderungan penundaan beberapa proyek investasi asing di sektor manufaktur dan energi. Investor menunggu kepastian apakah gelombang protes akan mereda atau justru meluas.
Suara Solidaritas dari Malaysia
Di tengah situasi ini, perhatian tidak hanya datang dari dalam negeri. Dari seberang Selat Malaka, solidaritas mengalir. SIS Forum, sebuah komunitas progresif di Malaysia, mengeluarkan pernyataan terbuka yang menyatakan dukungan kepada perjuangan rakyat Indonesia.
“Hati kami bersama rakyat Indonesia yang sedang berjuang menuntut keadilan dan martabat,” tulis SIS Forum dalam pernyataannya. Mereka menegaskan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan dan ketimpangan tidak mengenal batas negara.
Solidaritas itu kemudian bergulir di media sosial Malaysia dengan tagar #KitaSerumpun dan #SolidarityWithIndonesia. Dukungan tidak berhenti pada pernyataan moral. SIS Forum juga menginisiasi penggalangan dana daring untuk membantu logistik gerakan masyarakat sipil di Indonesia.
Solidaritas
Bagi banyak pihak, dukungan Malaysia mengingatkan bahwa perjuangan rakyat tidak pernah berdiri sendiri. Aktivis HAM dan pengamat sosial menilai bahwa solidaritas lintas batas ini penting, bukan hanya secara moral, tapi juga sebagai bentuk tekanan internasional agar pemerintah Indonesia lebih peka terhadap tuntutan rakyatnya.
Hal ini juga menunjukkan bagaimana teknologi memperkuat jejaring solidaritas. Karena, dukungan tidak harus selalu hadir dalam bentuk aksi massa fisik. Melainkan, melalui media sosial, petisi online, hingga konferensi virtual juga bisa dilakukan.
Oleh sebab itu, solidaritas itu sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah: apakah akan membuka ruang dialog dengan rakyat, atau justru terus mempertahankan jarak dengan kebijakan yang elitis. Karena sejarah akan mencatat, bangsa yang abai pada suara rakyatnya hanya akan menuai ketidakstabilan yang lebih besar.




