Meneguhkan Kesetaraan dalam Pernikahan
Oleh: Natia

Lp2m.uinssc.ac.id – Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan hubungan kemitraan yang sejajar, dibangun atas dasar kesepakatan dan saling menghargai. Namun, dalam praktiknya, masih banyak pemahaman keliru tentang peran suami dan istri yang justru menimbulkan ketimpangan dalam relasi rumah tangga.
Ketika relasi berubah menjadi saling menguasai, maka kekerasan pun muncul dan menghilangkan tujuan utama pernikahan yaitu menciptakan ketenteraman, kasih, dan sayang.
Karena itu, penting untuk meluruskan kembali pemahaman tentang pernikahan melalui pendidikan yang menanamkan prinsip kesetaraan dan memaknai ulang ajaran Islam secara utuh.
Islam memandang pernikahan sebagai komitmen suci yang kokoh, sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nisa ayat 21, yaitu mitsaqan ghalidzan. Konsep ini menandakan bahwa pernikahan merupakan amanah dari Allah yang dijalankan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, bukan perintah sepihak.
Akad nikah bukanlah bentuk pemindahan kepemilikan dari wali kepada suami, melainkan izin (ibahah) untuk membangun kehidupan bersama. Dengan demikian, suami dan istri adalah mitra sejajar yang saling menjaga, menghormati, dan menumbuhkan kebaikan dalam rumah tangga.
Membangun Relasi Adil dan Berlandaskan Cinta
Tujuan pernikahan dalam Islam juga digambarkan dengan sangat jelas dalam Surah Ar-Rum ayat 21, yaitu untuk mewujudkan kehidupan yang penuh ketenteraman (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah).
Ketiga nilai ini menjadi fondasi rumah tangga yang sehat dan bermartabat. Karena itu, segala bentuk relasi yang memunculkan ketakutan, paksaan, atau luka batin bertentangan dengan semangat sakinah, mawaddah, dan rahmah. Keintiman tanpa persetujuan dan penghormatan terhadap perasaan pasangan sama saja menyalahi ruh ajaran Islam.
Prinsip bergaul dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) yang diajarkan Al-Qur’an menjadi pedoman etika dalam hubungan suami istri.
Bahkan, Islam melarang segala bentuk penyusahan dan kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi.
Dalam konteks hubungan intim, sejumlah hadis menegaskan pentingnya kelembutan, saling menggairahkan, dan memperhatikan kepuasan kedua belah pihak. Istri bukan objek yang pasif, melainkan subjek yang memiliki hak penuh untuk merasakan kebahagiaan dan kenyamanan.
Dengan demikian, persetujuan dan komunikasi menjadi perwujudan nyata dari mu’asyarah bil ma’ruf dalam kehidupan rumah tangga.
Oleh sebab itu, dengan menegakkan keadilan dalam pernikahan berarti mengembalikan maknanya sesuai prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Sehingga konsep mitsaqan ghalidzan, mawaddah warahmah, dan mu’asyarah bil ma’ruf menjadi penegasan bahwa cinta dan kemitraan hanya bisa tumbuh dalam relasi yang saling menghormati. []
Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.
Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/
															


