Menggali Peran Aisyah sebagai Pilar Kesetaraan dalam Islam
Oleh: Viqia Sastrawardana

Lp2m.uinssc.ac.id – Di tengah perbincangan kontemporer tentang kesetaraan gender, kisah Aisyah binti Abu Bakar hadir sebagai teladan yang tak lekang oleh waktu. Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW, adalah bukti nyata bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin, guru besar, dan sosok yang dihormati di tengah masyarakat yang pada masanya sering memandang perempuan sebelah mata.
Aisyah: Figur Cerdas di Balik Sejarah Islam
Lahir di Mekah sekitar tahun 613 M, Aisyah tumbuh di lingkungan keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat dekat Nabi sekaligus khalifah pertama umat Islam. Pernikahannya dengan Nabi Muhammad SAW memberi kesempatan baginya untuk belajar langsung dari sumber utama ajaran Islam.
Ia tumbuh menjadi istri cerdas, menguasai pengetahuan agama, etika, dan kehidupan sosial. Setelah Nabi wafat pada tahun 632 M, Aisyah tampil ke depan sebagai salah satu guru besar umat, mewariskan ribuan hadis yang ia riwayatkan.
Peran Aisyah dalam Ilmu dan Kepemimpinan
Aisyah tercatat meriwayatkan lebih dari 2.000 hadis, banyak di antaranya terkait persoalan fiqh, ibadah, pernikahan, hingga warisan. Pandangannya tentang ilmu juga sangat progresif untuk zamannya. Aisyah pernah menegaskan bahwa “mencari ilmu adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan Muslim.”
Pernyataan ini sekaligus menantang pandangan lama yang membatasi akses perempuan terhadap pendidikan. Bahkan sahabat-sahabat besar seperti Umar bin Khattab dan Abu Hurairah kerap meminta pendapat Aisyah dalam perkara hukum. Kehadiran Aisyah menegaskan bahwa Islam sejak awal membuka ruang bagi perempuan untuk cerdas, berperan, dan dihormati setara dengan laki-laki.
Tak hanya ahli ilmu, Aisyah juga memainkan peran penting dalam dinamika politik. Ia terlibat dalam Perang Jamal tahun 656 M, memimpin pasukan dalam upaya mencari keadilan atas terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan.
Meski peristiwa itu berakhir tragis dan menimbulkan luka sejarah, keberanian Aisyah menunjukkan kapasitas kepemimpinan seorang perempuan di ruang publik. Setelah peristiwa tersebut, Aisyah memilih kembali ke Madinah untuk mengabdikan diri pada pendidikan dan dakwah, membuka majelis ilmu yang diikuti banyak murid.
Teladan Kesetaraan bagi Perempuan Sepanjang Zaman
Kisah Aisyah sejalan dengan pesan Al-Qur’an yang menekankan kesetaraan spiritual manusia. Dalam QS. al-Hujurat ayat 13 ditegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin atau status sosial, melainkan oleh ketakwaannya.
Aisyah juga dikenal membela hak perempuan, menolak praktik poligami yang tidak adil, serta menekankan pentingnya relasi yang setara dalam rumah tangga.
Hingga kini, teladan Aisyah tetap relevan. Di tengah perjuangan perempuan modern untuk memperoleh hak pendidikan, kesempatan kerja, dan peran publik, Aisyah menjadi simbol bahwa Islam mendukung pemberdayaan perempuan. Ia menunjukkan bahwa kesetaraan bukanlah upaya meniru laki-laki, melainkan mengembangkan potensi perempuan secara utuh.
Lebih dari sekadar figur sejarah, Aisyah binti Abu Bakar adalah ikon kesetaraan gender yang melampaui zamannya. Kisahnya adalah pengingat bahwa Islam tidak pernah membatasi peran perempuan, melainkan menegaskan martabatnya.
Dari masa lalu, Aisyah memberi teladan bagi masa depan: bahwa perempuan bisa berkontribusi penuh dalam ilmu, kepemimpinan, maupun perjuangan sosial. []
Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.
Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/



