Migran dan Luka Kemanusiaan yang Belum Sembuh di Malaysia

Migran dan Luka Kemanusiaan yang Belum Sembuh di Malaysia

Oleh: Nursetiawati

Migran, Pandemi, dan Luka Kemanusiaan yang Belum Sembuh di Malaysia

Lp2m.uinssc.ac.id – Lima tahun telah berlalu sejak dunia menghadapi pandemi Covid-19, namun luka kemanusiaan akibat kebijakan keras terhadap migran di Malaysia masih terasa hingga kini. Tahun 2020 menjadi salah satu babak paling kelam dalam sejarah penanganan migran negara tersebut.

Kala itu, publik dikejutkan oleh laporan Malay Mail mengenai penggerebekan besar-besaran terhadap imigran tidak berdokumen di kawasan Selayang Baru, Kuala Lumpur. Aksi tersebut segera menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Kelompok Aksi Bersama untuk Kesetaraan Gender (JAG) dan Sisters in Islam (SIS).

Ironisnya, operasi itu tidak hanya menjerat pria dewasa, tetapi juga perempuan, anak-anak, bahkan balita di bawah usia lima tahun.

Selama masa pandemi, kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan hamil, lansia, dan penyandang disabilitas berada di garis depan penderitaan. Di pusat-pusat penahanan yang sempit, tanpa ventilasi memadai, dan minim fasilitas kebersihan, para tahanan harus hidup berdesakan di tengah ancaman wabah yang mematikan.

Dalam saat dunia sibuk menjaga jarak demi keselamatan, mereka justru dijejalkan ke ruang-ruang pengap tanpa kepastian. Kekurangan makanan bergizi, terbatasnya akses kesehatan, serta kaburnya status hukum menjadikan penahanan itu bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan.

Dari semua korban, anak-anaklah yang paling tidak berdaya. Mereka kehilangan kebebasan, rasa aman, dan kasih sayang — hal-hal mendasar yang membentuk jati diri dan masa depan seseorang.

Penelitian global telah menunjukkan bahwa penahanan terhadap anak membawa dampak psikologis serius: kecemasan, depresi, bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD) yang bisa membayangi hingga dewasa. Dalam ruang-ruang sempit itulah, masa kecil mereka dirampas perlahan oleh sistem yang lebih memilih menghukum daripada melindungi.

Dari Hukuman Menuju Kemanusiaan

Padahal, peringatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah lama disampaikan. Sejak 2018, Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) telah mendesak Malaysia untuk menghentikan praktik penahanan dan deportasi terhadap perempuan migran.

CEDAW menekankan pentingnya pendekatan yang lebih manusiawi, terutama bagi perempuan dan anak, dengan memastikan akses terhadap layanan kesehatan, kebersihan, dan perlindungan hukum.

Hal senada juga ditegaskan oleh Convention on the Rights of the Child (CRC), yang telah diratifikasi Malaysia sejak 1995: bahwa kepentingan terbaik anak harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan negara.

Namun, dua dekade setelah Child Act 2001 disahkan, praktik di lapangan masih jauh dari harapan. Anak-anak migran tetap diperlakukan sebagai pelanggar hukum, bukan individu yang harus dilindungi. Mereka dikurung, diinterogasi, dan dihapus dari statistik kebijakan seolah-olah keberadaan mereka tidak pernah sah.

Padahal, tidak ada anak yang memilih untuk lahir tanpa dokumen, dan tidak ada perempuan yang sengaja melanggar aturan imigrasi demi kesenangan. Sebagian besar dari mereka adalah penyintas: melarikan diri dari kemiskinan, konflik, atau kekerasan domestik, hanya untuk menemukan diri mereka kembali terkurung di balik jeruji besi.

Kini saatnya Malaysia berani mengubah pendekatan mulai dari hukuman menuju kemanusiaan. Sejalan dengan rekomendasi PBB dan WHO, kebijakan terhadap migran seharusnya berfokus pada kesehatan publik, akses layanan dasar, dan kerja sama erat dengan organisasi masyarakat sipil yang selama ini menjadi garda depan advokasi. Karena. kemanusiaan tidak boleh diukur dari status kewarganegaraan atau kepemilikan dokumen. []

Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.

Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/

Scroll to Top