Pengacara Nik Elin: Membongkar Kerapuhan Hukum Syariah Kelantan dan Pertarungan Konstitusi Malaysia

Pengacara Nik Elin: Membongkar Kerapuhan Hukum Syariah Kelantan dan Pertarungan Konstitusi Malaysia

Oleh: Khofifah Alawiyah

Nama Nik Elin Zurina Nik Abdul Rashid kini menjadi buah bibir di Malaysia. Pengacara perempuan ini, bersama putrinya Tengku Yasmin Nastasha, menantang Undang-Undang Hukum Pidana Syariah Kelantan hingga ke Mahkamah Federal.

Gugatan mereka berujung pada putusan bersejarah: 16 pasal Syariah dibatalkan karena melampaui kewenangan negara bagian. Perjalanan hukum itu tidak hanya mengguncang sistem perundangan, tetapi juga memicu perdebatan sengit tentang konstitusi, agama, dan politik di negeri jiran.

Semua bermula 25 Mei 2022, ketika Nik Elin menggugat Pasal 20 Undang-Undang Hukum Pidana Syariah Kelantan. Gugatan itu memicu reaksi keras dari Pemerintah Kelantan yang berusaha memblokir langkah tersebut.

Namun, 30 September 2022, Mahkamah Federal mengabulkan permohonan awal Nik Elin. Perjalanan hukum terus berlanjut hingga 21 November 2023, ketika Perdana Menteri Datuk Seri Anwar Ibrahim (PMX) menyatakan dalam tanggapan tertulis bahwa Jaksa Agung berpendapat Kelantan memang tidak memiliki kewenangan dalam membentuk pasal-pasal pidana tertentu.

Puncaknya, 9 Februari 2024, Mahkamah Federal mengeluarkan putusan monumental: 16 dari 18 ketentuan pidana Syariah Kelantan dinyatakan batal demi hukum. Mahkamah menegaskan, negara bagian tidak berwenang membuat undang-undang pidana dalam bidang yang menjadi kuasa federal.

Putusan ini langsung menggemparkan. Para pendukung hukum Syariah menyebutnya sebagai “pukulan terhadap Islam”, sementara kelompok reformis melihatnya sebagai kemenangan konstitusi.

Antara Politik dan Keadilan

Sejak awal, Nik Elin menegaskan bahwa perjuangannya bukan melawan Islam. Dalam wawancara dengan Malaysiakini, ia menekankan: “Ini tentang yurisdiksi, bukan tentang akidah. Negara bagian tidak berhak mengatur hal yang bukan kewenangannya. Saya tidak menyerang Islam, saya menegakkan konstitusi.”

Namun, narasi itu tidak selalu sampai ke publik. Para politisi Kelantan memanfaatkan isu ini untuk menggalang dukungan massa. Mereka melabeli gugatan Nik Elin sebagai upaya “liberal” untuk melemahkan Islam. Spanduk, khutbah Jumat, hingga forum-forum lokal menjadi arena pembingkaian bahwa gugatan ini “anti-Syariah”.

Kenyataannya, kasus ini memperlihatkan bagaimana hukum Syariah sering dipolitisasi. Ia dijadikan alat untuk memperkuat legitimasi politik negara bagian, meski bertentangan dengan pembagian kewenangan dalam konstitusi federal.

Kekosongan Hukum yang Mengkhawatirkan

Putusan Mahkamah Federal menimbulkan persoalan lain: kekosongan hukum. Ada sejumlah tindak pidana yang sebelumnya diatur dalam hukum Syariah Kelantan, namun kini tidak lagi memiliki dasar hukum.

Contohnya soal riba. Islam jelas melarang praktik riba, tetapi ketika Syariah Kelantan membuat pasal pidana tentang riba, hal itu dinilai melampaui kewenangan. Federal pun tidak bisa membuat pasal serupa karena dianggap diskriminatif terhadap Muslim jika dibandingkan dengan prinsip Pasal 8 Konstitusi Federal yang menjamin kesetaraan. Akibatnya, seorang Muslim yang melakukan praktik riba tidak bisa lagi dipidana.

Inilah paradoks yang menimbulkan perdebatan baru: bagaimana Malaysia mengatur hukum yang sejalan dengan prinsip Islam, tetapi tetap konstitusional dan nondiskriminatif?

Bahkan, perjuangan Nik Elin juga membuka mata pada persoalan yang jarang dibicarakan: dampak hukum Syariah terhadap perempuan.

Dalam praktiknya, hukum Syariah seringkali menjerat perempuan Muslim dengan hukuman yang lebih berat dibandingkan non-Muslim untuk pelanggaran serupa. Misalnya soal moralitas, pergaulan, atau pelanggaran akidah. Padahal, Malaysia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang menuntut perlindungan setara bagi perempuan.

Putusan Mahkamah Federal memberi ruang bagi diskusi ini. Bukan semata tentang legalitas pasal, tetapi juga tentang keadilan substantif yang melindungi semua warga negara tanpa diskriminasi.

Langkah hukum Nik Elin dan putrinya akan tercatat sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah hukum Malaysia. Ia menunjukkan bahwa keberanian seorang warga negara, meski menghadapi gelombang kritik, bisa mengubah arah hukum dan membuka perdebatan nasional.

Dalam salah satu pernyataannya, Nik Elin berkata: “Saya berani karena saya percaya pada keadilan dan kesetaraan. Konstitusi adalah fondasi bangsa kita. Jika kita tidak menjaganya, kita akan kehilangan arah.”

Meski putusan Mahkamah Federal telah jelas, perdebatan soal hukum Syariah dan kewenangan negara bagian masih akan terus berlangsung. Kelantan, dan mungkin negara bagian lain, bisa saja mencari jalan baru untuk mengukuhkan hukum Syariah mereka.

Namun, satu hal pasti: kasus Nik Elin telah membuka tabir bahwa konstitusi tidak bisa dipinggirkan, bahkan oleh undang-undang yang mengatasnamakan agama.

Pertarungan antara politik, agama, dan hukum ini akan menjadi catatan panjang perjalanan demokrasi Malaysia. Dan di tengah riuh itu, nama Nik Elin akan selalu dikenang sebagai pengacara perempuan yang mengguncang status quo demi satu hal: keadilan untuk semua.

Scroll to Top