Suara Perempuan Malaysia dalam #WomensMarchMY
Oleh: Nursetiawati
Lp2m.uinssc.ac.id – Bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasonal, ribuan orang turun ke jalan di Malaysia. Mereka hadir dalam aksi #WomensMarchMY dengan membawa lima tuntutan yang sederhana tapi bermakna besar: mengakhiri kekerasan berbasis gender, melarang perkawinan anak, menjamin kebebasan atas tubuh dan kehidupan, memperjuangkan upah minimum yang bermartabat, serta menghancurkan sistem patriarki untuk membangun demokrasi yang adil.
Lima Tuntutan Utama #WomensMarchMY
Kelima tuntutan itu lahir dari realitas yang dialami Perempuan Malaysia dalam kehidupan sehari-hari. Ya mereka kerap mengalami kekerasan fisik maupun psikologis, diskriminasi yang mengekang, eksploitasi ekonomi yang mencekik, hingga keterbatasan akses pada kebebasan dan keadilan sosial. Apa yang disuarakan para aktivis bukan sekadar aspirasi, melainkan jeritan hidup yang selama ini kerap diabaikan.
Namun, bukannya mendapat ruang, aksi ini justru dipelintir. Hanya beberapa jam setelah demonstrasi, foto dan video peserta aksi yang menyuarakan dukungan terhadap hak-hak LGBT menyebar luas di media sosial. Reaksi keras pun segera muncul. Menteri di Departemen Perdana Menteri, Mujahid Yusof Rawa, bahkan menuduh aksi tersebut sebagai bentuk “penyalahgunaan ruang demokrasi.”
Pernyataan semacam itu justru menyingkap persoalan yang lebih dalam yaitu ruang demokrasi kian dipersempit.
Demokrasi sebenarnya bukanlah alat kekuasaan untuk menyaring suara siapa yang boleh berbicara dan siapa yang tidak. Karena demokrasi merupakan wadah bersama, tempat setiap warga—apa pun identitas gender, kelas sosial, orientasi seksual, maupun pandangan hidupnya—dapat menyampaikan aspirasi secara damai.
Demokrasi bukan sekadar suara mayoritas, tetapi juga perlindungan bagi minoritas agar tidak ditindas oleh dominasi.
Maka, ketika negara membatasi kebebasan kelompok tertentu, legitimasi demokrasi itu runtuh. Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan mengklaim dirinya demokratis, sementara sebagian warganya dilarang bicara hanya karena identitas atau pilihan hidup mereka tidak sesuai dengan narasi resmi?
Patriarki sebagai Ancaman bagi Demokrasi
Oleh karena itu, salah satu tuntutan utama #WomensMarchMY adalah penghancuran sistem patriarki. Kata “patriarki” kerap dianggap jargon akademik, padahal ia nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Karena patriarki sangat membatasi peran perempuan di ruang publik, mengabaikan suara mereka dalam pengambilan kebijakan, serta melanggengkan kekerasan berbasis gender. Bahkan patriarki bukan hanya merugikan perempuan, tetapi juga merusak demokrasi, sebab ia menutup pintu partisipasi setengah dari populasi bangsa.
Upah Layak dan Perlindungan dari Kekerasan
Selain itu, tuntutan yang paling konkret dari aksi ini adalah soal upah minimum RM1.800 serta penghentian kekerasan terhadap perempuan. Banyak pekerja perempuan di Malaysia—terutama dari kelas bawah—hanya mendapat gaji yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka dipaksa hidup dengan pilihan-pilihan sulit: antara biaya sekolah anak atau uang makan hari itu.
Lebih berat lagi, banyak perempuan harus memikul beban ganda. Mereka bekerja di sektor formal dengan upah rendah, sekaligus menangani pekerjaan domestik yang tidak pernah dibayar.
Rendahnya upah bukan sekadar soal nominal, tetapi menyangkut kualitas hidup secara menyeluruh—dari kesehatan, pendidikan anak, hingga kesejahteraan keluarga. Upah layak bukanlah hadiah dari majikan, melainkan hak pekerja. Tanpa itu, jurang kesenjangan akan semakin lebar dan kemiskinan struktural akan terus berulang.
Di sisi lain, kekerasan terhadap perempuan juga masih marak. Baik kekerasan fisik, psikologis, maupun seksual, semuanya meninggalkan luka panjang. Trauma yang dialami korban kerap tidak hanya membekas pada individu, tapi juga menghantui keluarga dan generasi berikutnya. Mengakhiri kekerasan bukan sekadar menghukum pelaku, tetapi memastikan setiap warga dapat hidup aman, bermartabat, dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.
Sayangnya, suara-suara ini kerap dipandang sebagai ancaman. Pemerintah sering melihat aktivisme perempuan, maupun gerakan masyarakat sipil pada umumnya, sebagai gangguan ketertiban. Padahal, kritik adalah nafas demokrasi. Dari ruang publik yang ramai itulah muncul ide-ide segar untuk memperbaiki sistem hukum, ekonomi, dan sosial.
Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/
Atau baca juga artikel ini pada: https://mubadalah.id/jangan-didik-anak-dengan-cara-kekerasan/




