Sudah Waktunya Malaysia Mengakui Rogol dalam Pernikahan sebagai Kejahatan
Oleh : Natia

Lp2m.uinssc.ac.id – Perkosaan atau rogol dalam pernikahan merupakan salah satu bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang harus dihapuskan di Malaysia.
Masih banyak yang beranggapan bahwa ikatan pernikahan memberi hak penuh kepada suami untuk berhubungan intim tanpa memerlukan persetujuan istri.
Padahal, ketika hubungan seksual dilakukan dengan paksaan, ancaman, atau kekerasan, itu sudah termasuk rogol dalam perkawinan adalah sebuah bentuk KDRT yang meninggalkan luka fisik dan trauma psikologis mendalam bagi korbannya.
Berikut beberapa faktor menjadi penyebab terjadinya rogol dalam pernikaha:
Pertama, Celah Hukum yang Mengabaikan Korban
Di Malaysia, meskipun Pasal 375 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang rogol, terdapat pengecualian bahwa hubungan suami-istri yang sah tidak dapat digolongkan sebagai rogol.
Sementara Pasal 375A hanya mencakup kekerasan fisik yang menyebabkan cedera, namun gagal melindungi istri dari bentuk paksaan lain — seperti ancaman, manipulasi, atau pemberian obat — yang memaksa mereka melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan.
Celah hukum ini menyebabkan banyak korban KDRT tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Mereka terjebak dalam situasi yang membuat pelaku lolos dari jerat hukum, sementara korban menanggung beban fisik dan trauma dalam kesunyian.
Kedua, Luka dan Trauma yang Nyata
Dalam berbagai permohonan perceraian, banyak istri mengungkapkan pengalaman mereka sebagai korban: dipukul dan dipaksa berhubungan intim setelah pertengkaran, diancam dibunuh jika menolak keinginan suami, bahkan dipaksa bersetubuh saat haid atau dalam masa nifas.
Pengakuan-pengakuan ini menunjukkan bahwa rogol dalam pernikahan bukanlah mitos, melainkan realitas sosial yang merampas martabat dan kemanusiaan perempuan. Trauma yang mereka alami tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga menghantui secara emosional dan psikologis dalam jangka panjang.
Ketiga, Mitos Keliru yang Melanggengkan Kekerasan
Di dalam budaya Malaysia, masih hidup pandangan kolot bahwa menikahkan korban kekerasan dengan pelakunya dianggap sebagai “jalan keluar” yang terhormat. Keyakinan keliru ini berakar dari nilai patriarki yang menempatkan “kehormatan keluarga” di atas keselamatan dan kesejahteraan individu.
Ironisnya, pola pikir ini sering diperkuat oleh struktur sosial yang mengedepankan penyelesaian diam-diam atas nama menjaga nama baik keluarga.
Korban akhirnya dipaksa bungkam, menanggung trauma fisik dan psikis, bahkan harus tetap hidup bersama pelaku dalam ikatan yang seharusnya memberi rasa aman.
Keempat, Langkah Menuju Keadilan dan Penghapusan KDRT
Untuk menghapus rogol dalam pernikahan, perubahan hukum dan budaya harus berjalan beriringan. Hukum perlu secara eksplisit mengakui rogol dalam perkawinan sebagai bentuk KDRT tanpa pengecualian. Sementara itu, masyarakat harus diedukasi bahwa hubungan seksual tanpa persetujuan adalah kejahatan — bahkan dalam ikatan pernikahan.
Korban juga harus mendapatkan akses pemulihan yang komprehensif, mulai dari bantuan hukum, konseling psikologis, hingga rumah aman. Langkah-langkah ini penting agar korban tidak lagi sendirian menghadapi sistem yang selama ini lebih berpihak pada pelaku.
Stop KDRT dari Pernikahan
Rogol dalam pernikahan bukanlah hak yang dilindungi, melainkan kekerasan yang harus dihapuskan. Ikatan pernikahan — baik secara hukum, agama, maupun adat — tidak boleh dijadikan tameng untuk melegitimasi kekerasan dan pemaksaan.
Sudah saatnya sistem hukum dan masyarakat berhenti menyenyapkan realitas ini dan mulai berpihak pada korban. Hanya dengan mendengarkan suara mereka, menegakkan keadilan, serta menghapus segala bentuk KDRT, kita dapat benar-benar mewujudkan rumah tangga yang berlandaskan kasih, kesetaraan, dan kemanusiaan. []
Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.
Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/
															


