Oleh:
Hj. Ery Khaeriyah, MA
Sekretaris LP2M
Pengertian dan Ciri Pemimpin
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Artinya, kepemimpinan (style of the leader) merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style” merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.
Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan. Dalam hal ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut.
Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 : 35) bahwa : “Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang dia istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur) dan “consideration” (pertimbangan). Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin dalam menentukan hubungan kerja dengan bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan prosedur kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam menunjukkan persahabatan dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya dalam suatu kerja.”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan: bahwa kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.” Dari defenisi kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan adalah fungsi pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya.
Perlu diperhatikan bahwa defenisi tersebut tidak menyebutkan suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik atau keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Sedangkan George R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich adalah: “Merupakan perkalian antara kredibilitas dan kapabilitas.” Kredibilitas adalah ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi, sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh bawahan maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan memajukan organisasi dan atau wilayah kepemimpinannya.” Kredibilitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang menunjukkan kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power) disamping adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral character) bila dikalikan dengan kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi organisasi/ wilayah yang jelas akan merupakan suatu kekuatan dalam menjalankan roda organisasi/ wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.
Kepemimpinan Dalam Islam
Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam, sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam, yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Subhanahu wa taala., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Subhanahu wa taala berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Prinsip Kepemimpinan
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir.
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama.
Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung jawabnya kepada Allah Subhanahu wa taala . selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim bin Aws meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?” Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”
Nah, kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat mondial, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini bisa dipahami, dijadikan nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik. Insya Allah
Dalam masyarakat beradab, kepemimpinan dibangun atas dasar konsensus nilai-nilai kearifan lokal. Jika kultur dan kearifan lokal dikaitan dengan aktivitas kepemimpinan, maka ia menjadi sebuah entitas yang tidak bisa dipisahkan. Kepemimpinan tidak bisa terlepas dari nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial masyarakat yang dianut. Ia tidak bisa dipertentangkan, tetapi ia harus direlasikan atau bahkan diintegrasikan. Salah satu ciri kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas yang tinggi atas lingkungannya.
Dalam khasanah sosiologi Islam, Ibnu Khaldun dikenal sebagai peletak dasar teori solidaritas masyarakat atau dikenal dengan teori ‘Ashâbiyat. Teori ini merupakan pengejawantahan dari teori harmoni ka al-jasad al-wahid dalam ajaran Islam, yang menggambarkan kelaziman saling melindungi dan mengembangkan potensi serta saling mengisi dan membantu di antara sesama.
Melalui teori harmoni ka al-jasad al-wahid dimisalkan kehidupan komunitas muslim itu dengan ka al-bunyan yasuddu ba’duha ba’dla bagaikan sebuah bangunan, yang antara elemen bangunan yang satu dengan yang lainnya saling memperkokoh— memperkuat Teori ‘Ashâbiyat— solidaritas kelompok dan konsep ta’âwun al-ihsan itu didasarkan atas pemikiran ajaran Islam, yang di dalamnya terkandung norma akidah dan syari’at.
Ibnu Taimiyyah menyatakan agama Islam tidak akan bisa tegak dan abadi tanpa ditunjang oleh kekuasaan, dan kekuasaan tidak bisa langgeng tanpa ditunjang dengan agama. Dalam Islam istilah kepemimpinan dikenal dengan kata Imamah. Sedangkan kata yang terkait dengan kepemimpinan dan berkonotasi pemimpin dalam Islam ada delapan istilah, yaitu; Imam dalam Surat al-Baqarah 124. Khalifah pada al-Baqarah: 30. Malik, al-Fatihah : 4, Wali pada al-A’raf : 3. ‘Amir dan Ra’in, Sultan, Rais, dan Ulil ‘amri.
Menurut Quraish Shihab, imam dan khalifah dua istilah yang digunakan Alquran untuk menunjuk pemimpin. Kata imam diambil dari kata amma-ya’ummu, yang berarti menuju, dan meneladani. Kata khalifah berakar dari kata khalafa yang pada mulanya berarti “di belakang”. Kata khalifah sering diartikan “pengganti” karena yang menggantikan selalu berada di belakang, atau datang sesudah yang digantikannya
Dasar-dasar Kepemimpinan
Pertama, tidak mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pemimpin bagi orang-orang muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi kualitas keberagamaan rakyat yang dipimpinnya, sebagaimana firman Allah Shalallahu alaihi wassalam dalam Al-Qur’an; Surat An-Nisaa: 144.
Kedua, tidak mengangkat pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan Agama Islam, sebagaimana firman Allah Shalallahu alaihi wassalam dalam Surat Al-Maidah: 57.
Ketiga, pemimpin harus mempunyai keahlian di bidangnya, pemberian tugas atau wewenang kepada yang tidak berkompeten akan mengakibatkan rusaknya pekerjaan bahkan organisasi yang menaunginya. Sebagaimana Sabda Rasulullah sa. “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya”. (HR Bukhori dan Muslim).
Keempat, pemimpin harus bisa diterima (acceptable), mencintai dan dicintai umatnya, mendoakan dan didoakan oleh umatnya. Sebagaimana Sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam. “Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu.” (HR Muslim).
Kelima, pemimpin harus mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan umat, menegakkan keadilan, melaksanakan syari’at, berjuang menghilangkan segala bentuk kemunkaran, kekufuran, kekacauan, dan fitnah, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa taala . Dalam Alquran, Surat Al-Maidah: 8. Keenam, pemimpin harus memiliki bayangan sifat-sifat Allah Subhanahu wa taala yang terkumpul dalam Asmaul Husna dan sifat-sifat Rasul-rasul-Nya.
Karakter Pemimpin Islami
Karakteristik manusia yang mempunyai motivasi tinggi untuk menjadi pemimpin tampak dalam tingkah laku yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ibadah kepada Allah. Pemimpin merupakan suatu panggilan yang sangat mulia dan perintah dari Allah yang menempatkan dirinya sebagai makhluk pilihan sehingga tumbuh dalam dirinya kehati-hatian, menghargai waktu, hemat, produktif, dan memperlebar sifat kasih sayang sesama manusia.
Solidaritas kelompok sebagai dasar kehidupan yang dilandasi oleh iman dan akhlak mulia seperti yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam, dapat memberikan implikasi terhadap tatanan kerja sama kemanusiaan (ta’âwun al-ihsan). Apabila teori tersebut dihubungkan dengan kegiatan kepemimpinan, maka akan dapat mendorong masyarakat untuk bersatu dan aktif partisipatif dalam proses pembangunan di semua sektor kehidupan.
Motivasi seseorang untuk ambil bagian dalam suatu proses kepemipinan sangat beragam sebagaimana halnya motivasi seseorang untuk melaksanakan ibadah, seperti salat, puasa, dan sebagainya. Keragaman motivasi atau latar belakang niat seseorang dalam bertindak adalah suatu hal yang tidak terelakan dan secara hukum tidak dipersalahkan. Sejarah menjelaskan kepada kita, ketika Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam berhijrah bersama para pengikutnya, beliau mengatakan bahwa motivasi dan keikutsertaan para pengikutnya itu beragam, ada yang bermotivkan kekayaan, dan ada juga karena dorongan wanita yang ingin dinikahinya. Semuanya itu dibenarkan, hanya saja kualitas partisipasi yang terbaik dan tertinggi dalam pandangan agama Islam adalah karena Allah Subhanahu wa taala .
Hadis yang berbunyi: innama al-’amal bi al-niyyât dan seterusnya, membenarkan keragamaan motivasi tindakan. Oleh karena itu, masalah partisipasi tokoh masyarakat dalam perhelatan pemilihan kepala daerah baik presiden, gubernur, bupati maupun wali kota pun demikian. Motivasi partisipasi itu harus diciptakan. Menurut Abdurrahman bin Abd al Salam al Syafi’i dalam kitab Nuzhat al Majalis wa Muntakhab al Nafais bahwa motivasi seseorang untuk melaksanakan kepemimpinan sebagaimana juga melaksanakan ibadah selalu beragam.
Minimal ada tiga motivasi utama: Motivasi ekonomi, yakni ingin mendapat imbalan material yang bernilai; Motivasi “takut” mendapat ancaman “akhirat” dan ingin “surga”; dan motivasi ikhlas atas landasan iman tauhid yang amat murni; lillahi ta’ala.
Karakter yang harus dimiliki dalam sebuah kepemimpinan adalah:
Pertama, Shidiq (jujur). Seorang pemimpin wajib berlaku jujur dalam melaksanakan tugasnya. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mengada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, jika biasa dilakukan, juga akan mewarnai dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pemimpin itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Dalam Alquran, keharusan bersikap jujur dalam memimpin, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut. Di beberapa ayat, dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa taala : Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. (QS Al An’aam: 152).
Dengan hanya menyimak ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah Subhanahu wa taala telah menganjurkan kepada seluruh umat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lebih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencurian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah Subhanahu wa taala dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal bakal dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar.
Jika penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, sudah jelas merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga para pemimpin yang melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan.
Dengan demikian, tidak ada bedanya! Mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah Subhanahu wa taala dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah Subhanahu wa taala akan menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa taala dalam Alquran: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (QS Al Muthaffifiin: 1-6)
Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak, bagi orang-orang yang melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar, menimbang dan mengukur barang dagangan mereka, sesungguhnya Alquran juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan yang terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah Subhanahu wa taala lantaran menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (QS Al A’raaf: 85)
Firman Allah Subhanahu wa taala Ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah.
Kedua, Amanah (tanggung jawab). Setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya. Dalam pandangan Islam, setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Pemimpin merupakan suatu tugas mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Ketiga, tidak menipu. Pemimpin hendaknya menghindari penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya. Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal. Oleh sehab itu, Rasulululah Shalallahu alaihi wassalam selalu memperingatkan kepada para pemimpin untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar terpilih, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, proses demokrasi untuk mengahasilkan pemimpin dinodai dengan pelanggaran etika, bahkan nyaris, setiap orang –calon pemimpin maupun pemilih– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram, di mana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam, sebagaimana dinyatakan dalam hadisnya. Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu alaihi wassalam , bersabda: “Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR Bukhari)
Memang sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi? Sementara tidak hanya sekali saja Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam memberi peringatan kepada para pemimpin untuk berbuat jujur, tidak menipu dan tidak merugikan orang lain.
Keempat, menepati janji. Seorang pemimpin juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada rakayat terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah Subhanahu wa taala . Janji yang harus ditepati oleh para pemimpin. Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pemimpin Muslim misalnya adalah salatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran: “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (QS Al Jumu’ah:10-11)
Dengan demikian, sesibuk-sibuknya pemerintahan yang sedang ditangani, sebagai pemimpin muslim, janganlah pernah sekali-kali meninggalkan salat. Lantaran Allah Subhanahu wa taala masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah salat, yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah Subhanahu wa taala banyak- banyak supaya beruntung.
Kelima, murah hati. Dalam suatu hadis, Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam menganjurkan agar para pemimpin selalu bermurah hati dalam melaksanakan pemerintahani. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab. Sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam: “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR Bukhari)
Keenam, tidak melupakan akhirat. Kepemimpinan adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia.
Maka para pemimpin muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu salat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas bersama-sama melaksanakan salat berjamaah, ketika azan telah dikumandangkan.
Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain. Sekali-kali seorang pemimpin muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan pemerintahan.
Penutup
Pada bagian ini, sebagai pemimpin hendaknya kita selalu berupaya menyempurna-kan keilmuan, berani mengambil risiko dan mampu mengambil ibrah dari keberhasilan serta kegagalan para pemimpin terdahulu. Jadilah pemimpin yang berangkat atas dasar keilmuan dan ketakwaan bukan atas dasar nafsu dan keserakahan.
Dari berbagai Sumber.