Mendidik Anak Usia Dini dengan Parenting yang Adil Gender

Mendidik Anak Usia Dini dengan Parenting yang Adil Gender

Oleh: Fitri Leilani Desmonda

Anak-anak lahir ke dunia tanpa membawa label apa pun. Mereka tidak pernah memilih untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Namun sejak hari pertama, dunia yang menyambut mereka sudah menempelkan peran seperti anak laki-laki disodori mobil-mobilan dan anak perempuan diberi boneka. Anak laki-laki diajarkan harus kuat, tidak boleh menangis, dan kelak menjadi pemimpin. Anak perempuan diarahkan untuk lemah lembut, patuh, dan pandai mengurus rumah.

Pola asuh seperti ini terlihat biasa di mata masyarakat, padahal sebenarnya kita sedang menanamkan benih diskriminasi sejak usia dini. Anak-anak yang seharusnya bebas bereksplorasi justru dibatasi oleh norma gender yang diwariskan turun-temurun.

Masa kanak-kanak yang mestinya menjadi fase emas pertumbuhan berubah menjadi ruang sempit yang hanya memperbolehkan mereka menjadi “sesuai dengan gender.” Padahal, penelitian menunjukkan pola asuh bias gender meninggalkan dampak psikologis jangka panjang.

Anak perempuan bisa tumbuh dengan rasa minder, merasa dirinya hanya pantas berada di ruang belakang. Sementara anak laki-laki sering tertekan oleh tuntutan untuk selalu tegar, hingga sulit mengekspresikan emosi. Maka, keadilan gender dalam parenting bukanlah isu kecil, melainkan fondasi pembentukan generasi yang sehat dan percaya diri.

Islam dan Prinsip Keadilan dalam Pengasuhan

Islam sendiri mengajarkan prinsip keadilan (‘adl) dan kasih sayang (rahmah) dalam mendidik anak, tanpa membeda-bedakan gender.

Rasulullah SAW memberikan teladan dengan memperlakukan anak-anaknya dengan penuh cinta, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan, di tengah masyarakat Arab jahiliah yang merendahkan perempuan, beliau meninggikan martabat putrinya, Fatimah RA, dan memperlakukan cucu-cucunya dengan penuh kasih.

Sayangnya, tafsir agama sering bercampur dengan budaya patriarki. Banyak keluarga Muslim masih menganggap anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan, sementara anak perempuan hanya “titipan” yang suatu saat akan menjadi milik keluarga suaminya.

Inilah yang ditentang oleh Sisters in Islam (SIS). Bagi SIS, Islam sejatinya adalah agama yang adil. Maka, anak-anak harus dibesarkan tanpa diskriminasi karena potensi mereka ditentukan oleh bakat, bukan gender.

SIS juga menegaskan bahwa ayah dan ibu sama-sama memikul tanggung jawab parenting. Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga figur pengasuh. Anak berhak mendapat kehangatan dari kedua orang tuanya. Parenting yang adil gender berarti membagi peran dan tanggung jawab, bukan menumpuk beban hanya pada salah satu pihak.

Kasus Nyata: Bias Gender dalam Kehidupan Sehari-hari

Kasus nyata ini diceritakan oleh seorang ibu bernama Sara yang datang ke layanan mediasi keluarga Telenisa, unit penasihat hukum di bawah SIS Ia mengaku sering membedakan anak-anaknya tanpa sadar.

Putra lelakinya dilarang bermain boneka atau menangis karena dianggap “memalukan,” sedangkan putrinya dilarang bermain bola atau bercita-cita menjadi insinyur karena itu “pekerjaan lelaki.”

Sara baru sadar ketika anak perempuannya menangis dan berkata, “Ma, aku bukan seperti kakak yang pintar main bola. Aku kan cuma anak perempuan.” Kalimat polos itu menohok dirinya. Ia menyadari bahwa tanpa disadari, pola asuhnya telah menanamkan rasa rendah diri pada anak perempuan, sekaligus menekan ekspresi emosional anak laki-laki.

Kisah ini bukan hanya dialami Sara. Banyak orang tua di Malaysia maupun Indonesia mengulang pola yang sama, karena merasa “begitulah seharusnya.” Padahal, dampaknya sangat nyata: anak kehilangan kebebasan menjadi dirinya sendiri.

Pendidikan Anak Usia Dini dan Peran Sekolah

Bias gender tidak berhenti di rumah, tetapi juga hadir di sekolah. Guru sering memberikan perlakuan berbeda: anak perempuan dipuji karena rapi dan penurut, sedangkan anak laki-laki dipuji karena cerdas dan berani. Mainan pun dibagi sesuai stereotip: dapur-dapuran untuk perempuan, mobil dan balok untuk laki-laki.

Sebuah penelitian internasional bahkan mencatat bahwa anak perempuan lebih jarang diberi kesempatan memimpin kelompok bermain, sementara anak laki-laki jarang diajak bermain peran sebagai pengasuh. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan persepsi bahwa dunia memang membagi peran sesuai gender.

Namun, ada alternatif yang bisa dipelajari dari negara-negara Skandinavia. Di Swedia, misalnya, sekolah anak usia dini mulai menerapkan kurikulum sensitif gender. Semua anak bebas mencoba berbagai permainan tanpa batasan.

Anak laki-laki boleh bermain boneka, anak perempuan boleh bermain bola atau membangun menara balok. Tujuannya sederhana: memberi ruang bagi setiap anak untuk tumbuh sesuai minat dan potensinya.

Menuju Parenting yang Adil Gender

Untuk menciptakan parenting adil gender, langkahnya tidak harus besar. Bisa dimulai dari hal-hal sederhana di rumah seperti membagi peran domestik secara seimbang antara ayah dan ibu, memberi kesempatan yang sama kepada anak untuk mencoba berbagai kegiatan, menggunakan bahasa yang tidak bias gender, menghargai emosi anak laki-laki ketika mereka menangis, sekaligus mendukung keberanian anak perempuan untuk tampil.

Di sekolah, guru perlu mendapatkan pelatihan tentang perspektif gender agar tidak secara tidak sadar memperkuat stereotip. Semua anak harus diberi kesempatan untuk memimpin, bereksperimen, dan berkreasi, tanpa batasan gender.

Parenting dan pendidikan anak usia dini yang adil gender bukan hanya isu perempuan, melainkan isu kemanusiaan. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Jika mereka dibesarkan dengan pola asuh yang adil, mereka akan tumbuh menjadi individu yang lebih percaya diri, sehat secara emosional, dan siap menghargai orang lain.

Islam sendiri sudah mengajarkan nilai keadilan dan kasih sayang. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian untuk melepaskan warisan bias budaya. Karena pada akhirnya, anak-anak bukanlah milik gender tertentu. Mereka adalah amanah yang harus kita jaga dengan penuh cinta dan kesetaraan. []

 

Scroll to Top