Mari Menghadirkan Ayah di Ruang Pengasuhan Anak

Mari Menghadirkan Ayah di Ruang Pengasuhan Anak

Oleh: Fitri Leilani Desmonda

Mari Menghadirkan Ayah di Ruang Pengasuhan Anak

Lp2m.uinssc.ac.id – Di dalam banyak keluarga, sosok ayah kerap digambarkan sebagai figur pencari nafkah. Ia bekerja keras di luar rumah, sementara urusan anak dan rumah tangga diserahkan sepenuhnya pada ibu. Pola ini sudah berlangsung lama, hingga dianggap sebagai sesuatu yang “alami.”

Namun di balik itu, ada satu pertanyaan penting: apakah anak-anak hanya membutuhkan kasih sayang dari ibu? Tentu tidak.

Kehadiran ayah dalam parenting sama pentingnya dengan ibu. Sayangnya, karena dibentuk oleh budaya patriarki, banyak ayah merasa perannya hanya sebatas memberi makan dan biaya sekolah.

Mereka jarang terlibat dalam hal sederhana seperti mendongeng sebelum tidur, menemani anak bermain, atau mendampingi anak belajar. Padahal, keterlibatan itu bukan sekadar bonus, melainkan kebutuhan mendasar bagi tumbuh kembang anak.

Islam dan Tanggung Jawab Bersama dalam Pengasuhan

Dalam Islam, tanggung jawab mendidik anak adalah kewajiban bersama antara ayah dan ibu. Al-Qur’an berulang kali menekankan pentingnya peran orang tua dalam menanamkan nilai iman, kasih sayang, dan pendidikan.

Rasulullah SAW pun memberi teladan nyata, beliau tidak hanya mencari nafkah tetapi juga terlibat dalam mengasuh cucu-cucunya. Diriwayatkan, beliau sering memangku Hasan dan Husain, bahkan mencium mereka di depan sahabat-sahabatnya.

Teladan ini menunjukkan bahwa kasih sayang seorang ayah bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan. Sayangnya, nilai ini sering hilang dalam praktik sehari-hari. Banyak laki-laki masih berpikir bahwa urusan anak hanya tanggung jawab ibu.

Salah satu lembaga di Malaysia, Sisters in Islam (SIS) menegaskan bahwa cara pandang semacam ini adalah bias patriarki, bukan ajaran Islam. Parenting adil gender berarti ayah dan ibu sama-sama hadir, sama-sama mendidik, dan sama-sama memberi teladan.

Kasus Nyata: Ayah yang Absen dari Pengasuhan

Di salah satu sesi konseling Telenisa, seorang ibu muda bernama Aina menceritakan pengalamannya. Setelah bercerai, ia mendapatkan hak asuh anak. Mantan suaminya setuju memberikan nafkah, tetapi hampir tidak pernah hadir dalam kehidupan anak. Sang anak, seorang bocah lelaki berusia tujuh tahun, sering berkata, “Papa cuma kasih uang, tapi tidak pernah datang ke sekolahku.”

Kalimat sederhana itu menunjukkan luka batin seorang anak. Nafkah memang penting, tetapi kasih sayang dan keterlibatan ayah tidak bisa digantikan uang.

Tanpa disadari, absennya ayah juga mengajarkan pesan bias bahwa ayah hanya pencari nafkah, bukan pengasuh. Padahal anak laki-laki membutuhkan teladan kelembutan dari ayahnya, dan anak perempuan perlu belajar bahwa laki-laki juga bisa hadir dengan kasih sayang, bukan hanya otoritas.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan keterlibatan aktif dari ayah memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, prestasi akademik lebih baik, serta lebih mudah mengembangkan empati.

Kehadiran ayah juga membantu menantang stereotip gender. Ketika anak melihat ayah memasak, menggendong adik, atau membersihkan rumah, mereka belajar bahwa pekerjaan rumah bukan hanya milik perempuan.

Sebaliknya, ketika ayah absen dari pengasuhan, beban sering jatuh seluruhnya pada ibu. Ibu tidak hanya harus bekerja, tetapi juga mengurus rumah dan mendidik anak. Kondisi ini tidak adil, baik bagi ibu maupun anak.

Karena itu, parenting yang adil gender berarti menyeimbangkan peran: ibu dan ayah sama-sama memberi nafkah, kasih sayang, dan pendidikan sesuai kemampuan masing-masing.

Membangun Budaya Parenting Adil Gender

Mengubah pola pikir tentang peran ayah memang tidak mudah. Tetapi ada langkah sederhana yang bisa dilakukan seperti ayah ikut serta dalam rutinitas harian anak, seperti mendampingi belajar atau mengantar sekolah, berbagi tugas domestik bersama ibu.

Sehingga anak melihat teladan kesetaraan, meluangkan waktu berkualitas, bukan hanya memberi nafkah materi, menggunakan bahasa penuh kasih agar anak merasa ayah adalah tempat aman bukan sekadar otoritas.

Perubahan ini bukan hanya baik untuk anak, tetapi juga untuk ayah sendiri. Banyak ayah yang merasa lebih dekat dengan anak, lebih tenang secara emosional, dan lebih bahagia ketika terlibat penuh dalam pengasuhan.

Parenting adil gender tidak bisa berjalan tanpa keterlibatan ayah. Kasih sayang ibu memang luar biasa, tetapi anak juga membutuhkan sentuhan hangat dari ayah. Islam telah memberi teladan, dan SIS mengingatkan kita untuk kembali pada semangat keadilan itu.

Dengan menghadirkan ayah sebagai figur pengasuh, bukan sekadar pencari nafkah, kita sedang membangun generasi yang lebih sehat, penuh empati, dan menghargai kesetaraan. Karena anak-anak berhak mendapatkan cinta dari dua sisi—ibu dan ayah—agar mereka tumbuh menjadi manusia yang utuh.

Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/

Atau baca juga artikel ini pada: https://mubadalah.id/jangan-didik-anak-dengan-cara-kekerasan/

Scroll to Top