Nafkah Anak Pasca Perceraian, Masih Jadi Tantangan di Malaysia
Oleh: Fitri Leilani Desmonda

Lp2m.uinssc.ac.id – Perceraian sering dianggap selesai setelah hakim mengetuk palu. Namun, kehidupan nyata keluarga pasca perceraian sering kali jauh lebih kompleks, terutama ketika menyangkut nafkah anak.
Apalagi, anak yang lahir dari pernikahan tetap berhak atas dukungan penuh kedua orang tuanya, baik finansial maupun emosional. Sayangnya, dalam banyak kasus, hak anak untuk mendapat nafkah justru diabaikan setelah perceraian.
Di Malaysia, masalah nafkah anak menjadi salah satu isu yang paling banyak diadukan ke pusat bantuan hukum Sisters in Islam (SIS). Melalui Telenisa, SIS menemukan bahwa banyak ayah mengabaikan kewajiban nafkah, baik dengan alasan tidak bekerja, penghasilan tidak mencukupi, maupun sengaja menghindar dari tanggung jawab.
Hal ini membuat beban keluarga jatuh kepada ibu, yang harus merangkap sebagai pencari nafkah sekaligus pengasuh utama.
Tahun 2025, isu ini kembali menjadi sorotan publik setelah kisah Mizah Salleh viral di media sosial. Ia mengungkap bahwa mantan suaminya menunggak pembayaran nafkah sebesar RM 70,750 sejak tahun 2020.
Kisah Mizah memperlihatkan bagaimana nafkah yang seharusnya melindungi anak justru berubah menjadi beban besar yang harus ditanggung sendirian oleh seorang ibu. Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan serius: sejauh mana sistem hukum syariah mampu menegakkan hak anak dalam perceraian?
Kasus Nyata dan Data Terkini
Cerita Mizah Salleh bukan satu-satunya. SIS melalui laporan Beyond Court Orders: Making Child Support Real for Malaysia’s Children (Agustus 2025) mencatat bahwa penegakan nafkah anak masih lemah meski ada perintah pengadilan.
Banyak ibu yang datang ke Telenisa mengeluhkan bahwa suami atau mantan suami berhenti membayar nafkah begitu keluar dari rumah, sementara anak-anak harus tetap bersekolah, makan, dan mendapat layanan kesehatan.
Data Telenisa 2024 semakin menegaskan masalah ini. Dari 188 klien yang dilayani, 42% di antaranya terkait dengan masalah nafkah anak. Alasan yang paling umum adalah pengabaian terhadap perintah mahkamah, suami mengaku pengangguran, atau pembayaran yang tidak mencukupi kebutuhan anak.
Fakta ini menunjukkan ada celah besar dalam sistem penegakan hukum: keputusan pengadilan tidak selalu diikuti tindakan nyata.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi menyangkut kesejahteraan generasi masa depan. Anak-anak yang kehilangan dukungan finansial berisiko putus sekolah, mengalami kekurangan gizi, atau menghadapi tekanan psikologis karena melihat orang tua mereka terus bertengkar soal uang.
Sebagaimana ditegaskan SIS, anak-anak sering menjadi “korban sunyi” dalam perceraian, menanggung beban yang tidak seharusnya mereka pikul.
Perspektif Gender dan Pandangan Islam
Dalam perspektif keadilan gender, masalah nafkah anak bukan hanya soal uang, melainkan wujud nyata dari tanggung jawab orang tua. Melansir dari website Mubadalah.id menegaskan bahwa pendidikan anak tidak boleh dibedakan berdasarkan gender, demikian pula tanggung jawab finansial terhadap anak. Ayah dan ibu memiliki kewajiban moral yang sama untuk memastikan anak tumbuh sehat, berpendidikan, dan sejahtera.
Sayangnya, praktik di lapangan sering memperlihatkan ketimpangan. Nafkah dianggap tanggung jawab ibu ketika ayah menghilang dari kewajiban. Padahal, dalam Islam, kewajiban memberi nafkah melekat pada ayah, tidak bergantung pada status pekerjaan atau kemampuan ibu. Rasulullah SAW menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan anak dan istri sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab di hadapan Allah.
SIS dalam advokasinya menekankan bahwa kegagalan menegakkan nafkah anak bukan hanya pengkhianatan terhadap hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap prinsip keadilan Islam. Ayah yang mengabaikan nafkah berarti mengabaikan amanah yang diberikan kepadanya.
Di sisi lain, sistem hukum juga dituntut untuk lebih tegas menegakkan keputusan pengadilan agar anak-anak tidak menjadi korban dari ketidakadilan struktural.
Urgensi Reformasi dan Rekomendasi
Kasus Mizah Salleh dan data Telenisa menegaskan perlunya reformasi serius. SIS mengusulkan pembentukan Child Support Agency di Malaysia, sebuah lembaga khusus yang mengawasi dan menegakkan pembayaran nafkah anak.
Lembaga ini bisa diberi kewenangan untuk memotong gaji langsung, mengakses rekening, atau mengenakan sanksi administratif kepada ayah yang lalai. Mekanisme ini terbukti efektif di negara lain dalam meningkatkan kepatuhan pembayaran nafkah.
Melansir dari Kupipedia menyoroti bahwa hak anak harus ditempatkan sebagai prioritas utama, bukan sekadar hasil sampingan dari sengketa orang tua. Pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak adalah investasi sosial yang menentukan masa depan bangsa.
Karena itu, pemerintah, lembaga agama, dan masyarakat perlu bersama-sama memperkuat kesadaran bahwa nafkah anak adalah hak yang tidak bisa ditawar.
Dengan begitu, pola asuh adil gender tidak akan terwujud tanpa keadilan dalam aspek ekonomi keluarga. Jika anak laki-laki dan perempuan sama-sama ingin tumbuh dengan kesempatan setara, maka fondasi pertama adalah memastikan kebutuhan mereka terpenuhi. Nafkah anak yang adil bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga fondasi bagi tumbuh kembang anak yang seimbang.
Isu nafkah anak pasca perceraian adalah salah satu tantangan besar Malaysia di tahun 2025. Kisah Mizah Salleh dengan tunggakan nafkah RM 70,750 hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih luas.
Data Telenisa memperlihatkan bahwa hampir separuh aduan yang diterima SIS berhubungan dengan masalah nafkah, menandakan adanya celah besar dalam sistem hukum. Islam sudah jelas menempatkan kewajiban nafkah pada ayah sebagai bentuk tanggung jawab dan ibadah.
Namun tanpa penegakan hukum yang kuat, hak anak akan terus diabaikan. Reformasi seperti pembentukan Child Support Agency adalah langkah penting untuk memastikan anak-anak tidak lagi menjadi korban perceraian. Jika ingin membangun pola asuh yang adil gender, maka hak anak atas nafkah harus dijamin sepenuhnya. Karena perceraian boleh mengakhiri rumah tangga, tetapi tidak boleh mengakhiri tanggung jawab orang tua terhadap masa depan anak. []
Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.
Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/



