Membongkar Akar Ekstremisme dan Patriarki di Malaysia
Oleh: Nursetiawati

Lp2m.uinssc.ac.id – Aizat Samsuddin, pendiri Komuniti Muslim Universal Malaysia, mengingatkan bahwa memahami “mengapa seseorang menjadi radikal” jauh lebih penting daripada sekadar menghukum setelah semuanya terjadi.
Menurutnya, kunci melawan terorisme bukanlah pada hukuman, melainkan pada upaya memahami realitas sehari-hari yang membuat seseorang mudah tertarik pada ideologi ekstrem.
Aizat menyoroti bahwa definisi tentang “terorisme” atau “ekstremisme kekerasan” sering kali bersifat politis. Siapa yang disebut teroris, dan siapa yang dianggap “pejuang agama”, ditentukan oleh aktor politik dan agama.
Padahal di balik label tersebut, ada kerentanan nyata yang kerap diabaikan yaitu kemiskinan, kekerasan domestik, atau kegelisahan anak muda yang mencari makna hidup. Banyak di antara mereka bukan haus darah, melainkan haus makna, keadilan, dan pengakuan yang tak mereka temukan di dunia nyata.
Tirani Patriarki dan Dampaknya terhadap Perempuan
Lebih menyedihkan lagi, perempuan sering kali menjadi korban sekaligus sasaran empuk sistem ekstremisme. Dalam banyak kasus, mereka didorong untuk menerima patriarki sebagai “kerangka agama”. Mereka diajarkan untuk tunduk pada suami, menutup diri dari dunia luar, dan mematuhi peran tradisional sebagai bentuk kesalehan.
Aizat menyebut fenomena ini sebagai bagian dari tirani patriarki—sebuah sistem yang menekan perempuan dengan dalih menjaga moral, namun justru menjauhkan mereka dari kebebasan berpikir dan bertindak.
Kenyataan ini tidak hanya terjadi di Malaysia. Di Indonesia, tirani patriarki hadir dalam bentuk yang berbeda, tetapi tak kalah keras. Amar Alfikar, seorang pemuda trans Muslim, pernah menceritakan bagaimana ia harus berpindah masjid setiap pekan agar bisa beribadah dengan tenang.
Ia mengungkap bahwa bahkan laki-laki transgender sering ditekan untuk tampil maskulin dan ikut menindas perempuan, seolah menjadi “laki-laki sejati” berarti melanjutkan pola patriarki. Padahal, perjuangan kesetaraan gender seharusnya menjadi ruang bersama bagi siapa pun—tanpa memandang jenis kelamin atau identitas.
Menciptakan Ruang Aman dan Perspektif Kesetaraan
Amar mengajak masyarakat Muslim untuk berani berpindah dari cara pandang patriarkal menuju perspektif kesetaraan.
Ia menyerukan agar umat Islam membaca ulang teks-teks klasik, termasuk hadis, dengan kacamata keadilan dan empati, bukan dengan semangat menguasai. Ajakan ini sederhana namun mendasar: agama seharusnya menjadi sarana pembebasan, bukan alat penindasan.
Fenomena serupa juga tampak di Singapura. Menurut peneliti Nurshirah Tabrani, meningkatnya Islamofobia dan kontrol sosial terhadap cara berpakaian perempuan menunjukkan bahwa patriarki dapat bersembunyi bahkan di tengah modernitas.
Di balik wacana “kemajuan”, masih ada struktur yang menilai dan mengatur tubuh perempuan. Ironisnya, sebagian perempuan yang memiliki posisi strategis justru ikut mereproduksi struktur patriarki itu sendiri, alih-alih menantangnya.
Nurshirah juga menyoroti kurangnya ruang dialog di universitas bagi mahasiswa Muslim untuk membicarakan isu gender dan seksualitas.
Padahal, memahami interseksionalitas—bagaimana gender berpotongan dengan agama, ekonomi, dan budaya—merupakan langkah penting untuk membongkar akar ketidakadilan. Ia menegaskan bahwa gerakan pemuda seharusnya berfokus pada solusi jangka panjang, bukan hanya kampanye sesaat yang berhenti tanpa perubahan nyata.
Dari berbagai pandangan itu, terlihat satu benang merah: ekstremisme tidak tumbuh dari ruang hampa. Ia berakar dari rasa tidak berdaya, dari struktur sosial yang tidak adil, dan dari keyakinan bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan martabat yang hilang.
Ketika perempuan dibungkam oleh tafsir agama yang bias, ketika anak muda kehilangan arah dan makna hidup, ideologi ekstrem akan selalu menemukan jalannya.
Oleh karena itu, kita perlu menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak muda—tempat mereka bisa berbicara, didengar, dan diakui, bukan dibungkam karena dianggap melawan tradisi.
Sebab, pada akhirnya, akar ekstremisme dan patriarki tumbuh dari sumber yang sama: rasa takut kehilangan kontrol. Dan melawannya hanya mungkin dengan keberanian untuk berbagi kuasa, membuka dialog, dan memanusiakan kembali sesama manusia. []
Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.
Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/



