Antara Adat dan Syariah: Dinamika Harta Sepencarian di Malaysia Pasca Perceraian
Oleh: Natia
Perceraian selalu meninggalkan luka. Ia bukan sekadar perpisahan dua pasangan laki-laki dan Perempuan yang pernah berjanji di hadapan Tuhan, tetapi juga menyisakan persoalan pelik, terutama terkait harta yang diperoleh selama pernikahan.
Harta sepencarian—atau dalam istilah lain disebut matrimonial property—seringkali menjadi sumber perselisihan yang tak kalah rumit dibandingkan perceraian itu sendiri.
Beberapa waktu lalu, publik Malaysia dikejutkan oleh kisah Zulkamal dari Shah Alam yang mempertanyakan haknya atas harta sepencarian setelah bercerai.
Pertanyaannya: apakah benar suami tidak berhak karena harta tercatat atas nama istri? Ataukah sebaliknya, istri tidak berhak karena harta sebagian besar diperoleh melalui kerja suami? Kasus ini membuka mata kita, betapa banyak masyarakat yang masih bingung soal hukum keluarga Islam, khususnya mengenai pembagian harta setelah perceraian.
Harta Sepencarian: Konsep Kerja Sama Suami-Istri
Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar hubungan biologis atau kontrak sosial, melainkan bentuk kerja sama suci antara suami dan istri. Harta yang dihasilkan selama pernikahan, baik melalui usaha langsung maupun kontribusi tidak langsung, dikategorikan sebagai harta sepencarian.
Seorang istri yang tidak bekerja di ranah publik tetapi mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan memberi dukungan emosional pada suami, tetap dianggap berkontribusi. Sebaliknya, seorang suami yang membantu usaha rumah tangga istrinya pun layak memperoleh pengakuan.
Di Malaysia, Undang-Undang Keluarga Islam memberi Mahkamah Syariah kewenangan untuk membagi aset ini secara adil berdasarkan kontribusi masing-masing pihak. Artinya, pembagian harta sepencarian bukan monopoli salah satu pihak, melainkan hak bersama.
Sayangnya, dalam realitas di Malaysia masih banyak yang tidak paham. Ada suami yang merasa tidak punya hak karena harta atas nama istri. Ada pula istri yang tidak tahu bahwa harta bawaan suami sebelum menikah, atau warisan yang diperoleh istri selama pernikahan, bukan bagian dari harta sepencarian. Ketidaktahuan inilah yang sering memicu sengketa pasca perceraian.
Lebih jauh lagi, pembuktian kontribusi sering menjadi masalah. Tidak semua pasangan terbiasa mendokumentasikan aset atau pengeluaran selama menikah. Alhasil, pengadilan kerap hanya bisa mengandalkan keterangan lisan yang tentu rawan bias.
Ketegangan antara Adat dan Syariah
Konsep harta sepencarian sendiri tidak lahir murni dari hukum Islam, melainkan berakar dari adat Melayu. Namun, seiring berjalannya waktu, ia diterima dan diintegrasikan ke dalam praktik hukum keluarga Islam di Malaysia.
Di titik inilah muncul ketegangan. Adat menekankan pembagian secara setara, sedangkan syariah menekankan prinsip keadilan yang memperhitungkan kontribusi nyata. Mahkamah Syariah berada di persimpangan, berusaha menjaga keseimbangan antara penghormatan terhadap adat dan penerapan hukum Islam.
Lalu, Bagaimana jalan keluarnya? Pertama-tama, edukasi hukum keluarga Islam harus diperluas. Masyarakat perlu memahami dengan jelas mana yang termasuk harta sepencarian dan mana yang tidak. Sosialisasi bisa dilakukan lewat seminar, penyuluhan di masyarakat, bahkan melalui kurikulum sekolah dan pesantren.
Kedua, pasangan suami istri sebaiknya mulai terbiasa mendokumentasikan harta dan kontribusi masing-masing. Hal ini bukan sekadar langkah administratif, melainkan upaya melindungi hak di kemudian hari.
Ketiga, peran Mahkamah Syariah dan lembaga mediasi (pegawai sulh) perlu diperkuat. Alih-alih menyulut konflik panjang di pengadilan, proses mediasi bisa menghadirkan solusi damai dengan tetap berpijak pada prinsip syariah.
Bahkan, kita perlu menggarisbawahi bahwa hukum syariah tetap memberikan batas yang jelas. Seorang suami tidak bisa menuntut harta mutlak milik istri, seperti warisan, harta bawaan sebelum menikah, atau hadiah pribadi.
Begitu pula istri tidak bisa mengklaim aset pribadi suami yang tidak diusahakan bersama. Prinsip ini menunjukkan upaya hukum Islam menjaga keadilan, tanpa menghapus hak individual.
Menjaga Keadilan, Merawat Kemanusiaan
Pada akhirnya, pembagian harta sepencarian bukan sekadar soal nama siapa yang tercatat di dokumen kepemilikan, tetapi tentang keadilan dan pengakuan atas usaha bersama. Hukum keluarga Islam menawarkan kerangka yang adil dan manusiawi. Namun, hukum hanya bisa bekerja jika masyarakat mau memahami dan menghormatinya.
Kasus seperti Zulkamal seharusnya menjadi pelajaran kolektif. Kita perlu bijak mengelola rumah tangga, jujur dalam membangun kerja sama, dan siap menghadapi kemungkinan perpisahan dengan cara yang bermartabat.
Dengan pemahaman yang benar, perceraian tidak harus menjadi ladang sengketa. Ia bisa menjadi penutup yang tenang dari sebuah perjalanan, sehingga kedua belah pihak tetap bisa melanjutkan hidup dengan damai.
Karena tujuan utama hukum keluarga Islam bukan hanya menata hubungan suami-istri, melainkan juga menjaga hak, martabat, dan kesejahteraan semua anggota keluarga—terutama anak-anak yang kelak akan mewarisi dunia ini.




