Pendidikan yang Memanusiakan: Pelajaran dari Kasus Perlindungan Anak di Malaysia

Pendidikan yang Memanusiakan: Pelajaran dari Kasus Perlindungan Anak di Malaysia

Oleh: Natia

Kasus Perlindungan Anak di Malaysia

Lp2m.uinssc.ac.id – Di tengah kompleksitas tantangan zaman, tujuan pendidikan sering kali direduksi menjadi sekadar mengejar nilai akademis. Padahal, esensi adalah membentuk manusia yang utuh—tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter dan berperikemanusiaan.

Pendidikan yang memanusiakan dan berkeadilan menjadi fondasi penting dalam melindungi serta memberdayakan generasi muda agar tumbuh sebagai manusia yang menghargai diri dan sesamanya.

Bahkan, pendidikan yang memanusiakan tidak berhenti pada pencapaian akademik. Ia bertujuan membentuk pribadi yang berakal, berempati, dan sadar akan tanggung jawab sosialnya. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita masih menghadapi tantangan besar dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi dan kekerasan.

Kasus yang terjadi di Malaysia, misalnya, memperlihatkan bagaimana pemahaman tentang perlindungan anak bisa kabur ketika kepala polisi Kelantan menyarankan agar anak perempuan dalam kasus hubungan seks di bawah umur turut dituntut karena dianggap “sukarela.”

Pendekatan seperti ini jelas mengaburkan posisi anak sebagai korban dan bertentangan dengan semangat pendidikan yang seharusnya melindungi, bukan menghukum.

Oleh karena itu, pendidikan seharusnya membekali anak dengan pemahaman tentang hak-hak mereka, termasuk hak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi.

Data dari Kepolisian Kerajaan Malaysia (PDRM) mencatat 5.401 kejahatan seksual terhadap anak pada 2023, sementara Statistik Anak Malaysia 2024 menunjukkan peningkatan 26,5 persen kasus dibanding tahun sebelumnya.

Fakta ini menegaskan bahwa sistem pendidikan yang berpihak pada anak sangat mendesak untuk diperkuat.

Pendidikan Karakter sebagai Perlindungan

Dalam konteks ini, pendidikan karakter memiliki peran penting. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, tidak dapat disamakan dengan orang dewasa dalam hal tanggung jawab hukum.

Karena itu, pendidikan yang memanusiakan harus menanamkan nilai perlindungan, empati, dan keadilan, bukan justru memperlakukan korban sebagai pelaku. Sekolah dan masyarakat perlu memahami bahwa setiap kebijakan atau intervensi terhadap anak harus berorientasi pada pemulihan dan perlindungan, bukan penghukuman.

Dengan demikian, sekolah idealnya menjadi ruang yang aman bagi anak untuk tumbuh dan belajar. Namun kenyataannya, banyak anak justru mengalami kekerasan di lingkungan yang seharusnya melindungi mereka.

Kondisi ini mempertegas bahwa pendidikan tidak boleh berhenti pada transfer pengetahuan, tetapi harus membangun ekosistem yang aman, inklusif, dan menghargai setiap anak.

Pendidikan tentang kesetaraan, persetujuan (consent), dan rasa hormat perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum.

Dengan begitu, sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga benteng yang menumbuhkan kesadaran akan batas diri, menghormati orang lain, dan mencegah kekerasan sejak dini.

Pendidikan Seksualitas

Pendidikan yang memanusiakan juga mencakup pemahaman yang benar tentang tubuh, hak, dan batasan dalam relasi sosial. Pendidikan seksualitas komprehensif bukan hanya soal biologi, tetapi tentang penghormatan terhadap integritas tubuh dan kemampuan membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Pengetahuan ini menjadi perlindungan efektif bagi anak agar mampu mengenali perilaku yang tidak pantas dan berani melaporkannya. Dalam konteks ini, pendidikan berfungsi sebagai benteng sekaligus jalan keluar dari siklus kekerasan.

Untuk mewujudkan pendidikan yang memanusiakan, dibutuhkan pendekatan yang holistik dan kolaboratif.

Pertama, lembaga pendidikan perlu mencontoh model “Sekolah Rakyat” yang menekankan keseimbangan antara aspek akademik dan pembentukan karakter, kepemimpinan, spiritualitas, serta cinta tanah air.

Kedua, peran orang tua tidak kalah penting. Mereka harus membangun komunikasi terbuka dan menciptakan lingkungan rumah yang aman bagi anak untuk bercerita.

Ketiga, pendidikan harus mendorong ketahanan diri dan kesetaraan gender agar anak-anak mampu menjadi agen perubahan bagi lingkungannya.

Maka dari itu, pendidikan yang memanusiakan dan setara adalah fondasi utama untuk membangun generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas, berempati, dan berani membela kebenaran.

Dengan mengutamakan pembentukan karakter dan menciptakan lingkungan belajar yang aman serta inklusif, kita bukan hanya melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan, tetapi juga menyiapkan mereka menjadi manusia seutuhnya—yang kelak akan memimpin masa depan dengan kasih, kesadaran, dan keadilan. []

Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.

Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/

Scroll to Top