Tidak Ada Kekerasan dan Paksaan dalam Hubungan Suami Istri
Oleh: Nursetiawati
Pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar ikatan yang dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Melainkan ia adalah perjanjian suci antara dua insan di hadapan Tuhan. Melalui akad nikah, hubungan yang sebelumnya terlarang menjadi halal, termasuk hubungan seksual antara suami dan istri.
Namun, kehalalan ini tidak serta-merta memberikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk bertindak sewenang-wenang. Pernikahan adalah ruang aman, bukan ruang kekerasan.
Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, pemahaman sakralitas pernikahan sering tereduksi oleh budaya patriarki yang masih mengakar kuat di sebagian masyarakat kita. Bahkan, stereotip bahwa perempuan adalah makhluk lemah, serta pandangan bahwa menikah berarti memberikan “hak penuh” kepada suami atas tubuh istri, masih begitu banyak terjadi.
Akibatnya, tidak sedikit perempuan yang akhirnya menerima pemaksaan hubungan seksual dari pasangannya sebagai sesuatu yang wajar, bahkan dianggap bagian dari “ketaatan”. Padahal, tindakan ini adalah bentuk pemerkosaan dalam perkawinan, sesuatu yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam maupun prinsip kemanusiaan.
Al-Qur’an secara tegas mengajarkan prinsip kesalingan (mubadalah) dalam relasi rumah tangga. Dalam surah al-Baqarah [2]:187 disebutkan: “Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”
Ayat ini menegaskan bahwa relasi suami-istri adalah relasi timbal balik—saling melindungi, memberi kenyamanan, dan menghormati—bukan relasi kuasa yang timpang. Ayat tersebut menjadi penegasan bahwa tubuh pasangan bukanlah “hak milik”, melainkan ruang yang harus dijaga dengan cinta dan kesepakatan.
Prinsip dasar fiqh juga menekankan, adh-dhararu yuzal—setiap bentuk kerusakan harus dihilangkan. Hubungan seksual yang dipaksakan, apalagi hingga melukai atau menyakiti pasangan, termasuk dalam kategori kerusakan yang wajib dihindari.
Nabi Muhammad SAW bahkan menegaskan bahwa akad nikah adalah amanah yang harus dijaga dengan akhlak mulia. Beliau bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Abu Daud).
Hadis ini bukan hanya anjuran moral, tetapi juga indikator kualitas seorang lelaki sejati: bagaimana ia memperlakukan istrinya dengan penuh penghormatan, termasuk dalam urusan hubungan intim.
Hubungan seksual dalam rumah tangga seharusnya menjadi ruang kebahagiaan bersama. Suami tidak boleh hanya memikirkan pemuasan nafsunya sendiri, melainkan juga memperhatikan kondisi fisik dan emosional istri.
Karena ada kalanya seorang istri merasa lelah, sedang sakit, mengalami perubahan hormon, atau baru saja melewati proses melahirkan. Dalam kondisi seperti itu, memaksakan hubungan bukan hanya perbuatan zalim, tetapi juga berlawanan dengan esensi ajaran Islam yang penuh kasih sayang.
Ironisnya, sebagian masyarakat masih menutup mata terhadap isu pemerkosaan dalam perkawinan. Ada yang menganggap mustahil seorang suami bisa “memerkosa” istrinya, karena tubuh istri dianggap telah sepenuhnya menjadi milik suami.
Pandangan keliru inilah yang memperkuat budaya bisu, di mana penderitaan perempuan terabaikan. Banyak istri yang akhirnya mengalami trauma berkepanjangan, gangguan mental, hingga luka fisik akibat dipaksa berhubungan seksual oleh pasangannya. Tragisnya, suara mereka sering dibungkam dengan alasan “aib rumah tangga”.
Sudah saatnya umat Islam berani menolak secara tegas pandangan sempit semacam ini. Pernikahan tidak pernah dimaksudkan sebagai ruang legitimasi kekerasan.
Suami dan istri adalah mitra setara, bukan majikan dan budak. Tubuh istri tetaplah miliknya sendiri, sebagaimana tubuh suami tetap miliknya. Akad nikah tidak pernah menghapus hak dasar manusia atas tubuhnya.
Jika pernikahan hanya dipahami sebagai legitimasi kekuasaan atas pasangan, maka ia kehilangan makna spiritualnya. Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang dibangun di atas cinta, penghormatan, dan tanggung jawab.
Relasi suami-istri adalah relasi yang saling menguatkan, bukan merendahkan. Karena, Islam hadir untuk menghargai martabat manusia, bukan menjerumuskannya dalam lingkaran kekerasan.




