Sunat Perempuan: Ancaman bagi Masa Depan Anak di Malaysia

Sunat Perempuan: Ancaman bagi Masa Depan Anak di Malaysia

Oleh: Khofifah Alawiya

Sunat Perempuan Ancaman bagi Masa Depan Anak di Malaysia

Lp2m.uinssc.ac.id – Di tengah kehidupan masyarakat Malaysia yang multikultural, praktik sunat perempuan masih menjadi perdebatan. Bagi sebagian besar umat Muslim, khitan adalah simbol kebersihan dan ketaatan bagi laki-laki. Namun, ketika diterapkan pada perempuan, praktik ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah benar ajaran agama mewajibkannya, atau sekadar warisan budaya yang keliru?

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) adalah pemotongan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan tanpa alasan medis.

Penelitian Universitas Malaya bersama WHO dan UNFPA tahun 2011 mencatat bahwa lebih dari 93% perempuan Muslim Melayu di Malaysia telah menjalani FGM/C. Sebagian besar dilakukan saat bayi atau usia prasekolah, biasanya oleh bidan tradisional di rumah, tanpa alat steril.

Akar praktik ini terletak pada perpaduan antara adat dan tafsir keagamaan. Beberapa lembaga keislaman di Malaysia bahkan menetapkan sunat perempuan sebagai wajib, seperti di wilayah Federal, Negeri Sembilan, Johor, dan Kedah. Namun, wilayah lain seperti Sarawak dan Sabah hanya menganggapnya sunat. Artinya, tidak ada keseragaman pandangan bahkan di dalam negeri.

Risiko Medis dan Perspektif Keagamaan

Di luar Malaysia, banyak negara Muslim, termasuk Mesir dan Indonesia, telah melarang praktik ini. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2022 menegaskan bahwa pemotongan genital perempuan tanpa alasan medis adalah haram, karena bertentangan dengan prinsip Islam yang melindungi perempuan dari bahaya.

Dari sisi medis, sunat perempuan tidak memiliki manfaat dan justru berisiko menimbulkan luka, pendarahan, infeksi, hingga penurunan fungsi seksual. Sejumlah dokter di Malaysia mengingatkan bahwa tindakan ini bisa menghilangkan bagian klitoris pusat kenikmatan perempuan dan berdampak jangka panjang pada kesehatan fisik maupun psikologis.

Secara agama, banyak ulama, termasuk Al-Syaukani dan Dr. Mohammad Salim Al-Awwa, menilai tidak ada dalil kuat dalam al-Qur’an atau hadis sahih yang mewajibkan sunat perempuan. Tidak ada catatan bahwa putri atau istri Nabi Muhammad SAW pernah disunat. Lembaga Sisters in Islam (SIS) di Malaysia juga menolak praktik ini karena dianggap lebih banyak membawa mudarat.

Upaya Perlindungan dan Penegakan Hak Anak Perempuan

Lebih jauh, praktik sunat perempuan bertentangan dengan komitmen Malaysia terhadap perjanjian internasional seperti CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) dan CRC (Konvensi Hak Anak), serta menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 5 tentang kesetaraan gender.

Mengakhiri praktik ini tidak berarti menentang agama. Sebaliknya, ini adalah langkah untuk menegakkan nilai kemanusiaan dan keadilan yang diajarkan Islam. Pemerintah, ulama, tenaga kesehatan, dan masyarakat perlu bersinergi memberikan edukasi dan perlindungan bagi anak perempuan.  []

Lihat dokumentasi lengkap kegiatan ini di Instagram LP2M UIN SSC.

Baca artikel menarik lainnya di laman LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: https://lp2m.uinssc.ac.id/category/berita/

Scroll to Top